Liputan6.com, Jakarta - Penembakan 3 polisi di Bank BCA Palu, Rabu 25 Mei 2011, menjadi titik awal perburuan polisi terhadap gembong teroris Santoso. Pegunungan di Poso, Sulawesi Tengah, menjadi tempat persembunyian sekaligus arena gerilya kelompok teror tersebut.
Di tengah perburuannya itu dia mengkosolidasikan kekuatan. Tidak hanya di Poso, namun sampai ke luar Poso, salah satunya menghimpun kekuatan dari mereka yang terlibat konflik berdarah, salah satunya kelompok Sabar Subagjo alias Daeng Koro, seorang pecatan tentara.
Dalam perjalanannya, Daeng Koro menjadi tangan kanan Santoso dan think tank serangkaian teror. Keduanya lalu diklaim sebagai dua pentolan teroris paling berbahaya.
Dalam upaya penggalangan kekuatan secara berjejaring itu, Santoso berkenalan dengan Badri Hartono seorang mantan anggota Jamaah Islamiyah dan bekas anak buah Noordin M Top, teroris yang piawai merancang bom.
Baca Juga
Advertisement
Badri lalu memberikan pelatihan perakitan bom di Poso. Badri pulalah yang mengajak sebagian kelompoknya ke Poso dan bergabung dengan Santoso. Sel baru muncul. Badri membentuk kelomok teror yang dinamakan Al Qaeda Indonesia. Sel ini dibentuk usai Badri menuntaskan pelatihan merakit bom.
Sel-sel teroris terus berkembang ke Pulau Jawa, seperti Solo dan Jakarta. Teror-teror bermunculan.
"Tujuannya supaya polisi mengalihkan konsentrasinya ke wilayah Solo dan Jakarta, sehingga Santoso Cs bisa konsentrasi membangun kekuatan," kata mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Inspektur Jenderal Ansyaad Mbai, dalam 'Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia', seperti dikutip Liputan6.com, Senin (28/3/2016).
Sosok Daeng Koro
Mayor Inf Achmad Munir selaku Kepala Bagian Penerangan Kopassus TNI AD mengatakan, Daeng Koro memiliki nama asli Sabar Subagio dan pernah terdaftar sebagai anggota Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) yang kini bernama Kopassus.
Munir menjelaskan, pada saat menjalani seleksi komando, Daeng Koro tidak lulus seleksi karena hasil tes jasmani tidak memenuhi syarat sebagai prajurit komando. Kemudian dia ditampung di Detasemen Markas (Denma) Cijantung selama 4 tahun.
"Kegiatan selama ditampung di Denma hanya mengikuti TC (training Center) Voli," ujar Munir.
Pada 1985, kata Munir, Daeng Koro dipindahkan ke Kariango, Maros, Sulawesi Selatan untuk menjadi anggota Brigif Linud 3/TBS Kostrad dan menjadi tim TC Voli. Sampai akhirnya Daeng Koro dipecat pada 1992.
"Daeng Koro tidak mempunyai kualifikasi sebagai prajurit komando, maka dia tidak mempunyai kemampuan khusus dan tidak pernah mengikuti latihan-latihan yang bersifat khusus," ujar Munir.
Karienya terancam setelah terlibat asusila dengan istri prajurit lain. Kelakukan bejat itulah yang mengakhiri kariernya dari TNI AD.
"Yaitu tertangkap basah melakukan perbuatan zina atau asusila," ungkap Munir.
Menurut Munir, akibat perbuatannya itu, Daeng Koro juga pernah menghuni sel tahanan militer selama 7 bulan. Setelah selesai menjalankan hukuman melalui sidang peradilan militer, dia resmi dipecat dari keangotaan TNI.
"Kemudian yang bersangkutan menjalani hukuman kurungan di Rumah Tahanan Militer (RTM) selama 7 bulan. Melalui proses hukum di sidang peradilan militer, 1992 Daeng Koro dipecat dari dinas militer dengan pangkat terakhir Kopral Dua (Kopda)," tutup Munir.
Jumat 3 April 2015, terjadi baku tembak terduga kelompok teroris dengan Densus 88 di Pegunungan Sakina Jaya, Desa Pangi, Kecamatan Parigi Utara, Sulawesi Tengah. Dalam baku tembak itu seorang terduga teroris tewas, hasil penyelidikan dan forensik dinyatakan teroris yang tewas itu adalah Daeng Koro.