Kronologi Perjalanan Blok Masela

Rencananya, blok ini akan dikelola dua perusahaan yakni Inpex dan Shell.

oleh Nurmayanti diperbarui 23 Mar 2016, 18:35 WIB
Rencananya, blok ini akan dikelola dua perusahaan yakni Inpex dan Shell.

Liputan6.com, Jakarta - Blok Masela merupakan kawasan kilang minyak dan gas yang terletak di  laut Arafura, Maluku. Pada Rabu (23/3/2016) ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan lokasi eksplorasi Blok Masela akan dilakukan di darat (onshore).

"Te‎rkait dengan Blok Masela, setelah melalui banyak pertimbangan, setelah melalui banyak sekali masukan-masukan dan input yang diberikan pada saya. Kita putuskan dibangun di darat (onshore)," ujar Jokowi.

Jokowi mengatakan eksplorasi di darat diputuskan setelah melihat besarnya dampak pelaksanaan proyek tersebut dan biaya yang dikeluarkan.

"Ini proyek jangka panjang, tidak hanya setahun, dua tahun, tidak hanya 10 tahun 15 tahun, tetapi proyek yang sangat panjang, yang menyangkut ratusan triliun rupiah," kata dia.

Keputusan ini muncul setelah sebelumnya terjadi silang pendapat perihal keberadaan lokasi eksplorasi Blok Masela antara di darat atau laut (offshore).

Keinginan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, blok ini akan dibangun di laut. Sementara Menko Kemaritiman Rizal Ramli meminta di darat.

Rencananya, blok ini akan dikelola dua perusahaan yakni Inpex dan Shell. Pembangunan kilang LNG terapung adalah konsep teknologi yang ingin diterapkan keduanya.

Bagaimana perjalanan pengembangan blok gas yang berada di cekungan Laut Timor ini? Berikut ulasannya:

Kegiatan ekplorasi gas

Inpex, perusahaan asal Jepang, mendapatkan hak melakukan kegiatan eksplorasi di Blok Masela melalui penandatanganan kontrak Masela PSC pada 16 November 1998. Sejak saat itu Inpex melalui Inpex Masela Ltd melakukan kegiatan eksplorasi hidrokarbon di Blok ini, dengan kepemilikan saham 100 persen.

Cadangan gas Blok Masela secara resmi ditemukan tahun 2000. Saat itu Inpex Masela Ltd telah mengebor sumur eksplorasi pertama yaitu sumur Abadi-1 yang  terletak di tengah-tengah struktur Abadi dengan kedalaman laut 457 meter dan total kedalaman 4.230 meter. 

Kemudian perusahaan pada 30 Desember 2008 memiliki persetujuan sementara POD 1 dari Menteri ESDM di bawah kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY).

Untuk pengembangan lapangan gas abadi ini, Inpex Masela Ltd melakukan beberapa studi detail yang meliputi penghitungan cadangan (reserve calculation), skenario pengembangan (development scenario) dan studi pemasaran gas (gas marketing study) untuk pengembangan blok ini.

Inpex berencana meningkatkan kapasitas FLNG di Blok Masela, menyusul temuan cadangan gas baru. Perusahaan akan menambah train dari satu unit menjadi tiga unit, dengan estimasi investasi mencapai US$ 14 miliar.  

Blok Masela terletak di lepas pantai Laut Arafura sekitar 155 kilometer (km) arah barat daya Kota Saumlaki yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste.

Produksi gas

Saat ini, hak partisipasi Masela, dimiliki Inpex Masela Ltd yang sekaligus bertindak sebagai operator sebesar 65 persen dan sisanya punya Shell Corporation sebesar 35 persen.

Blok Masela ditargetkan dapat memproduksi gas 421 juta kaki kubik per hari (mmscfd) dan minyak 8.400 barel per hari.

Kegaduhan Blok Masela

Kegaduhan pengembangan Blok Masela muncul mengenai posisi kilang pengembangan Blok Masela. Apakah itu dibangun di darat atau di laut.

Pada Desember 2010 atau di era pemerintahan SBY sebenarnya posisi kilang sudah diputuskan di laut atau terapung. Hal ini tertuang pada rencana pengembangan pengembangan (Plan of Development/POD) Masela yang disetujui pemerintah pada Desember 2010 atau 12 tahun setelah kontrak ditandatangani pada November 1998.

Lalu muncul keinginan agar dibangun di darat. Tarik ulur kembali terjadi.

Silang pendapat muncul dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli. Keduanya berpendapat pilihan lokasi berdasarkan biaya pembangunan.

Sudirman Said berpegang pada hitungan SKK Migas. Sementara Rizal Ramli pada hitungan kementeriannya sendiri.

Berdasarkan kajian Kemenko Maritim dan Sumber Daya menyebutkan, biaya pembangunan kilang darat sekitar US$ 16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut, nilai investasi lebih mahal mencapai US$ 22 miliar. Dengan demikian, kilang di darat lebih murah US$ 6 miliar dibandingkan dengan kilang di laut.

Sementara berdasarkan hitungan SKK Migas, biaya yang diperlukan jika infrastruktur gas menggunakan pipa disalurkan kedaratan sebesar US$ 19,3 miliar. Sedangkan jika fasilitas dilakukan di atas laut menggunakan fasilitas pengolahan terapung (FLNG), hanya membutuhkan biaya US$ 14,8 miliar.

Penyaluran gas dengan pipa juga lebih rumit dan memakan waktu lebih lama sekitar 1,5 tahun untuk mengkajinya, belum termasuk pembebasan lahan.

"Kalau di darat investasinya US$ 19,3 miliar, sedangkan offshore US$ 14,8 miliar dari sisi angka jauh lebih murah FLNG," jelas Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi.

Demikian pula, Inpex dan Shell memiliki hitungan sendiri. Keduanya kompak menyatakan, pembangunan kilang offshore hanya menelan dana US$ 14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat mencapai US$ 19,3 miliar. (Nrm/Ndw)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya