Liputan6.com, Jakarta - Ajang Balap Formula 1 (F1) sejak beberapa tahun lalu telah menuai banyak kritik, terutama soal emisi gas buang yang dihasilkan. Banyak yang beranggapan emisi yang keluar terlalu banyak.
Menanggap hal itu, Federation Internationale de l’Automobile (FIA) selaku penyelenggara F1 pun berbenah. Mereka memperkenalkan seperangkat teknologi baru, salah satunya adalah mesin hybrid.
Mesin hybrid pada dasarnya adalah penggabungan antara mesin berbahan bakar minyak dan mesin dengan penggerak motor. Mesin hybrid menyediakan sebagian besar tenaga, dan motor memberikan daya tambahan jika diperlukan.
Baca Juga
Advertisement
Sederhananya, mesin bensin dan motor listrik bekerja bersama. Pada Formula 1, energi motor listrik berasal dari Kinetic Energy Recovery System (K-ERS).
Menurut laman Thewptformula, cara kerja K-ERS yang pertama kali diperkenalkan pada 2009 ini adalah mengubah tenaga yang terbuang dari pengereman menjadi tenaga baru yang disimpan dalam baterai melalui generator.
Manfaat teknologi ini cukup banyak. Dari mulai menyalip, mempertahankan posisi, mempercepat waktu kualifikasi, dan melakukan overtake. Intinya, menambah tenaga kendaraan menjadi lebih besar. Menurut laman news.com.au pada 2014 lalu, teknologi ini membuat tenaga jet darat bertambah sebesar 120 kW.
Selain K-ERS, pada 2014 FIA juga memperkenalkan teknologi Energy Recovery System-Hot (ERS-H). Mirip dengan K-ERS, alat ini mengubah sisa asap knalpot menjadi energi yang masuk ke dalam baterai.
Salah satu tim balap yang berhasil menerapkan teknologi ini adalah Mercedes. Dengan mesin Mercedes F1 W05 Hybrid, mereka bahkan mencatatkan diri sebagai sebagai mobil balap paling dominan dalam sejarah Formula 1.
Meski nampak baik, tetap ada saja pihak yang tak setuju penggunaan teknologi ramah lingkungan ini. Salah satunya adalah Jacques Villeneuve, salah satu legenda F1. Menurutnya, dengan segala teknologi itu, F1 tak lagi ekstrem.