Liputan6.com, Jakarta - Hari Yola (29) seketika menjadi kelabu. Kegembiraannya mendengarkan suara sang suami dari telepon, tiba-tiba menjadi duka. Alvian Alvis Petty, suaminya, mengabarkan soal kondisinya. Pria yang bekerja di Kapal Brahma 12 itu memberitahu tengah disandera oleh perompak. Yola pun kaget dan panik.
"Saya pertama kali tahu Minggu (27 Maret 2016) pagi jam 10-an dihubungi dia langsung. Dia bilang kapalnya lagi dibajak, dia minta untuk jangan panik," kata Yola di Jakarta Utara, Selasa 29 Maret 2016.
Perempuan yang tinggal di Jalan Swasembada Barat 17 Nomor 25 RT 03 RW 03, Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara ini menuturkan sang suami bercerita perompak tersebut minta uang tebusan.
Namun Alvian tidak menyebutkan berapa jumlah uang yang diminta oleh para perompak.
Advertisement
Hal yang sama juga dirasakan oleh keluarga Wendi Rakhadian. Tak ada firasat apapun yang dirasakan orangtua anak buah Kapal Brahma 12 itu. Tidak pernah terbayang di benaknya, Wendi akan mengalami nasib buruk saat melaut.
Ayah Wendi, Aidil hanya bisa pasrah. "Semua profesi ada risiko, kita saat ini hanya bisa terus berdoa untuk keselamatan Wendi," kata Aidil (55) kepada Liputan6.com, Padang, Rabu 30 Maret 2016.
Dia tegar menghadapi kenyataan anaknya disandera perompak kapal bersama 9 WNI lainnya. Setiap waktu, ujar Aidil, dia menghubungi telpon genggam si sulung dari tujuh bersaudara.
"Telepon sering, tapi ndak pernah berhasil, menurut kabar perusahaan pemilik kapal, Wendi dan rekannya ditahan di sebuah pulau," ujar Aidil.
Pagi ini, perusahaan kapal yang dibajak Abu Sayyaf kembali menghubungi keluarga. Mereka mengabarkan anaknya dalam kondisi sehat.
"Anak bapak sehat-sehat saja," kata Aidil menirukan ucapan perwakilan perusahaan.
Keluarga Wendi Rakhadian, anak buah kapal Brahma 12 yang disandera kelompok Abu Sayyaf segera dibebaskan. Dia berharap pemerintah mengambil langkah tegas2470652 membebaskan 10 WNI yang ditahan.
Ini merupakan kali keempat Wendi berlayar ke kawasan tersebut membawa batu bara. Pihak penyandera meminta tebusan sekitar Rp 14 miliar untuk membebaskan 10 awak kapal. Penyanderaan Kapal Motor Brahma 12 diduga terjadi di Perairan Laguyan, Tawi-tawi, Mindanao Selatan.
Data Indonesia Liason Officer TNI, 10 nama kru kapal yang dibajak yang disandera, yakni Peter Tonsen Barahama, Julian Philip, Alvian Elvis Peti, Mahmud, Surian Syah, Surianto, Wawan Saputra, Bayu Oktavianto, Reynaldi, dan Wendi Rakhadian.
1x24 Jam
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyatakan, jajarannya siap 1x24 jam untuk menyelamatkan 10 WNI anak buah kapal (ABK) Tugboat Brahma 12 yang disandera kelompok perompak kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina.
Dia mengatakan, hingga saat ini upaya yang dilakukan TNI adalah bernegosiasi dengan militer Filipina untuk membahas proses pembebasan kesepuluh WNI itu.
"TNI 1x24 jam siap (menyelamatkan). TNI negosiasi dengan Panglima Tentara Filipina, tapi yang jelas pernyataan Pemerintah RI prioritas menyelamatkan WNI," tegas Gatot di Aula Sudirman, Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu.
Hingga pukul 20.00 WIB, belum ada anggota TNI yang diberangkatkan ke Filipina. Hal ini karena TNI harus mengantongi izin dari Filipina terlebih dahulu untuk masuk ke wilayah perairannya.
Tak ada personel maupun armada TNI yang berpatroli di perairan Filipina. Adapun patroli di perbatasan yang sifatnya bersama-sama.
"Tidak ada yang berangkat. Etika masuk negara orang masuk gunakan izin," ucap Gatot.
Dia mengatakan TNI telah mengetahui posisi kelompok perompak Abu Sayyaf asal Filipina yang menyandera 10 warga negara Indonesia.
Titik koordinat para perompak didapat dari hasil koordinasi TNI dengan militer Filipina. Ia mengatakan, TNI akan memprioritaskan keselamatan ke-10 WNI, sesuai arahan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
"Berdasarkan monitor dan koordinasi dengan tim dari Filipina, lokasi ada di Filipina. Mereka sudah tahu tempatnya," kata Gatot.
Namun Gatot enggan mengatakan hal apa saja yang disiapkan TNI dalam misi pembebasan tersebut.
"Setiap saat saya koordinasi, monitor. Kemudian saya hanya menyampaikan apapun yang diperlukan Pemerintah Filipina, kami siap. Siapnya bagaimana, itu adalah urusan saya," ujar Gatot.
TNI pun meminta para nelayan serta kapal-kapal yang melintasi wilayah perairan Sulawesi Utara untuk selalu berkoordinasi dengan aparat keamanan, baik TNI AL maupun Polri. Sebab kawasan itu rawan perompak.
"Karena rawannya wilayah perairan Sulut ini, kita terus tingkatkan patrol," ujar Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Danlantamal) VIII Manado Laksamana Pertama TNI Manahan Simorangkir di Manado.
Dia menambahkan pasca-penyanderaan kapal Tugboat Brahma 12 oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina pada Sabtu 26 Maret 2016 lalu, pengawasan di perairan laut Sulut diperketat.
"Iya, penjagaan makin diperketat. Memang perairan Sulut sangat rawan," kata Manahan.
Salah satu perbatasan yang diperketat adalah Kabupaten Minahasa Utara (Minut).
"Ini jalur transit laut daerah perbatasan. Setelah masuk melalui Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sangihe, maka rute ke Manado adalah melalui Minut dan Bitung. Maka wilayah ini kita perketat pengamanannya," ujar Manahan.
Kehabisan Bahan Bakar
Kapten kapal Brahma 12, Piter Tonsen Barahama, menjadi salah satu korban penyanderaan kelompok Abu Sayyaf saat mengangkut batu bara dari Banjarmasin menuju Filipina. Paman Piter, Kris Izaak (60) menduga kapal yang dibawa kemenakannya itu kehabisan bahan bakar.
Kris berpendapat, rute yang dilewati Piter tidak biasa karena melintasi pulau-pulau. Jika bahan bakar mencukupi, kapal akan langsung naik ke atas menuju tujuan di Filipina. Pendapatnya itu berdasarkan pengalamannya melaut selama ini.
"Kemungkinan kapal disandera karena kehabisan bahan bakar yang kemudian mendekat pulau yang dikuasai pembajak," ucap Kris Izzak di kediamannya di Perum Paradise, Batu Aji, Batam, Kepulauan Riau, Selasa sore, 29 Maret 2016.
Kris mengungkapkan, jalur langsung relatif lebih aman dari sergapan Abu Sayyaf karena bukan kawasan yang dikuasai kelompok pemberontak itu. Menurut Kris, pembajak tidak akan berani menyerang jika bukan termasuk kawasan kekuasaannya.
"Karena salah satu pulau di Filipina yang dekat perbatasan, yaitu Mindanao, salah satunya itu merupakan pulau yang dikuasai Abu Sayyaf," tutur Kris.
Lantas siapa kelompok Abu Sayyaf? Dari sumber yang dihimpun Liputan6.com, Abu Sayyaf merupakan salah satu kelompok separatis terkecil dan kemungkinan paling berbahaya di Mindanao.
Beberapa anggotanya pernah belajar atau bekerja di Arab Saudi dan mengembangkan hubungan dengan mujahidin ketika bertempur dan berlatih di Afganistan dan Pakistan.
Kelompok Abu Sayyaf ini juga dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyyah, adalah sebuah kelompok separatis yang terdiri dari milisi Islam yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao.
Khadaffi Janjalani dinamakan sebagai pemimpin kelompok ini oleh Angkatan Bersenjata Filipina.
Dilaporkan bahwa akhir-akhir ini mereka sedang memperluas jaringa ke Malaysia dan Indonesia. Kelompok ini bertanggung jawab terhadap aksi-aksi pengeboman, pembunuhan, penculikan, dan pemerasan dalam upaya mendirikan negara Muslim di sebelah barat Mindanao dan Kepulauan Sulu.
Desakan
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, saat ini kelompok Abu Sayyaf yang menyandera anak buah kapal asal Indonesia kemungkinan sedang terdesak dan kesulitan dalam pendanaan hingga membajak kapal asing yang lewat.
"Mereka (kelompok Abu Sayyaf) melakukan cara-cara pemerasan antara lain melalui penyanderaan," ujar Mahfudz di Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Sehingga, menurut Mahfudz, pemerintah tidak perlu memenuhi permintaan kelompok garis keras asal Filipina itu. Sebab Indonesia bisa meminta otoritas Filipina untuk selesaikan masalah itu.
Ia pun menyarankan agar pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan Filipina untuk pembebasan para sandera.
Sementara, Anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya meminta agar pemerintah meminta Badan Intelijen Nasional (BIN) berkomunikasi dengan kelompok Abu Sayyat demi membebaskan para sandera.
"Sesuai dengan kebiasaan dan etika diplomasi, kita gunakan dulu perwakilan kita di Manila dibantu oleh BIN untuk melakukan komunikasi dengan kelompok Abu Sayyaf," kata Tantowi.
Tindakan tegas, kata dia, baru dapat dilakukan jika perundingan menemui jalan buntu. Tentu berdasarkan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Filipina.
Sebelumnya, sebuah video di akun Facebook yang diduga milik salah seorang anggota Abu Sayyaf beredar. Dalam rekaman itu, mereka mengancam akan menghabisi nyawa sandera 10 ABK Indonesia jika uang tuntutan 50 juta peso atau sekitar Rp 14,3 miliar tidak dipenuhi. Kelompok teroris itu memberikan batas waktu hingga 8 April 2016.
Tuntutan itu disampaikan oleh kelompok tersebut kepada pemilik kapal. Seperti dilansir dari Inquirer, Rabu (30/3/2016), militer Filipina mengatakan pemerintahnya mempunyai kebijakan tak akan memberikan uang tebusan.
Hal tersebut segera dibenarkan oleh pemerintah. "Benar bahwa telah terjadi pembajakan terhadap kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batu bara dan 10 orang awak kapal berkewarganegaraan Indonesia," ucap Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanantha Nasir kepada Liputan6.com, Jakarta.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, mengatakan pihaknya telah melakukan segala kerja sama dengan Filipina.
"Prioritas kami adalah keselamatan 10 warga Indonesia yang hingga kini masih berada di tangan penyandera," kata Retno.
Brahma 12 dan Anand 12 datang dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan. Kapal Anand telah dibebaskan oleh kelompok itu, sementara satu lagi beserta 10 kru masih ditahan. Menurut dokumen, kapal itu membawa 7.000 ton batu bara.
Selain 10 warga Indonesia, masih ada sandera lain dari berbagai negara. Mereka berasal dari Belanda, Kanada, Norwegia, dan Tiongkok.
Baca Juga
Quincy Kammeraad, Kiper Filipina yang Gawangnya Kebobolan 7 Kali oleh Timnas Indonesia 7 Tahun Lalu Kini Jadi Pahlawan di Piala AFF 2024
Harga Mentereng Kristensen, Pemain Filipina yang Pupuskan Asa Indonesia di Piala AFF 2024
Piala AFF 2024 Sedang Berlangsung, Tonton Live Streaming Pertandingan Timnas Indonesia VS Filipina di Sini
Advertisement