Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Daerah DKI Jakarta tengah menggodok rancangan Peraturan Daerah (raperda) tentang Kawasan tanpa Rokok (KTR). Rencana ini rupanya menimbulkan penolakan dari Gabungan Produsen Rokik Putih Indonesia (Gaprindo).
Ketua Hatian Gaprindo Muhaimin Moeftie mengatakan, pasal dalam Raperda KTR bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Seharusnya raperda harus mengacu pada aturan yang lebih tinggi.
“Secara hukum, peraturan di tingkat nasional menjadi acuan bagi peraturan daerah dan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang hierarkinya lebih tinggi," tegas Muhaimin Moeftie di Jakarta, ditulis Sabtu (19/3/2016).
Baca Juga
Advertisement
Salah satu yang memberatkan adalah aturan pada Padal 23 ayat 1 dan 2 pada raoerda KTR. Dalam pasal itu tertulis melarang pedagang memperlihatkan jenis, merek, warna, logo, dan wujud rokok.
Aturan itu sangat berbeda dengan PP 109/2012 yang tidak melarang menampilkan kemasan rokok. Juga bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi mengenai produk barang dan/atau jasa.
“Pasal ini menghilangkan hak produsen untuk mengkomunikasikan produknya kepada konsumennya,” imbuh dia.
Tidak adanya aturan penyediaan tempat khusus merokok, kemudian melarang promosi rokok yang meresahkan para produsen. Bahkan, raperda ini bukan membatasi tapi melarang total.
“Usulan ketentuan dalam Raperda KTR DKI ini tidak saja merugikan para pabrikan produk tembakau, tetapi juga akan merugikan semua mata rantai industri, mulai dari pedagang di toko tradisional dan modern, pekerja pabrikan rokok sekaligus petani tembakau dan cengkeh,” ucap Moeftie.
Moeftie berharap, DPRD dan Pemprov DKI segera mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan terkait dengan industri tembakau nasional yang akan terdampak secara langsung akibat kebijakan ini.
Industri hasil tembakau, yang menyerap 6 juta tenaga kerja dan tahun lalu berkontribusi sebesar Rp. 139,5 triliun terhadap penerimaan cukai negara, telah berada dalam tekanan yang besar dengan kebijakan cukai dan pajak.
"Kami berharap pemerintah daerah tidak menambahkannya dengan kebijakan kawasan tanpa rokok yang eksesif,” pungkas Moeftie. (Doni/Ndw)