Liputan6.com, Bangkok - Mobil listrik disebut sebagai moda transportasi alternatif pengganti mobil berbahan bakar fosil. Banyak negara sedang mengembangkannya. Pun dengan Indonesia. Dengan berpusat pada kampus-kampus besar, telah ada beberapa prototipe yang dihasilkan, dan berhasil diuji coba meski dengan berbagai kekurangan.
Lantas, bagaimana dengan negara tetangga kita, Thailand? Sejauh ini, sebagaimana dilaporkan Bangkok Post, pemerintah Negeri Gajah Putih itu telah berjanji akan memberikan dukungan penuh dalam hal keuangan, penelitian-pengembangan, sumber daya manusia, serta infrastruktur bagi siapa saja yang mau berkontribusi.
Tapi di satu sisi, menurut sumber yang sama, pabrikan yang `bermain` di sana cukup pesimistis. Menurut mereka, perlu `jalan` yang masih sangat panjang.
Baca Juga
Advertisement
Kazutaka Nambu, Presiden Nissan Motor Thailand misalnya, mengatakan manufaktur masif kendaraan listrik di sana tak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, volume kendaraan masih kecil dan harganya masih sangat mahal.
"Setidaknya dibutuhkan dua langkah penting: lebih banyak promosi untuk kendaraan hybrid, (HEV), plug-in hybrid (PHEV), dan battery (BEV) yang disubsidi pemerintah, insentif pajak untuk model CBU, serta keringanan tarif impor untuk model CKD," ujarnya.
Senada dengan Nissan, Chief Operating Officer Honda Automobile Thailand, Pitak Pruittisarikor berpendapat produksi kendaraan berteknologi tinggi masih jauh dari kenyataan karena kurangnya permintaan.
"Pengemudi Thailand masih merasa HEV mahal, dengan pasokan terbatas dan perawatan yang harus cermat. Kami harus menunggu sampai permintaan lokal cocok, yang akan menciptakan skala ekonomi bagi para pembuat mobil untuk melokalisasi produksi mereka," terang Pitak.
Untuk diketahui, di Thailand, ada 70.285 HEV dan PHEV, di mana 69.816 di antaranya adalah mobil pribadi dengan segmen mewah. Proporsinya kurang dari 1 persen dari jumlah mobil penumpang yang mencapai 7,7 juta unit.