Liputan6.com, Jakarta - Lelaki berkaus hitam berpadu semi blazer warna biru gelap serta celana panjang hitam malam itu menuju Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK di bilangan Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Kendati dikawal dua petugas, ia tak memedulikan pertanyaan awak media yang sudah menunggu di depan lobi KPK.
Sembari menundukkan kepala, ia bergegas masuk ke dalam sembari menerobos kerumunan awak media. Selain itu, salah seorang petugas yang mengenakan sarung tangan tampak menggenggam kantong plastik transparan berisi setumpukan uang. Tidak diketahui pasti uang itu apakah terkait dengan dugaan suap atau bukan.
Ia adalah Ariesman Widjaja, tokoh puncak di salah satu perusahaan properti terkemuka di Indonesia, PT Agung Podomoro Land (APL). Ariesman yang belum genap setahun menjadi Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land menyerahkan diri ke KPK setelah sempat tidak diketahui keberadaannya.
Ariesman Widjaja menyerahkan diri ke KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Wilayah Zonasi Pesisir Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) dan Raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Advertisement
KPK sedianya akan menjemput paksa Ariesman. Namun, Jumat malam sekitar pukul 19.55 WIB, Ariesman tiba di Gedung KPK dengan dikawal dua petugas KPK.
"Datang menyerahkan diri," ucap Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Gedung KPK, Jakarta, Jumat malam, 1 April 2016.
"Malam ini AWJ (Ariesman Widjaja) serahkan diri bersama kuasa hukumnya. Dia menghubungi penyidik dan diantarkan kuasa hukum," timpal Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati.
Selanjutnya, Ariesman langsung diperiksa intensif oleh KPK bersama 2 tersangka lainnya, yakni Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Mohammad Sanusi dan karyawan PT APL Trinanda Prihantoro.
Pasca-OTT KPK
Yuyuk menjelaskan, Ariesman bersembunyi di kantornya di kawasan Jakarta Barat. Dia sempat tidak diketahui keberadaannya pascaoperasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap empat orang pada malam sebelumnya.
Untuk mencari keberadaan Ariesman, penyidik KPK sempat mendatangi sejumlah tempat yang ditengarai sebagai lokasi persembunyiannya.
"Sebelumnya bersembunyi di kantornya di Jakbar. Sudah beberapa tempat yang didatangi penyidik," beber dia.
Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan 4 orang di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan pada Kamis malam, 31 Maret 2016. Yakni Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI sekaligus Ketua Komisi D DPRD DKI Mohammad Sanusi, Gery yang diduga perantara dari pihak Sanusi, karyawan PT APL Trinanda Prihantoro, dan Berlian yang merupakan Sekretaris Direktur PT APL.
Adapun dari hasil operasi ini, KPK kemudian menetapkan 3 orang sebagai tersangka. Mereka adalah Sanusi, Trinanda, dan Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja. Sementara Gery dan Berlian untuk sementara masih berstatus saksi.
Dalam operasi kali ini, KPK menyita barang bukti uang sebesar Rp 1 miliar dan Rp 140 juta plus USD 8 ribu. Uang Rp 1 miliar itu diduga merupakan pemberian kedua kepada Sanusi dari pihak PT APL, sedangkan Rp 140 juta merupakan sisa dari pemberian pertama sebanyak Rp 1 miliar.
Total semua uang dari pihak PT APL yang diduga diterima Sanusi sebanyak Rp 2 miliar. Sementara US$ 8 ribu merupakan uang pribadi Sanusi.
Mohamad Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar dari PT APL terkait dengan pembahasan Raperda RWZP3K dan Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI. Kedua raperda itu sudah pernah tiga kali ditolak pembahasannya oleh DPRD DKI dalam rapat paripurna.
Di satu sisi, perusahaan-perusahaan swasta baru bisa melakukan pembuatan atau reklamasi pulau jika sudah ada Perda RWZP3K dan Perda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pun angkat bicara terkait kasus tersangka mantan rekannya di Gerindra, M Sanusi oleh KPK. Menurut Ahok, penetapan tersangka Sanusi terkait Raperda Reklamasi Pantai Jakarta Utara tak cukup mengagetkan.
"Mungkin juga penyebabnya kenapa diundur-undur (pengesahan raperda), saya enggak tahu," ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Jumat, 1 April 2016.
Ahok mengklaim, sekalipun Pemprov DKI yang mengajukan raperda tersebut, pihaknya tak pernah berusaha mempercepat maupun memperlambat pembahasan megaproyek di Pantai Utara itu.
"Kami kan enggak mempercepat dan enggak memperlambat. Tiap mau disahkan diundur mungkin ada hubungannya dengan ini, tapi saya enggak tahu. Serahkan sama penyidik saja. Tapi tiap mau disahkan selalu hilang-hilang, tapi saya jelaskan saya enggak mendesak dan enggak buru-buru. Santai saja," ucap Ahok.
Reklamasi Tetap Dilanjutkan
Ahok menyatakan, meski Raperda Zonasi dan Reklamasi Pantura belum disahkan, reklamasi 17 pulau tetap lanjut sesuai dengan Keppres Tahun 1995.
"Ya sebetulnya perda pesisir ini amanat undang-undang. Perda belum keluar belum tanda tangan kita masih bersandar di Keppres (1995) sama perda yang lama," imbuh mantan Bupati Belitung Timur tersebut.
Ahok bersikukuh reklamasi harus tetap dilanjutkan karena sudah berpayung hukum. Dia pun menjelaskan bahwa yang masih digodok dan menyandung M Sanusi adalah Raperda Zonasi yang membahas pembagian wilayah di Kepulauan Seribu dan Pulau Reklamasi.
"Ya saya tetap jalan dong. Cuma waktu dia (pengembang) mau bangun lain lagi. Kan enggak ada hubungan (reklamasi dan zonasi). Makanya begitu dia (pengembang) mau bikin IMB enggak bisa," Ahok menegaskan.
Ahok mengatakan tidak mengetahui apakah reklamasi pulau G oleh PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk (APL) apakah tetap berlanjut atau tidak setelah penetapan tersangka Presiden Direktur PT APL oleh KPK.
"Saya enggak tahu. Kalau (Raperda) Zonasi belum ada kan enggak bisa terus (reklamasi)," sambung dia.
Sekadar informasi, Raperda Zonasi yang sedang digodok itu membahas bagaimana mengelola kawasan Pulau Seribu untuk menjadi destinasi wisata. Perda tersebut adalah dasar untuk mengelola pulau-pulau buatan (reklamasi) yang akan dibangun.
Ahok pun menegaskan bahwa baik dirinya maupun Pemprov DKI tidak ada kerja sama apa pun dengan APL.
"Kita enggak ada kerja sama, itu kewajiban, jadi APL itu utang cukup banyak. Mereka itu kalau bangun apartemen wajib menyerahkan 20 persen untuk rumah rakyat. Nah selama ini belum mereka serahkan. Dulu APL merasa sudah serahkan Kalibata City. Menurut kita Kalibata City bukan karena itu rusunami," terang Ahok
Advertisement
Enggan Bayar 15 Persen?
Hanya berselang sehari, Ahok kembali berkomentar ihwal raperda terkait reklamasi pantai di Jakarta. Ahok sudah curiga dengan dua raperda reklamasi pantai yang jalan di tempat.
Raperda itu seharusnya bisa diselesaikan di rapat paripurna, tapi selama tiga kali rapat tersebut selalu saja ditunda. Oleh karena itu, dia tidak heran ketika KPK menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI M Sanusi.
"Saya enggak mengerti kenapa enggak mau paripurna, sudah 3-4 kali saya datang enggak ada orang. Saya tidak tahu alasannya apa. Apa duitnya enggak merata? Saya tidak tahu," kata Ahok, di Rusun Marunda, Jakarta, Sabtu, 2 April 2016.
Dia menduga para pengembang bermain dengan oknum anggota DPRD DKI Jakarta untuk menghilangkan kewajiban membayar 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tiap proyek reklamasi.
Tidak hanya DPRD, Ahok juga mengatakan pengembang berupaya melobi Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah dan Kepala Bappeda DKI Tuti Kusumawati.
Agar tidak ada Pemprov DKI yang berani macam-macam, mantan Bupati Belitung Timur itu mengeluarkan disposisi. "Saya kasih disposisi, saya ancam siapa pun yang turunkan 15 persen bakal saya masalahkan. Berarti itu korupsi karena ada deal," Ahok menegaskan.
Ahok menjelaskan pula, pengembang hanya mau membayar kewajiban sebesar 5 persen dari NJOP per proyek. Besaran persentase itu dianggap merugikan Pemprov DKI.
Mantan anggota Komisi II DPR ini juga menjelaskan dengan kewajiban 15 persen NJOP yang harus dibayar pengembang, masyarakat juga mendapat banyak manfaat.
"Ini 15 persen dalam bentuk apa? Bisa buat sheet pile, jalan inspeksi, bisa buat rusun, jembatan, dan macam-macam. Nah kelihatannya kawan-kawan itu kurang senang soal 15 persen ini," papar Ahok.
Ternyata Bertetangga
Ahok mengaku banyak pihak swasta yang mendekati Pemprov dan DPRD DKI untuk mengurangi kompensasi reklamasi pantai yang harus dibayar pengembang.
Ia pun mengeluarkan disposisi berisi perintah agar jajarannya tidak menerima uang sepeser pun dari pengusaha. Walaupun, Ahok mengaku kenal dengan sang tersangka, Ariesman Widjaja yang merupakan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land.
"Saya kenal kok, dari dulu tetangga," kata Ahok di Rusun Marunda, Jakarta, Sabtu, 2 April 2016.
Dia pun mengapresiasi langkah tetangganya itu yang menyerahkan diri ke KPK. Dengan status sebagai tersangka, sebaiknya mematuhi hukum agar tidak diberi hukuman yang lebih berat.
Mantan Bupati Belitung Timur itu juga menuturkan tidak merasa dikhianati. Ahok menilai pengusaha masih merasa semua pejabat bisa diajak berpraktik korupsi, sehingga sah-sah saja menyuap.
"Pengusaha merasa kadang-kadang tidak percaya bahwa kita makin lama, makin bersih. Saya enggak tahu motifnya apa. Kadang pengusaha terlalu takut. Kalau dipanggil pejabat, dipanggil politisi dia pikir mesti bawain duit," Ahok menandaskan.
Pengakuan Pihak Ariesman
Sementara itu melalui pengacaranya, Ariesman Widjaja mengakui, memberi uang pelicin kepada Sanusi untuk mengegolkan kedua raperda itu menjadi perda. Uang diduga suap sebesar Rp 2 miliar itu diberi lewat 2 tahap dengan masing-masing Rp 1 miliar.
"Iya. (Uang Rp 2 miliar) memang dua kali diberikan," kata pengacara Ariesman, lbnu Akhyat di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu, 2 April 2016.
Ibnu menjelaskan, dalam pemeriksaan kliennya, penyidik menanyakan perihal aliran dana 'haram' tersebut. Namun, Ibnu menolak menjelaskan, apakah uang pelicin itu memang inisiatif Ariesman atau permintaan dari pihak DPRD DKI.
"Saya enggak bisa jelaskan isi BAP (Berita Acara Pemeriksaan) ya. Intinya ada uang Rp 2 miliar diserahkan kepada Sanusi," ujar Ibnu.
Adapun ketiga tersangka saat ini sudah mendekam di tahanan. Ariesman dititipkan di Rumah Tahanan (Rutan) Polres Metro Jakarta Pusat, Trinanda di Rutan Polres Metro Jakarta Timur, dan Sanusi di Rutan Polres Metro Jakarta Selatan.
Selaku tersangka penerima, Sanusi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Sedangkan Ariesman Widjaja dan Trinanda selaku tersangka pemberi dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Advertisement