Liputan6.com, Jakarta - Pembelian tiket kapal feri di salah satu pelabuhan di Pulau Jawa, minim pengawasan. Jumlah penumpang ataupun muatan tak dihitung secara detail.
Masuk lebih dalam ke ruang parkir kendaraan bermotor, truk dan bus yang berjejal tak satu pun terpasang lashing atau kait pengaman.
Fakta-fakta itu tim Sigi Investigasi dapat beberapa minggu setelah kecelakaan Kapal Feri Rafelia 2 yang tenggelam dalam perjalanan menuju Banyuwangi.
Kapal feri nahas itu berangkat Jumat, 4 Februari 2016, sekitar pukul 13.00 WIB. Baru berjalan sekitar 200 meter dari Pelabuhan Gilimanuk, Bali kapal mulai terlihat miring.
Kapal feri itu mengangkut 82 penumpang dan 26 kendaraan. Dari kejadian itu 76 orang selamat sementara 5 di antaranya ditemukan tewas.
Upaya maksimal dikerahkan tim penyelamat, SAR, polisi, TNI dan Komunitas Penyelamat Terumbu Karang. Penyelaman juga dilakukan karena ada korban yang terjebak dalam kapal yang tenggelam.
Sejak tahun 2007 sudah terjadi 5 kecelakaan kapal. Sebagian besar dari penyebab kecelakaan kapal karena kelebihan muatan.
Baca Juga
Advertisement
Dunia pelayaran Indonesia lagi-lagi menjadi sorotan setelah Kapal Rafelia 2 tenggelam. Salah seorang anak buah kapal (ABK) kapal penyeberangan yang masih aktif kisahkan pengalamannya.
Tim Sigi Investigasi coba menjajal langsung Kapal Roro penyeberangan antarpulau lewat pintu pelabuhan penyeberangan di ujung Pulau Jawa. Jumlah penumpang kenyataannya kurang dikontrol dengan baik. Hanya nama sopir yang terdaftar, penumpang lain tidak masuk daftar manifest.
Saatnya mencoba fasilitas kapal penyeberangan. Hanya menunggu sekitar 20 menit, kapal siap berlayar.
Ternyata, para penumpang tak seluruhnya mematuhi ketentuan yang berlaku. Beberapa sopir kendaraan khususnya sopir-sopir truk justru nongkrong di parkiran kendaraan.
Di car deck, parkiran kendaraan itu pula tim temui pelanggaran aturan lain. Setiap kendaraan justru tidak di-lashing atau diikat ke badan kapal untuk menghindari terjadinya pergeseran saat gelombang tinggi. Padahal, surat edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut mengatur secara tegas hal itu.
Moda transportasi massal seperti kapal roll in-roll out (Roro) itu memang masih jadi pilihan bagi sebagian orang. Namun, rasa aman masih jadi tanda tanya.
Tim coba lakukan pembuktian ulang dengan cara berbeda. Kali ini menjadi penumpang gelap dengan naik bus antarpulau antarprovinsi.
Fakta yang sudah cukup banyak berbicara. Hal itu juga disadari pengelola pelabuhan.
Angkutan massal berbasis jalur laut sebenarnya banyak memberikan manfaat. Salah satunya proses distribusi barang dan jasa menggunakan truk-truk besar, mengangkut muatan antarpropinsi dan antarpulau.
ASDP Pelabuhan Merak mencatat sedikitnya ada 2.510 truk per-hari melintas melewati Selat Sunda. Namun, truk yang masuk beserta muatannya ke kapal bisa mengakibatkan persoalan jika tak sesuai ketentuan.
Kali ini tim mengamati bagaimana para petugas bekerja di salah satu jembatan timbang sebelum masuk ke pelabuhan penyeberangan. Beberapa truk dengan muatan besar lewat saja tanpa masuk jembatan timbang. Penggantinya cukup dengan selembar kertas.
Di pelabuhan penyeberangan, jembatan timbang yang seharusnya menjadi filter terakhir sebelum masuk kapal, tutup, tak beroperasi.
Adanya kebijakan yang mengatur tentang muatan kapal itu setidaknya menjadi salah satu parameter yang harus ditaati oleh operator kapal. Hal itu sebelum diterbitkannya surat persetujuan berlayar oleh otoritas penyeberangan.
Untuk menjamin keselamatan pengguna jasa pelayaran, dalam 1 tahun pengoperasiannya, kapal muat angkut penumpang wajib doking atau perawatan menyeluruh terhadap komponen-komponen penting penunjang operasional kapal.
Bagaimana praktik tak sesuai prosedur kapal penyeberangan itu bisa terjadi? Saksikan selengkapnya dalam tayangan Sigi Investigasi SCTV edisi Minggu (20/3/2016), di bawah ini.