[KOLOM] Makin Tua Makin Perkasa

Simak ulasan Asep Ginanjar soal pemain uzur yang masih unjuk gigi di sepak bola dunia.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Mar 2016, 08:10 WIB
Kolom Bola Asep Ginanjar (grafis: Abdillah/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Untuk melakukan apa pun, apalagi sesuatu yang luar biasa, selalu diperlukan kekuatan. Salah satu sumbernya yang sangat besar adalah kepercayaan. Seseorang yang dianggap lemah pun bisa menunjukkan kekuatannya saat diberi kepercayaan penuh. Sebaliknya, tanpa kepercayaan, seseorang yang hebat malah bisa tenggelam.

Baca Juga

  • [KOLOM] Sukses Bayern Lumat Juve, Sebuah Keberuntungan?
  • [KOLOM] Pizarro, Legenda Baru Setara Maradona
  • Rio Haryanto Jadi Pembalap F1 Paling Populer di GP Australia

Lihat saja Claudio Pizarro musim ini. Keberhasilannya menjadi pemain tersubur di  Werder Bremen sepanjang masa tak terlepas dari kepercayaan yang diberikan pelatih Viktor Skripnik. Buktinya 11 dari 12 gol Pizarro di Bundesliga saat ini dicetak saat dipercaya sebagai starter.

Meski pada saat bersamaan Bremen mendatangkan Aron Johannson dan Anthony Ujah, Skripnik sejak awal tak membatasi kans Pizarro hanya karena sudah "karatan". "Saya bahkan membayangkan ketiganya berada di lapangan secara bersamaan," kata dia.

Hal serupa dialami Luca Toni di Hellas Verona. Sejak datang pada 2013, dia dipercaya menjadi penyerang utama oleh allenatore Andrea Mandorlini. Itu tak didapatkan Toni saat berada di Fiorentina pada musim sebelumnya. Hasilnya, berkat kepercayaan yang diberikan Mandorlini, Toni menjadi capocannoniere pada musim 2014-15.

Ekspresi kegembiraan striker Verona, Luca Toni, setelah mencetak gol ke gawang Napoli, (15/3/2015). Luca Toni menjadi pencetak gol terbanyak Serie A 2014-2015 bersama Mauro Icardi. (AFP/Olivier Morin)

Pizarro dan Toni memang bukan pemain sembarangan. Tapi, patut dicatat, mereka meraih prestasi besar itu dalam umur yang tak lagi muda. Pizarro pada umur 37 tahun,  sedangkan Toni lebih tua lagi, 38 tahun.

Berkat kepercayaan dari pelatih masing-masing, Pizarro dan Toni membuktikan bahwa umur hanyalah angka. Menurut Pizarro, umur tak sama bagi semua orang. Itu sebabnya, umur tak bisa dijadikan patokan dalam menilai seseorang.

Claudio Pizarro (CARMEN JASPERSEN / DPA / AFP)

Menjadi tua adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari siapa pun. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun, umur seseorang pasti bertambah. Itu sesuatu yang tak bisa dilawan.

Konsepsi tentang orang yang sudah berumur memang tidak sama di pelbagai belahan dunia. Namun, pada umumnya, orang yang sudah berumur dianggap kurang berguna dan tak produktif. Mereka malah dipandang sebagai beban.

Di banyak perusahaan, terutama di Indonesia, batasan umur dalam penerimaan karyawan adalah hal biasa. Mereka cenderung enggan mempekerjakan orang-orang yang terbilang tua, lewat dari 35 tahun.

Itu bisa dipahami. Secara fisik, orang-orang yang terbilang tua tidak lagi kuat dan bugar. Fungsi biologis dan performa fisik manusia mencapai puncaknya pada 20-35 tahun dan menurun setelah umur 35 tahun. Menurut sebuah penelitian, kekuatan genggaman orang di banyak belahan dunia menurun drastis setelah melewati umur 35 tahun.

Meski demikian, bukan berarti orang-orang berusia lanjut betul-betul sudah habis dan pasti tak akan berprestasi lagi. Asalkan diberi kepercayaan, mereka masih mungkin membuat prestasi besar. Seperti diungkapkan Johannes Koettl, ekonom senior Bank Dunia, sebenarnya skill dan kemampuan seseorang tidaklah berkurang meski terjadi penuaan.


COMEBACK ADURIZ

Di arena sepak bola, selain Pizarro dan Toni, ada beberapa pemain lain yang membuktikan bahwa umur hanyalah angka. Sosok terbaru adalah Aritz Aduriz. Dalam umur 35 tahun, ketika pemain-pemain lain sudah menatap mentari senja, dia justru dipanggil lagi ke timnas Spanyol, berselang 5,5 tahun dari satu-satunya cap yang dimilikinya.

"Sungguh sangat tidak biasa mendapat panggilan pada usia ini. Itu sebabnya saya merasa begitu terhormat dan senang berada di sini. Umur hanyalah angka. Terpenting adalah semangat, dan saya memiliki itu," ungkap Aduriz.

Penggawa Athletic Bilbao itu menjadi sebuah anomali. Selama bertahun-tahun, Spanyol dikenal memiliki regenerasi sangat baik di sepak bola. Kemunculan talenta muda baru di timnas Spanyol adalah hal biasa. Menjadi sebuah kejutan kala seorang pemain gaek mampu melawan arus itu.

Penyerang Athletic Bilbao, Aritz Aduriz, menjadi pemain tersubur sementara di Spanyol dengan koleksi 20 gol. Aduriz mencetak tiga gol dalam kemenangan 3-0 atas Rayo Valecano. (AFP/CHRISTOF STACHE)

Keberhasilan comeback ke timnas Spanyol itu tentu bukan hadiah yang datang begitu saja. Entrenador Vicente Del Bosque tidak sedang mabuk atau mengigau kala memasukkan nama Aduriz ke skuatnya. Penyerang Bilbao itu memang tengah mencorong. Dalam 48 laga yang dilakoninya di pelbagai ajang musim ini, dia sanggup mencetak 31 gol.

Di Divisi Primera, dengan koleksi 17 golnya, Aduriz bersama striker Eibar, Borja Baston, adalah pemain lokal tersubur saat ini. Sangat pantas bila dia lantas dipercaya mengisi lini depan bersama Pedro Rodriguez, Paco Alcacer, Alvaro Morata, dan Nolito. Apalagi Diego Costa harus absen karena dinilai tidak dalam kondisi fit.

Old crack lain yang mencetak prestasi luar biasa adalah Gianluigi Buffon. Kiper andalan Juventus yang berumur 38 tahun ini membuat catatan spesial kala menaklukkan Torino 4-1, akhir pekan lalu. Dia membukukan rekor baru dengan tak kebobolan selama 973 menit di serie-A. Itu melewati rekor Sebastiano Rossi yang clean sheet selama 929 menit pada 1992-93.

Berbeda dengan Aduriz, Buffon memang masih kiper nomor wahid di Italia. Saat ini, tak ada kiper lain yang memiliki konsistensi dan kemampuan setara dirinya.

Gianluigi Buffon mencetak rekor dengan menjaga gawangnya tidak kebobolan selama 930 menit saat timnya melawan Torino pada laga liga Italia Serie A di di Stadion Olimpico, Turin, Senin (21/3/2016) dini hari WIB. (AFP/Marco Bertorello)

Salvatore Sirigu yang tadinya sangat dijagokan untuk jadi penerus Buffon malah mandek. Musim ini, dia hanya jadi kiper cadangan di Paris Saint-Germain. Dia tergeser oleh Kevin Trapp yang didatangkan dari klub semenjana Bundesliga, Eintracht Frankfurt.

Padahal, Sirigu punya andil besar dalam keberhasilan PSG juara Ligue 1 tiga kali beruntun. Bahkan, pada 2012-13, Sirigu melewati rekor clean sheet di PSG milik Bernard Lama.


SECOND WIND

Para pemain tua yang mencetak prestasi saat sedang menuju titik akhir karier itu bolehlah disebut mendapatkan second wind. Istilah ini aslinya menggambarkan seorang atlet   maraton yang tengah kehabisan napas dan kelelahan, namun tiba-tiba saja menemukan kekuatan baru untuk bangkit, bahkan menyodok ke depan.

Hal yang menarik, para pemain gaek itu seolah melawan zaman. Di tengah permainan sepak bola yang dikatakan makin cepat hingga para wasit perlu diperlengkapi teknologi, mereka tidak tergilas oleh para pemain muda yang jauh lebih bugar dan cekatan.

Bagi Koettl, fenomena ini sebenarnya sangat bisa dipahami. Menurut dia, orang-orang muda memang berlari lebih cepat, tapi para senior tahu jalan pintas sehingga bisa lebih cepat tiba di garis finis.

Penjaga gawang Juventus, Gianluigi Buffon, (tengah) mencetak rekor baru setelah menghadapi Inter Milan, Senin (29/2/2016) dini hari WIB. (Reuters/Juan Medina)

Berbekal segudang pengalaman yang dimiliki, para pekerja senior lebih sigap dan bijak dalam menghadapi masalah. Pizarro salah satu contohnya. Dia mengakui bahwa kemampuan tubuhnya menurun. Untuk itu, dia harus kompromistis. Bila tubuh menuntut istirahat, dia harus berhenti sejenak.

Meski demikian, pada akhirnya, kepercayaan yang cukup besar adalah syarat mutlak. Tanpa itu, second wind dan prestasi istimewa adalah impian belaka. Tanpa kepercayaan, tak akan ada kesempatan. Tanpa kesempatan, tak akan ada keberhasilan.

*Asep Ginanjar, pemerhati sepak bola, jurnalis dan komentator. Untuk komentari kolom ini bisa ke @seppginz.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya