Cerpen: Haram Jadah

Berikut cerpen pilihan Liputan6.com, Minggu (19/3/2016), 'Haram Jadah' karya Andry Setiawan.

oleh Liputan6 diperbarui 20 Mar 2016, 07:05 WIB
foto: wallpaperup.com

Liputan6.com, Jakarta Seorang lagi lawan Ijul terjatuh. Orang itu jatuh dengan lengan kirinya terlebih dahulu menyentuh tanah, sambil menahan sakit di bahu kanan. Bahu kanan orang itu dislokasi, terletak lebih ke bawah dari posisi bahu sebelumnya dengan posisi yang janggal. Sambil meringis lawan Ijul itu mengaku kalah.

Dua orang lainnya sudah lebih dulu roboh dan segera menjauh dari arena perkelahian. Salah satunya mukanya penuh bilur dengan darah yang mengucur deras dari hidung. Satunya lagi mengerang, sembari memegang kakinya yang mengalami patah tulang di beberapa bagian.

Tiga orang ditumbangkan Ijul tanpa mengalami luka yang berarti. Hanya bajunya yang kotor dan robek akibat ditarik dan berguling di tanah. Sebuah luka jahitan di dahinya sudah ada sejak perkelahian pertama beberapa bulan lalu, saat belum memiliki cincin dari kakeknya. 

Beberapa orang yang menyaksikan bertepuk tangan. Mereka lantas menyalami Ijul, mengucapkan selamat. Salah seorang mengangkat tangan kanan Ijul, mengacungkannya bak juara tinju.

“Inilah pemenangnya, Ijul,” teriak orang itu dengan logat Batak.

Tepuk tangan kembali terdengar dari sejumlah bos preman itu, yang tak lebih dari lima orang.

Upacara penerimaan anggota baru selesai. Ijul resmi menjadi anggota preman yang menguasai Tanah Abang. Dengan napas tersengal Ijul mengambil jaket jinsnya dan segera menjauh dari gedung kosong yang menjadi arena perkelahian.

“Makasih batunye, Kong,” katanya pelan. Diciumnya cincin akik kecubung yang dikenakan di jari manis tangan kirinya.

Ijul dulu berjualan pakaian di sebuah kios kecil di pinggir jalan Pasar Tanah Abang. Modalnya tak banyak, itu pun hasil meminjam dari keluarganya. Kakek Ijul seorang pendekar silat Betawi. Namun anaknya tidak mengikuti jejak sang ayah sebagai pendekar silat. Ayah Ijul yang mempunyai tiga istri merupakan seorang juragan tanah. Tapi tanahnya yang berhektare-hektare telah ludes dijual. Yang tersisa hanya kemiskinan bagi keluarga Ijul.

Ijul, kakak sulung dari delapan bersaudara itu, hanya lulusan SMP. Saat SMA ia tak sampai lulus karena sering membolos. Memang, pendidikan tidak begitu penting bagi keluarganya, yang penting bisa mengaji dan hafal Al-Quran. Juga menguasai ilmu bela diri untuk berjaga-jaga jika bertemu dengan bahaya.

Hasil jualan Ijul di Tanah Abang lumayan, tapi untung dari hasil penjualan itu tidak bisa diambil untuknya sendiri. Ijul harus membaginya dengan sejumlah preman. Ijul tidak suka keuntungannya diambil orang lain, tapi ia tidak akan menang jika melawan sejumlah preman yang memiliki perkumpulan yang terorganisir itu. Ijul pun memutuskan untuk bergabung dengan preman-preman tersebut.

Ijul mempunyai istri bernama Siti. Siti merupakan seorang anak yatim piatu. Ia tinggal bersama dengan Uwa, pamannya yang sudah uzur. Siti juga bengal, tak jauh berbeda dengan Ijul. Sewaktu kecil Siti suka berkelahi dengan sesama anak perempuan. Kadang lawannya adalah lelaki, bahkan yang jauh lebih dewasa. Pernah ia membuat seorang lelaki babak belur karena tangan si lelaki iseng mencolek bokong Siti saat menunggu kendaraan umum. Keberanian dan kenekatan Siti melebihi perempuan pada umumnya.

Siti dan Ijul sebelas dua belas, mungkin itu yang membuat Ijul menyukai Siti dan memilih hidup bersamanya. Setelah menikah, Ijul dan Siti tinggal berdua di sebuah rumah kontrakan di daerah Matraman.

***

Merebak kabar salah satu teman Ijul, Samir, tewas tertembak di kawasan Tanjung Priok. Samir merupakan teman satu profesi dengan Ijul. Dulu, mereka sama-sama berjuang untuk menjadi preman di Tanah Abang. Si calon anggota diharuskan untuk berkelahi dengan orang-orang yang ditunjuk oleh para tetua. Biasanya perkelahian tidak hanya sekali, tergantung keputusan bersama para tetua. Di perkelahian ketiga, Ijul menghadapi Samir.

Samir, yang merupakan keturunan Arab-Betawi, memiliki tubuh yang lebih besar dan kekar dibanding Ijul. Dengan modal batu akik bertuah dan ilmu silatnya, sulit bagi Ijul untuk menjatuhkan Samir. Pun Samir, badan besarnya berhasil menahan serangan Ijul yang bertubi-tubi, tapi tetap tak bisa membuat Ijul mengaku kalah. Pada akhir perkelahian keduanya tak bisa bangun saking tidak ada tenaga. Tetua pun memutuskan tidak ada yang menang dalam pertarungan tersebut. Namun, Ijul diizinkan bergabung dengan preman Tanah Abang.

Sejak pertarungan itu mereka menjadi akrab. Mereka biasanya pergi bersama kala memungut iuran keamanan. Jika mereka berdua yang berkeliling, pedagang tidak ada yang mencoba berkelit membayar iuran, malah kadang para pedagang memberi lebih jika diminta Samir dan Ijul untuk membeli rokok. Saking dekatnya, Samir sering menginap di rumah Ijul, sudah seperti saudara sendiri. Samir suka bangun siang, jadi Ijul sering meninggalkan Samir berangkat ke Tanah Abang. Biasanya disusul Samir saat hari menjelang siang. Hingga akhirnya tersiar kabar Samir tewas. Ijul pun berniat melayat ke rumah Samir.

“Mau ke mana Bang Jul?” tanya tetangganya.

“Mau ke Priok, ngelayat temen yang meninggal,” jawab Ijul.

“Gak usah ngelayat Bang, nanti ngikut kena,” kata tetangganya lagi.

“Kena apaan?” tanya Ijul lagi.

“Kena opersi gali. Katanya Samir ditembak ama penembak misterius. Kalo abang ngelayat ke sono, malamnya abang bisa dibunuh,” kata tetangganya. Tetangganya bersikeras melarang. Ijul mengurungkan niat, mengikuti nasihat tetangganya itu.

Beberapa malam berikutnya. Siti yang tengah mengandung telah memasuki masa kehamilan sembilan bulan lebih dan malam itu waktunya bagi si jabang bayi ke luar. Malam ini Siti akan melahirkan. Berbarengan dengan itu, terlihat orang-orang bersenjata laras panjang mondar-mandir di sekitar rumah. Ijul tahu orang-orang itu mencarinya. Ijul memutuskan untuk bersembunyi di atas loteng rumah. Dari sana ia menyaksikan istrinya melahirkan. Si jabang bayi pun lahir dengan selamat. Setelah menyaksikan Siti melahirkan, Ijul menuliskan sebuah pesan dan nama untuk anak lelaki itu di atas secarik kertas, lalu melemparnya ke bawah melalui celah langit-langit. Kemudian Ijul diam-diam keluar dari rumahnya.

Ia terus berjalan menuju ke daerah Jatinegara. Tujuannya adalah segera menjauh dari Ibu Kota. Tepat di depan Pasar Mester, Ijul memberhentikan sebuah mobil bak terbuka.

“Mau ke mana bang?” tanya Ijul kepada si sopir.

“Cileungsi,” jawab si sopir singkat.

“Saya numpang ya,” kata Ijul.

Si sopir menunjuk ke bak belakang dengan jempolnya yang besar, tanda Ijul diperbolehkan naik.

Di bak belakang dua orang berpakaian serba hitam tampak siaga. Mereka duduk di antara karung-karung goni. Ijul naik dan duduk di atas sebuah karung goni, dari karung tersebut terdengar suara mengaduh. Aduh.

“Hei, Bung, hati-hati kalau duduk. Bung tidak tahu yang Bung duduki itu orang,” kata salah seorang berpakaian hitam itu dengan marah.
Ijul tertegun. Ia pernah mendengar bahwa sejumlah orang yang terjaring operasi gali diikat dan dimasukkan ke dalam karung goni, lalu ditemukan tewas dengan luka tembakan di tubuh. Ijul meminta maaf. Ia lalu meminta sang sopir berhenti dan segera turun secepatnya.
Ijul melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Di depan Stasiun Jatinegara, ia menghentikan langkahnya. Ijul beralih dari jalan aspal ke jalur kereta yang terletak sejajar dengan jalan mobil yang berada di sampingnya. Sorot lampu terang muncul dari belakangnya. Ijul menghindar tepat waktu, sebuah kereta barang berangkat meninggalkan Jakarta. Tanpa pikir panjang, Ijul berlari dan berhasil melompat ke atas gerbong yang kosong.

Entah, kereta itu membawanya ke mana, Ijul tidak peduli. Ia membiarkan tubuhnya rebah di lantai gerbong, sambil memperhatikan langit-langit gerbong yang terlihat kala ada pendar cahaya dari lampu penerangan jalan.

***

Auzubilahhiminas sayiton nirozim …,” suara sejumlah anak bersama-sama mengalunkan bacaan Al-Quran. Beberapa anak yang belum lancar membaca Al-Quran mencoba tidak ketinggalan dari bacaan anak-anak yang sudah lancar membaca. Sejumlah anak yang belum bisa membaca Al-Quran, biasanya anak umur 7-10 tahun, dipisahkan dan membentuk kelompok sendiri.

Anak-anak yang belum bisa membaca Al-Quran berkumpul membentuk setengah lingkaran. Di depan mereka duduk seorang lelaki yang mengenakan baju koko dan celana panjang di atas mata kaki. Wajahnya bersih bersinar, jidatnya hitam, dan janggutnya panjang, tapi tumbuh dengan rapi. Dengan sebuah tongkat kayu kecil, ia menunjuk huruf Arab yang tertera di atas Iqra. Si anak yang empunya Iqra harus membaca huruf yang ditunjuk tersebut.

Pengajian berakhir. Anak-anak paling menunggu momen itu setiap pengajian. Mereka buru-buru membereskan Al-Quran dan Iqra ke dalam tas, atau memegangnya di tangan bagi yang tak mempunyai tas. Setelah menaruh meja kecil ke salah satu sudut ruangan, anak-anak menyalami lelaki dengan jidat hitam itu yang sudah berdiri di pintu masjid. Mereka berlari sambil sesekali saling senggol agar lari temannya yang lain melambat.

Lelaki itu hendak masuk kembali ke dalam masjid. Tiba-tiba didengarnya ucapan salam.

“Asalamuallaikum,” suara muncul dari luar masjid.

Si jidat hitam itu berbalik badan, menghadap keluar masjid.

“Walaikumsalam,” jawab pria jidat hitam.

Di depan pintu masjid berdiri seorang anak muda. Badannya tegap dan besar, wajahnya ditumbuhi berewok kasar, sepertinya sudah beberapa hari tidak bercukur. Berewok, hidung mancung, dan rambut yang hitam ikal, menunjukkan anak muda keturunan Arab, tapi dari ucapan salamnya cukup memberikan penjelasan bahwa ia sebenarnya penduduk lokal.

“Iya, ada apa, ada yang bisa saya bantu?” tanya lelaki jidat hitam.

“Bolehkah saya beristirahat di sini? Saya sedang mencari seseorang, sudah beberapa hari berkeliling kampung ini tapi belum ketemu juga. Sekarang bekal saya sudah habis, tidak bisa lagi sewa penginapan,” kata orang muda Arab.

“Tentu saja boleh, rumah Allah terbuka bagi setiap musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Masuklah, kita berbincang di dalam,” kata lelaki jidat hitam.

Lelaki jidat hitam mempersilakan kenalan barunya masuk. Mereka duduk bersila di teras masjid.

“Kau sedang mencari siapa di kampung kecil ini? Kampung ini begitu kecil, tidak mungkin kau tidak menemukan orang yang kau cari di sini, kecuali jika kau salah kampung,” ucap si lelaki jidat hitam.

“Saya disuruh mencari seseorang. Saya mempunyai pesan untuknya,” kata si anak muda Arab.

“Siapa nama orang yang kau cari? Orang di kampung ini tidak banyak, mungkin aku kenal orangnya,” kata lelaki jidat hitam.

“Namanya panjangnya Zulfikar, biasa dipanggil Ijul,” ucap anak muda Arab.

Si pria jidat hitam tersentak, dia diam sejenak. Nama Zulfikar lekat di pikirannya, tidak asing. Ia pun melanjutkan pembicaraan.

“Akulah orang yang kau maksud. Zulfikar adalah nama asliku, biasa dipanggil Ijul. Sekarang aku telah berganti nama menjadi Abdul Rahmat, sebagai tanda aku telah meninggalkan kehidupanku yang dulu,” kata si pria jidad hitam, yang tidak merasakan keringat dingin muncul pada dahinya.

Anak muda Arab itu memperhatikan wajah Rahmat. Ia membayangkan wajah Rahmat tanpa janggut dan jidat hitamnya. Ditambah setelah dilihat lebih tegas, pada pelipis pria jidat hitam itu terdapat luka bekas jahitan. Persis seperti deskripsi dari orang yang dicarinya. Anak muda itu melihat sekelilingnya, terdapat sebuah papan berisi pemberitahuan tentang kas masjid dengan sebuah nama di pojok kanan bawah bertuliskan, “tertanda, Abdul Rahmat”. Yakinlah sekarang si anak muda Arab.

“Aduh, syukur deh. Udah lama keliling sini, akhirnya nemu juga,” kata si anak muda Arab, yang mengganti bahasa dengan bahasanya sehari-hari, karena merasa lawan bicaranya bukan orang asing lagi.

“Ini, ada titipan pesan,” sambung si anak muda Arab sambil menyodorkan sebuah amplop.

Amplop itu diterima Rahmat, kemudian dibukanya perlahan. Ada dua carik kertas, berisikan tulisan tangan yang dikenalnya. Ia pun mulai membacanya.

Bang Ijul, kalo abang baca surat ini, berarti aye berhasil nemuin abang. Abang pergi begitu aja tanpa ninggalin apa-apa. Terpaksa aye pindah ke rumah Uwa karena gak kuat bayar rumah kontrakan. Gak lama Uwa meninggal karena sakit. Aye hidup sendiri, kerja banting tulang. Abang cuma pergi seenaknya, mentingin nyawa abang, yang takut kena dor tentara. Asal lu tau Bang, temen-temen lu semua udah pada mati sama tentara. Ditembak di tengah hutan karet. Kebanyakan mayatnye digeletakin di jalan. Biar preman-preman kayak lu kapok. Ternyata tuh tentara-tentara berhasil juga bikin preman kayak lu jadi ayam sayur. Belakangan aye tau kalo ternyata yang bunuh Samir bukan tentara, setelah aye nemuin pistol di bawah ranjang tempat tidur. Ditambah surat yang abang kasih waktu aye lahiran. Makasih Bang udah bunuh Samir, orang yang aye sayang. Makasih juge udah ninggalin aye tanpa apa-apa. Makasih sekali lagi, udah bikin idup aye sengsara kayak begini.

Tertanda Siti.

Setelah membaca surat itu Rahmat melipatnya dan membuka kertas satunya lagi. Itu adalah pesan yang dulu ia berikan kepada istrinya, isinya:

Brengsek. Ternyata bener yang gue pikir. Lu main gile sama Samir. Asal lu tau, Samir mati di tangan gue. Gue tembak kepalanya, bangkenya gue ludahin berkali-kali, terus gue buang ke kali. Lu gedein dah anak ntu sendiri. Kasih dia nama Haram Jadah.”

Kembali Rahmat terdiam, keringat lebih banyak mengucur lagi dari sekujur tubuhnya.

Setelah menunggu Rahmat menyelesaikan membaca surat itu. Si anak muda Arab bangkit dari silanya. Dengan tenangnya ia mengeluarkan pistol dari pinggang, dan mengarahkannya ke kepala Rahmat.

Si anak Arab berkata, “Ini ada satu lagi pesan dari Emak. Kenalin nama aye Haram Jadah.”


Bekasi, Mei 2015

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya