Liputan6.com, Doha - Kelompok hak asasi manusia, Amnesty Internasional (AI), menuduh Qatar menggunakan pekerja paksa untuk membangun stadion piala dunia yang bakal digelar 2022 nanti.
AI mengatakan, pekerja di Khalifa International Stadium dipaksa untuk tinggal di akomodasi yang sempit dan kotor, membayar uang perekrutan yang mahal, menahan upah harian, serta mengambil paspor mereka.
AI juga menuduh FIFA--sebagai penyelenggara Piala Dunia, tak mampu menghentikan turnamen internasional itu, yang dibangun dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Terkait tuduhan itu, Qatar mengatakan prihatin dan akan menyelidikinya.
Baca Juga
Advertisement
Tahun lalu Qatar berjanji untuk mengubah sistem sponsor 'Kafala' atau ketentuan yang menetapkan pekerja migran tidak dapat berganti pekerjaan atau meninggalkan negara itu, tanpa izin majikan mereka.
Tapi Amnesty Internasional memperingatkan, reformasi yang diusulkan hanya akan sedikit pengaruhnya dan mengatakan banyak pekerja yang 'hidup dalam mimpi buruk.'
"Semua pekerja ingin mendapatkan hak-hak mereka: dibayar tepat waktu, bisa meninggalkan negara itu jika perlu, dan harus diperlakukan dengan bermartabat dan terhormat," kata Sekjen Amnesty International Salil Shetty, seperti dilansir dari BBC, Kamis (31/3/2016).
AI mewawancarai 231 pekerja migran kebanyakan dari Asia Selatan. Sebanyak 132 di antaranya kerja di stadion dan 99 kerja di area hijau di seluruh kompleks olahraga Aspire. Survei dilakukan 3 kali mulai Februari 2015.
Dilaporkan, staf perusahaan-perusahaan pemasok tenaga kerja melontarkan ancaman seperti pemotongan gaji, menyerahkan mereka kepada polisi atau menghalangi mereka yang akan pergi dari Qatar.
"Aksi itu jelas merupakan kerja paksa menurut undang-undang internasional," kata Amnesty.
Pemerintah Qatar mengatakan, Kementerian Administrasi, Tenaga Kerja dan Urusan Aosial akan menginvestigasi kontraktor yang melakukan hal itu.
Amnesty juga mengatakan, sebetulnya setiap imigran yang mereka wawancarai telah melaporkan pelanggaran-pelanggaran hak mereka. Antara lain diharuskan membayar biaya hingga US$ 4.300 (sekitar Rp 60 juta) untuk kontraktor di negara asal mereka yang menempatkan mereka di Qatar, ditipu terkait jenis pekerjaan, dan gaji yang dijanjikan -kadang hanya digaji setengah dari yang dijanjikan, serta diancam kalau mengeluh tentang kondisi mereka.
Seorang pekerja logam dari India yang bekerja di pembangunan stadion Khalifa mengatakan kepada Amnesty, ia diancam oleh majikannya ketika mengeluhkan upahnya tidak dibayar selama beberapa bulan.
"Ia berteriak mengancam kepadaku dan mengatakan kalau aku komplain lagi, aku ditendang dari negara ini," kata pekerja itu.
"Semenjak saat itu aku tak lagi berani komplain tentang gaji atau lainnya. Tentu saja, aku akan tinggalkan kerja dan Qatar," lanjut dia.
Sementara pekerja dari Nepal mengeluh hidupnya seperti di penjara. Pekerja dari Nepal bahkan dilarang mengunjungi keluarga mereka setelah gempa April tahun 2015 yang menewaskan ribuan orang.
Sekjen Amnesty Internasional Sahlil Shetty juga secara pedas menuding FIFA, 'tidak peduli' pada pelanggaran hak-hak pekerja migran, yang disebutnya sebagai 'noda pada nurani dunia sepakbola.'
Amnesty Internasional meminta sponsor besar Piala Dunia seperti Adidas, Coca Cola, dan McDonald turut menekan FIFA membahas isu ini.