Lewat Sensor Mandiri, LSF Tak Mau Rusak Budaya Asli Daerah

Lembaga Sensor Film (LSF) mengaku tak mau merusak budaya asli daerah melalui sensor mandiri.

oleh Ruly Riantrisnanto diperbarui 24 Mar 2016, 08:40 WIB
Lembaga Sensor Film (LSF) mengaku tak mau merusak budaya asli daerah melalui sensor mandiri.

Liputan6.com, Manado - LSF kini tengah mengedepankan program swasensor atau sensor mandiri berdasarkan kesadaran masyarakat seluruh Indonesia. Salah satu pertimbangannya adalah kemajuan teknologi yang telah berkembang sangat pesat.

Dalam penyelenggaraan Sosialisasi Penyerapan Kearifan Budaya Lokal di kota Manado, Senin (21/3/2016) lalu, salah satu anggota LSF, Ni Luh Putu Elly Prapti Erawati menyampaikan berbagai hal menyangkut visi dan contoh dari penerapan masyarakat sensor mandiri.

"Sensor mandiri harus menjadi sistem kekebalan mandiri masyarakat yang mampu melindungi diri mereka sendiri dari pengaruh buruk yang mungkin ditimbulkan oleh film yang mereka saksikan," ujar Ni Luh Putu Elly Prapti Erawati di Hotel Sintesa Peninsula, Manado, Senin.

Dalam satu sesi yang dimoderatori Kepala BPNST Sulutenggo, Drs. Rusli Manorek, disampaikan Ni Luh Putu Elly bahwa sebuah film yang telah mengantongi surat tanda lulus sensor (STLS), bisa saja dianggap kurang sesuai karena faktor kebhinekaan. Sehingga, sebuah adegan yang bukan menjadi masalah bagi satu kelompok, bisa menjadi kontroversi bagi masyarakat lainnya karena perbedaan budaya setempat.

Anggota LSF, Ni Luh Putu Elly Prapti Erawati dalam Sosialisasi Penyerapan Kearifan Budaya Lokal di kota Manado, Senin (21/3/2016). (Ruly Riantrisnanto)

"Misalnya film yang mengekspos seni tato. Masyarakat suku Dayak Kalimantan yang menganggap tato sebagai budaya dan bahkan menunjukkan status sosial, tentu tidak akan mempermasalahkan adegan yang memperlihatkan remaja dan ibu-ibu yang bertato. Tapi bagi masyarakat lain mungkin hal tersebut dianggap tabu dan karenanya tidak layak untuk mereka saksikan," lanjutnya.

Forum ini juga turut melibatkan narasumber budayawan setempat, Alex John Ulaen. Ia menyebutkan bahwa sensor dalam film yang masuk ke Indonesia juga sangat erat kaitannya dengan agama yang dianut oleh masyarakat di Tanah Air.

Acara LSF dalam Sosialisasi Penyerapan Kearifan Budaya Lokal di kota Manado, Senin (21/3/2016). (Ruly Riantrisnanto)

Masyarakat Sensor Mandiri merupakan program jangka panjang LSF yang sekaligus memperingati 100 tahun sensor film Indonesia. Sosialisasi di tahun ini, sekaligus menjadi agenda bagi LSF untuk memperkuat badan sensor di setiap daerah seluruh Tanah Air.

Pihak LSF sedang membentuk badan sensor di setiap daerah. Melalui hal tersebut, diharapkan film karya anak-anak daerah bisa dinikmati secara aman oleh masyarakat sekitarnya tanpa perlu disensor oleh LSF Pusat.

Sosialisasi Masyarakat Sensor Mandiri juga sekaligus menjadi bagian dari peringatan 100 Tahun Sensor Film Indonesia.

Hasil sensornya pun disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Sudah ada empat provinsi yang sedang digalakkan, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Jawa Barat. Tenaga kerja yang ada diseleksi secara ketat dan harus berasal dari putra daerah setempat dengan status setara Pegawai Negeri.

Sosialisasi pertama di tahun ini, telah berlangsung pada Senin, 21 Maret 2016 di Manado, Sulawesi Utara. LSF turut mengundang Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, namun akhirnya diwakilkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Utara, Happy T.R. Korah yang sekaligus membuka forum sosialisasi ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya