Wakil Ketua DPR: Di Negara Tidak Kacau, Tak Ada Monopoli Taksi

Di negara-negara yang tidak kacau, tidak ada monopoli pemilikan taksi. Tapi semua sopir taksi menjadi pemilik taksi.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 22 Mar 2016, 19:16 WIB
Armada sopir taksi saat melakukan demo di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (22/3). Selain melakukan demo supir taxi tersebut melakukan sweeping ke sopir taksi yang beroperasi di dalam tol, dan membakar ban.(Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Kehadiran transportasi online membuat ribuan sopir taksi berunjuk rasa. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai platform bisnis sudah harus mampu menghadapi perkembangan teknologi.

"Sekarang saatnya, sopir-sopir taksi itu kasih hak dia punya mobil. Di negara-negara yang tidak kacau, kuncinya adalah tidak ada monopoli pemilikan taksi. Tapi semua sopir taksi menjadi pemilik taksi," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (22/3/2016).

Menurut dia, transportasi online merupakan dunia baru yang berkembang, menciptakan landscape dan platform bisnis baru di Indonesia. Negara harus punya imajinasi untuk melacak efek satu platform, terutama yang terkait dengan pelayanan publik atau infrastruktur publik.

"Tidak mungkin kita tinggalkan," kata Fahri.

 

 

Caranya, lanjut dia, dengan melakukan studi. Begitu aplikasi transportasi diberi izin beroperasi, seharusnya kementerian terkait sudah tahu konsekuensinya akan dimiliki semua orang, terutama yang mempunyai mobil untuk turut ikut Uber dan GrabCar.

"Negara harus lebih cerdas memantau. Jangan sampai perkembangan sektor modern mematikan sektor tradisional. Blue Bird dan kawan-kawan itu sektor tradisional. Mereka sudah berbisnis puluhan tahun. Sekarang tiba-tiba orang datang dengan aplikasi, dia komando semua yang punya mobil jadi pengusaha-pengusaha. Itu enggak boleh dimatikan, sebab logisnya dari ekonomi baru berdasarkan pengetahuan," papar Fahri.

Politikus PKS itu berujar, seharusnya negara, dalam hal ini pemerintahan, bisa menjembatani transisi atau perubahannya.

"Di antaranya adalah modernisasi sistem kepemilikan taksi. Jangan taksi dikuasai oleh pemodal besar. Taksi mesti mulai dikuasai setiap orang. Jadi sopir taksi itu bisa menjadi pemilik taksi, sehingga bisa daftar ke aplikasi itu, dia bisa menjadi peserta," ucap Fahri.

"Jadi dia (sopir taksi) tidak saja dikomando kantornya. Nah pemilik modal besar itu pindah saja ke aplikasi dan itu pasti ke arah sana," sambung Fahri.

Ia menegaskan, zaman sekarang ini semuanya bisa didapat dari handphone, mulai dari informasi sampai berbisnis.

"Namun yang mengendalikan itu semua kita, medianya saja pindah. Tetapi pemerintah harus melacak ini (aplikasi online), jangan kemudian satu-satu ini dibebasin, bisa-bisa berantem orang di tengah jalan," jelas Fahri.

Butuh Kecerdasan

"Sekarang jangan ngomong ketegasan, tetapi kecerdasan. Harus mampu melampaui cara berpikir kreativitas sektor swasta kita," ucap Fahri.

Dia pun menilai tak perlu mengubah aturan yang sudah ada, karena hanya tinggal cara mengaturnya saja.

"UU lama sudah bisa kok, tinggal cara ngaturnya saja. Ini demokratisasi. Semua orang punya bisnis, ini bagus," kata dia.

Soal Uber dan Grab yang tidak membayar pajak, menurut Fahri, itu merupakan urusan Dirjen Pajak.

"Itu ada mekanismenya. Ini problemnya karena platform dia bisa mengomando semua orang untuk menjadi pengusaha. Sementara kelompok lama yang saya bilang kelompok tertindas. Itu saja," tutup Fahri.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya