Liputan6.com, Jakarta - Sekitar enam bulan lalu, M Sanusi berkoar berani menantang Ahok. Dalam tayangan Mata Najwa, anggota DPRD DKI Jakarta itu sesumbar bisa menang dalam perebutan kursi DKI I yang baru akan berlangsung pada 2017 mendatang.
"Jadi, Anda yakin lebih mampu daripada Ahok?" tanya Najwa Shihab, pada tayangan tertanggal 7 Oktober 2015 itu.
"Kayaknya sih seperti itu," balas Sanusi.
"Kita kasih tepuk tangan dong. Pede nih, pede nih," sahut Najwa saat itu.
Mimpi Sanusi berkompetisi menantang Ahok di Pilkada DKI 2017 harus kandas sebelum pertandingan dimulai. Pada 31 Maret 2016, ia tertangkap basah menerima suap di sebuah mal di kawasan Jakarta Selatan pada pukul 19.30 WIB.
Tim Satuan Tugas (Satgas) KPK menangkap Sanusi bersama seorang karyawan swasta berinisial GER yang disebut KPK sebagai penghubung antara Sanusi dan pihak PT APL. Keduanya diduga menerima pemberian dari karyawan PT APL bernama TPT.
Dalam operasi tangkap tangan itu, KPK mengamankan barang bukti uang sebesar Rp 1 miliar dan Rp 140 juta plus 8 ribu dolar AS. Uang sebesar Rp 1,140 miliar itu merupakan pemberian kedua kepada Sanusi dari PT APL.
Tiga hari sebelumnya, politikus Partai Gerindra itu menerima suap Rp 1 miliar. Total uang yang yang diterima Sanusi dari PT APL mencapai Rp 2 miliar.
Uang sebesar Rp 140 juta yang diamankan saat operasi itu merupakan sisa uang dari pemberian pertama sebesar Rp 1 miliar. Sementara, uang sebesar US$ 8 ribu merupakan uang pribadi Sanusi dan tidak terkait dengan dugaan suap.
Atas kasus itu, KPK menetapkan tiga tersangka. Selain Sanusi, ada pula nama Presdir PT APL berinisial AW dan karyawan PT APL berinisial TPT.
Atas kasus itu, Sanusi selaku penerima dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Sedangkan, AW dan TPT selaku pemberi dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Advertisement
Proyek Reklamasi
Dalam jumpa pers, KPK menerangkan motif dugaan suap itu berkaitan dengan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Wilayah Zonasi Pesisir Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) dan Raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara. Kedua raperda itu terkait proyek reklamasi di pesisir utara Jakarta.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Liputan6.com, DPRD DKI sudah tiga kali menolak usulan kedua raperda dalam rapat paripurna. Padahal, kedua raperda itu dibutuhkan perusahaan-perusahaan swasta untuk membuat pulau baru di kawasan utara Jakarta.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik menyatakan selama ini tidak ada masalah dalam pembahasan raperda reklamasi, meski diakui banyak pasal yang alot dibahas. Namun, ia menegaskan semua pembahasan itu dibahas secara terbuka.
Pembahasan raperda itu terbilang strategis. Raperda mengatur segala hal tentang reklamasi pantai utara Jakarta. Kabar yang beredar, ada upaya untuk mengatur pasal terutama pada kewajiban pengembang.
"Kalau untuk kewajiban pengembang, yang kami bahas kami minta ada area publik. Sebanyak 10 persen harus ada pantai publik, alot itu. Air, sampah, kuburan sendiri, alot itu. Itu terbuka saya enggak khawatir," jelas dia.
"Untuk kontribusi tambahan, kita minta batas minimal, kalau maksimal terserah gubernur. Di perda hanya tambahan kontribusi saja urusan besarannya terserah gubernur," imbuh Ketua Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta itu.
Advertisement
Akhir Karier Politik?
Memang benar jika godaan uang panas bisa menggelincirkan iman dan kedudukan. Karier politik Sanusi yang dirintis sejak belasan tahun lalu koyak seketika gara-gara dugaan suap. Padahal, ia dinilai memiliki karier cukup baik selama bernaung di Partai Gerindra.
Dikutip dari situs pribadinya mohamadsanusi.com, sebelum terjun ke dunia politik, Mohamad Sanusi tercatat sebagai pengusaha yang memimpin sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Di antaranya, pernah menjadi Komisaris PT Citicon Medialand (2005-2007), Direktur Utama Citicon Mitra Bukti Tinggi (2006-2008), dan Direktur Utama Bumi Raya Properti (2008-2010).
Di dunia organisasi, karier pria kelahiran 4 Juli 1970 itu pernah menjabat sebagai Ketua Senat mahasiswa pada 1988 di Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Ketua Bidang Komunikasi Mahasiswa Teknik Sipil Seluruh Indonesia Regional Wilayah Jabodetabek – Lampung.
Sanusi juga pernah menjadi Ketua Bidang Politik Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) DKI Jakarta pada 2002. Sejak 2011, Ia dipercaya sebagai Ketua Umum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) DKI Jakarta hingga saat ini.
Namun, catatan karier politik yang baik itu harus dipertaruhkan. Satu per satu mulai menggoyang kedudukan mantan rekan separtai Ahok itu.
Gubernur DKI Jakarta saat ini bahkan menyerang gaya hidup mewah yang dijalani Sanusi selama ini. Beragam jam tangan berharga miliaran hingga mobil kelas atas yang harganya di atas ratusan juta dinilai Ahok tak sebanding dengan pendapatannya sebagai anggota DPRD.
Dengan harta berlimpah dan gaya hidup mewah itu, Ahok menduga Sanusi selama ini tidak memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK.
"Sekarang LHKPN-nya kagak lapor gimana coba. Kamu cek aja tuh Sanusi sama Taufik lapor LHKPN apa enggak? Kagak. Makanya saya dari dulu konsisten bilang kalau pejabat harus mau lapor LHKPN. Buktikan pajak yang kamu bayar berapa baru pantes teriak-teriak," kata Ahok.
Omongan pedas juga dilontarkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Puyuono. Ia memastikan partainya tidak akan mengambil langkah apa pun untuk membela kadernya yang tertangkap KPK. Jika nanti terbukti, partai pimpinan Prabowo Subianto itu bakal langsung memecat M Sanusi sebagai kader.
"Ya pasti Gerindra tidak akan ambil langkah apa pun untuk membela kadernya yang tertangkap KPK. Kalau memang benar, maka Gerindra langsung memecat M Sanusi," ujar Arief saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 1 Maret 2016.
Kini, lelaki parlente itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka pengadilan. Yang pasti, Sanusi tak bisa lagi berlaga di Pilkada DKI Jakarta 2017.