Perempuan yang Menghabiskan Waktunya untuk Menenun

Parniwati merinci, secara umum ada dua jenis kain tenun khas Lombok, yakni songket dan ikat.

oleh Azwar Anas diperbarui 31 Mar 2016, 06:02 WIB
Parniwati merinci, secara umum ada dua jenis kain tenun khas Lombok, yakni songket dan ikat.

Citizen6 Jakarta - Usianya boleh dibilang tak muda lagi. Namun kepiawaiannya memainkan mesin tenun tak kalah dengan yang lain. Jemarinya masih cukup cekatan untuk menyulam benang demi benang dengan menggunakan ATMB (Alat Tenun Bukan Mesin).

Walau daya lihatnya sudah tak sejeli saat muda, Parniwati tetap lihai membedakan mana benang melintang dan mana benang yang membujur. Menenun berarti menyusun kedua arah benang tetap pada jalur sehingga membentuk motif tenunan sesuai yang diinginkan.

Setengah abad lebih Parniwati menenun, tak terhitung jumlah tenunan yang sudah dihasilkan. Entah dibeli wisatawan asing entah pula wisatawan lokal. Tak hanya Parniwati, semua perempuan yang tinggal di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, NTB, wajib bisa menenun. Bahkan menenun menjadi syarat seorang perempuan layak untuk dinikahi.

"Aturan adatnya memang seperti itu. Perempuan tidak diijinkan menikah sebelum bisa menenun," ujarnya kepada Liputan6.com.

Parniwati menenun sejak berusia 15 tahun, jika usia Parniwati sekarang ini 70, berarti ia telah menenun selama 55 tahun lamanya. "Dan akan terus menenun sampai saya benar-benar tidak mampu lagi menenun," ujarnya seraya mengunyah kinang.

Pulau Lombok tidak hanya menjanjikan wisata alam, kuliner, dan agama, namun juga adat istiadat yang khas. Tenun sudah menjadi bagian dari budaya turun temurun, sehingga kualitas tenun Lombok tetap terjaga kualitasnya.

Parniwati merinci, secara umum ada dua jenis kain tenun khas Lombok, yakni songket dan ikat. Perbedaan dari dua jenis itu cukup sederhana, songket memiliki corak timbul, sedangkan ikat cenderung datar layaknya kain biasa.

Pengerjaan songket pun terbilang rumit. Dalam sehari, rata-rata penenun hanya mampu menghasilkan 15 sampai 25 sentimeter saja. Tak heran jika kain tenun songket ditarif lebih mahal dibanding kain tenun ikat. Harga songket per lembar minimal Rp150.000 hingga jutaan.

Dalam kesempatan mengikuti Fam Trip Media dan Travel Agent, yang digelar Kemenpar, Disbudpar NTB, serta KBRI Kuala Lumpur, selain bisa melihat aneka macam motif tenunan, pengunjung juga diperbolehkan menjajal mesin tenun. Jika mengetahui betapa sukarnya menenun, mungkin Anda akan memaklumi, mengapa kain tenun cenderung bernilai tinggi.

Tetapi kurang afdol rasanya, jika Anda tak berkunjung sendiri ke Sentra Tenun Sukarara ini. Selain Anda bisa memilih dan membeli motif serta koleksi tenun sesuai selera dan karakter kepribadian, Anda juga bisa belajar bagaimana cara menenun. So tunggu apa lagi?

(war)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya