Liputan6.com, London - Lebih dari 30 tahun setelah pembajakan maskapai Pan Am 73 di Bandara Karachi, Pakistan, akhirnya 6 kru pesawat itu berbicara untuk pertama kalinya.
"Insting pertamaku adalah membuka jendela darurat dan menurunkan penumpang sebanyak mungkin. Namun, aku sadar, itu malah membuat mereka sasaran empuk para pembajak," kata mantan pramugari Nupoor Abrol kepada BBC.
Puluhan petugas keamanan mengelilingi pesawat selama 16 jam di Bandara Karachi setelah sekelompok militan Pakistan mengambil alih maskapai itu 5 September 1986. Sejatinya, pesawat itu berangkat ke New York.
Drama penyanderaan itu berakhir penuh darah. 22 orang tewas, 150 terluka.
Baca Juga
Advertisement
Tragedi itu membuat seluruh dunia terhenyak dan kini kisahnya dibuat film. Namun, hingga kini semua kru memilih bungkam.
Seluruh kisah dan kesaksian hanya diberikan kepada Biro Penyelidikan Federal FBI seminggu setelah pembajakan. Lantas di persidangan pada 2005.
Inilah kali pertama mereka berkisah detil kepada media. Termasuk bagaimana kolega mereka, Neerja Bhanot menjadi salah satu 'pahlawan'.
Bukan tanpa alasan mereka mau berbicara depan publik. Mereka ingin menghormati dan mengakui aksi heroik lainnya yang selama ini belum pernah terungkap kepada masyarakat.
"Kejadian pembajakan itu masih menghantui aku dan kolegaku. Beberapa dari kami termasuk penumpang masih terus mengingat masa lalu. Mencoba memperbaiki puzzle dari insiden dan orang-orang yang terlibat di dalamnya," kenang Nupoor.
"Tiap orang mungkin bercerita berbeda dari sudut pandangannya. Namun, semangat dan jiwa kami tetap sama," lanjutnya lagi.
Berikut kisah pembajakan Pan Am yang dilansir Liputan6.com dari BBC, Kamis (31/3/2016).
Pria Bersenjata Masuk ke Pesawat
Saat itu pukul 06.00 dan Pan AM 73 tengah berhenti di Karachi dari Mumbai. Penerbangan itu dijadwalkan akan melanjutkan ke Frankfurt, Jerman lalu New York, Amerika Serikat. Ada 14 awak kabin dalam pesawat, 12 di antaranya bersiap untuk take-off.
Di luar, 4 pria bersenjata bergegas di tarmak dalam sebuah van yang dikira adalah petugas keamanan. Mereka lantas masuk ke dalam Boeing 747 dan meletuskan senjata ke udara.
Nupoor melihat mereka menembak ke arah dekat kaki koleganya, meminta pramugari itu mengunci pintu.
PramugariSherene Pavan, yang tak terlihat para pembajak mendengar suara ribut-ribut segara memencet intercom dan menekan nomor darurat ke kokpit. Pilot menjawab setelah deringan kedua dan Sherena segera memberikan kode pembajakan.
Pramugari lainnya, Sunshine Vesuwala melihat salah seorang pembajak menarik koleganya, Neeerja Bhanot dan meletakkan senjatanya ke kepala perempuan itu.
Dan militan lainnya, dengan AK-47 di tangan serta granat, menyuruh Sunshine mengantarkannya ke kapten.
Pilot Menghilang
Setibanya Sunshine di kokpit. Ruangan itu terlihat kosong. Lengang, tak ada siapapun di dalamnya.
"Aku segera sadar melihat alat melarikan diri dalam kokpit telah digunakan. Aku juga sadar atap kokpit terbuka. Aku cuma pura-pura tak tahu. Aku ingin memberikan pilot waktu untuk keluar dari pesawat. Si pembajaknya tak tahu banyak tentang pesawat dan ia tak mencoba cari tahu," kenang Sunshine.
"Banyak orang yang mengkritik pilot karena mereka meninggalkan para kru dan penumpang. Tapi aku lega ketika mereka hilang, setidaknya kita semua aman di darat daripada dibajak di udara. Setidaknya tiga pilot aman. tiga nyawa dapat diselamatkan," ujar Sunshine.
Senada dengan Dilip Bidichandani, pramugara lainnya, ia lega dengan lepasnya pilot berarti lebih banyak nyawa dapat diselamatkan.
"Pilot sudah mengevakuasi pesawat. Itu berati kita tidak mengiba kepada teroris yang mungkin saja menginstruksikan pesawat menabrak gedung atau bahkan meledakkannya," timpal Bidichandani.
Awal dari rencana pembajakan adalah para militan itu memaksa terbang ke Siprus dan Israel, di mana anggota lain dari kelompok militan mereka dipenjara atas tuduhan teror.
Di luar landasan, Direktur Pam Am kawasan Karachi, Viraf Doroga menggunakan megaphone untuk memulai negosiasi dengan para pembajak. Doroga mengatakan pihak bandara tengah menyiapkan pilot untuk mengantarkan kemana mereka mau.
Sementara itu, di dalam pesawat, penumpang berwarga negara AS berusia 29 tahun harus berlutut di depan pintu pesawat yang terbuka di bawah todongan senjata tepat di kepalanya.
Saat pilot pengganti tak datang dalam waktu satu jam. Kumar ditembak mati dan ditendang dari pesawat.
"Semua langsung berubah. Aksi mereka menunjukkan mereka tak sekedar pembajak namun juga pembunuh," kata Sunshine.
Advertisement
Mencari Warga AS
Sekitar 4 jam drama penyanderaan, para pembajak itu mulai mencari penumpang berwarga negara AS. Para pembajak, The Abu Nidal Organisation (ANO), sangat menentang kebijakan AS dan Isrel terhadap Timur Tengah.
Sunshine, Madhvhi Bahuguna dan pramugari lainnya mulai mengumpulkan paspor para penumpang. Diam-diam mereka tidak mengambil paspor warga AS.
Mereka lantas memberikan 1 tas isi paspor ke pembajak. Secara rahasia mengambil salah satu paspor warga AS dan menyembunyikan dalam baju mereka.
Mike Thexton, salah seorang penumpang di pesawat itu, mendeskripsikan aksi heroik para pramugari dalam bukunya 'What Happened to The Hippy Man' adalah luar biasa beran dan cerdas.
"Pendapatku bisa saja bias, tapi aku rasa hari itu membuktikan awak kabin adalah yang terbaik dalam industri ini," tulis Thexton.
Gagal mencari warga AS, militan mulai mencari Inggris. Mike yang dipaksa duduk di lantai seperti halnya penumpang lain, meletakkan tangannya di kepala. Selain ditendang sekali, Mike merasa ia tak terancam secara fisik, bahkan bisa kabur bersama lainnya saat chaos berlangsung.
Tameng Hidup
Sherene dan Sunshine adalah pramugari yang banyak berkomunikasi dengan pimpinan pembajak, Zaid Hassan Abd Latif Safarini. Pria itu berulang kali meminta Sunshine atau Sherene menjadi tameng hidup jika ia ingin memeriksa ke luar.
"Di salah satu kesempatan, ia menarik rambutku, mengarahkan mukaku ke kaca dan menanyakan apa yang aku lihat di tarmak. Ia bilang mencari pesawat tempur AS," kenang Sherene.
Maherjee Kharas, mekanik Pam Am yang saat itu berada dalam pesawat dipaksa untuk menggunakan kontak radio dengan para negosiator di luar. Saat itu para pembajak percaya pilot akan segera ditemukan untuk menerbangkan mereka.
Dalam beberapa jam di lantai atas pesawat itu, Safarini membiarkan penjaganya mondar-mandir. Pemimpin itu kadang bercanda dan menggoda Sunshine, menggundangnya ke Siprus dan berjanji akan mengajarkannya berenang.
Sunshine tetap waspada. Pramugari itu menatap lama kampak darurat dalam kokpit. Safarini lantas menodongkan senjata ke kepalanya.
"Jangan pernah berpikir untuk melakukan itu," kata Safarini.
Setelah sadar kalau pilot tak bakal disediakan. Pembajak mengatakan para penumpang akan ditembak tiap 15 menit.
Nupoor mencoba menenangkan para penupang sementara Dilip Bidichandani mengedarkan sandwhich dan Neeerja memberikan air.
"Hari itu, tanpa kami sadari, kami bekerja sebagai tim dan memainkan tugas kami untuk menunjukkan kemampuan terbaik," tutur Pramugara Massey Casper.
Kendati para pembajak menutup pintu dan menurunkan kerai, pengatur suhu dan cahaya nyala. Hingga akhirnya, pasokan listrik habis, lampu jadi redup dan pengatur udara berhenti.
Advertisement
Momen Mengerikan dalam Kegelapan
Maherjee si mekanik yang saat itu masih berusia 28 tahun mengatakan kepada Safarini bahwa cadangan bahan bakar hanya akan sampai 15 menit dan pesawat bakal gelap gulita. Sherene, sang pramugari sadar, mereka telah kehabisan waktu.
Saat lampu benar-benar mati, seluruh awak kabin dan penumpang berada di tengah kabin, beberapa duduk di bawah dekat gang dan dekat pintu. Sementara para pembajak di lorong sisi yang lain.
"Mereka kehilangan kesabaran. Mereka membiarkan perang dan memulai menembaki kami semua. Kilatan api terlihat dalam kegelapan. Dan jeritan," ungkap Sunshine.
Sementara itu, Sherene melihat mekanik Meherjee tewas.
Dalam kerusuhan dan kegelapan, setidaknya 3 pintu terbuka, entah oleh siapa. Pintu dekat sayap terbuka secara manual, itu berarti perosotan darurat tidak terpasang. Oleh sebab itu penumpang harus lompat ke sayap. Dan banyak yang melakukannya.
Nupoor dan Madhvhi juga melakukannya sehingga tulang mereka patah saat jatuh di tarmak yang memiliki ketinggian 6 meter.
Sunshine dan Dilip juga dekat sayap, namun karena gelap mereka tak bisa memperkirakan jarak ke bawah. Lalu mereka melihat pintu lain terbuka secara otomatis, itu berarti perosotan darurat terpasang.
Mereka lantas kembali lagi ke dalam pesawat menuju pintu darurat bersama Sherene dan pramugari lainnya, serta menolong penumpang untuk menggunakan perosotan.
Sementara, Massey telah terjun sebelumnya membawa serta 3 bocah bersama pramugara itu.
Dan ketika seluruh penumpang turun dari sayap, para kru melakukan sesuatu yang luar biasa. Setelah tak mendengar suara tembakan, namun tak tahu di mana para pembajak, mereka kembali ke pesawat yang gelap itu mencari yang selamat.
Neerja Tertembak
Saat itulah Sunshine melihat Neerja.
Pramugari itu tertembak di pinggulnya dan pendarahan. Namun ia sadar. Sunshine memanggil Dilip untuk membantunya. Mereka menarik Neerja ke perosotan darurat lalu diikuti oleh keduanya.
Sherene dan koleganya Ranee Vaswani adalah dua sandera yang terakhir meninggalkan pesawat. 3 pembajak kabur dari bandara namun bisa tertangkap. Safarini masih berada dalam burung besi itu ketika pasukan keamanan menyerbu.
Rekan Neerja mengatakan ia sebetulnya masih hidup saat sampai di Rumah Sakit Jinnah. Sayangnya peralatan tak memadai.
Kembali ke Pan Am
Setelah istirahat beberapa saat, kru Penerbangan 73 kembali bertugas di Pan Amm untuk sekian tahun.
Mereka kadang bekerja dalam satu pesawat. Namun tak satupun berdiskusi tentang pembajakan.
Mereka pulih dari trauma itu dengan berbagai cara. 2 dari 6 kru itu masih bekerja di industri tersebut.
Selama wawancara dengan BBC, mereka menekankan, tak ada 1 pahlawan hari itu, kru yang tidak diwawancarai melakukan hal penting sama seperti mereka. Mereka juga ingin meyakinkan bahwa mereka yang selamat dalam teror seperti 9/11 atau Paris tahu, bahwa hidup terus berlangsung.
Mereka ingin semua orang tahu, mereka merindukan Neerja Bhanot dan Maherjee Kharas.
"Para korban selamat hidup setiap hari dengan ingatan itu," kata Madhvi. Ia berharap dengan berkisah seperti ini, "kita bisa saling terhubung dengan cerita ini bisa menjalin kekuatan serta menyebarkannya."