Liputan6.com, Yogyakarta - Muhammadiyah akan memfasilitasi secara hukum bagi keluarga Sriyono, terduga teroris yang diduga tewas setelah berduel dengan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Bantuan hukum yang diberikan ini untuk memberikan keadilan bagi keluarga korban. Sebab, saat ini pengungkapan kasus terorisme dinilai tidak pernah terbuka.
Lantaran itulah, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas menyarankan pemerintah seharusnya membentuk tim independen untuk mengevaluasi kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88. Apalagi, informasi kasus-kasus teroris terkesan satu arah dan tidak pernah terbuka.
"Sudah saatnya Presiden (Joko Widodo atau Jokowi) memgambil keputusan membentuk tim independen, melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pola kerja dan kinerja BNPT dan Densus 88," ucap Busyro di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta, Selasa 29 Maret 2016.
Busyro menjelaskan, jika memang kasus terorisme ini sudah ada tersangka seharusnya diselesaikan di pengadilan. Biarkan pengadilan yang membongkar keterkaitan pelaku diduga teroris tersebut. Sebab saat ini kasus-kasus terorisme cenderung ditutupi oleh polisi dan Densus.
Baca Juga
Advertisement
"Buat kami terorisme jika diungkap lebih jujur transparan profesional dan akuntabel tentunya, maka Sriyono dengan tubuh yang tidak meyakinkan untuk melawan kepada Densus. Kalau betul bisa melawan itu bisa dilumpuhkan secara fisik, tapi tidak bisa dihilangkan nyawanya," ujar mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Busyro mengatakan pula, berita yang dilansir Mabes Polri bahwa bersangkutan (terduga teroris Sriyono) punya peran yang besar di jaringan teroris itu harusnya bisa dibuka di pengadilan. Dengan demikian, publik tahu keterkaitannya dan jaringan terorisme yang selama ini disebut-sebut. Ia berharap media juga dapat mengungkap kasus terorisme secara menyeluruh.
"Sama dengan Komando Jihad di Filipina itu dibongkar di pengadilan. Hasilnya banyak sekali kejanggalan dan beberapa jaksa dan hakim yang mengadili setelah saya temui itu mengakui di bawah tekanan intelijen. Kami khawatirkan cara-cara itu akan terus digunakan dan dilakukan," papar Busyro.
Busyro juga berharap kepada BPK, BPKP dan lembaga keuangan yang terkait transaksi keuangan PPATK dapat segera mengambil keputusan kelembagaan untuk mengaudit dana operasional BNPT dan Densus.
"Harus terbuka PPATK bukan hanya menyebut dana dari Timur Tengah untuk kegiatan terhadap gerakan terorisme. Itu bagus jika bisa dibuktikan. Tapi sisi lain harus melakukan langkah melakukan audit untuk operasional BNPT dan Densus," Busyro Muqoddas menandaskan.
Ancaman Serius
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti meminta penanggulangan masalah terorisme di Tanah Air harus ditingkatkan. Ancaman serius di masa depan yang perlu diantisipasi adalah masalah pendanaan terorisme.
"Ke depan hadapi ancaman serius, kita belum sepenuhnya melakukan upaya total penanggulangan terorisme, seperti masalah pendanaan terorisme," kata Badrodin dalam amanatnya saat serah terima jabatan (sertijab) 3 Kapolda dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di Rupatama, kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin 21 Maret lalu.
Badrodin menuturkan, pengawasan terhadap mantan narapidana kasus terorisme juga harus ditingkatkan. Mengingat, para mantan napi kasus terorisme tersebut masih berpeluang melakukan aksi teror di kemudian hari.
"Pengawasan eks napi terorisme, jadi melakukan kegiatan apa saja dipantau dan monitor. Sehingga bisa mengantisipasi, jangan sampai gabung dan melakukan aksi teror lagi," ucap dia.
Pro-Kontra Revisi UU Terorisme
Adapun revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di DPR masih menuai pro dan kontra. Banyak kekhawatiran yang membayangi ketika UU tersebut selesai direvisi.
Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, jika memang revisi UU Terorisme dilakukan, harusnya bisa membuat efektif pemberantasan teroris di Indonesia.
"Kita ingin adanya revisi UU terorisme membuat pemberantasan teroris efektif, tapi kita juga inginkan terjamin hak asasi manusianya. Kita ingin dengan ada UU itu terorisme hilang dari bumi pertiwi kita," ungkap pria yang karib disapa Akom itu di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 28 Maret lalu.
Selama ini, kata dia, usaha aparat dalam menangkap teroris dikritik karena melanggar HAM oleh sebagian masyarakat. Hal tersebut merepotkan masyarakat. Karena itu, revisi UU tersebut harus mengakomodasi hal-hal itu.
"Jangan sampai semua aparat lindungi rakyatnya tapi kita (masyarakat) genit-genitan melakukan opini seolah-olah terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia. Ini akan menyurutkan pergerakan mereka (aparat) dalam melindungi kita dari terorisme," papar Akom.
Advertisement