Liputan6.com, Serang - Hari masih pagi kala Nenek Asih sampai di pinggir Pantai Carita, Anyer, Banten. Sinar matahari masih belum terlalu panas terasa. Membawa barang dagangannya dalam sebuah bakul rotan, hari itu Nenek Asih sigap menjemput rejeki.
Emping itulah harapannya untuk mendapatkan sejumlah uang pada Minggu, 3 April 2016. Ia dengan sabar duduk di pinggir trotoar sebuah vila di pinggir pantai, memandang pada para pelancong yang bolak-balik melewatinya untuk menuju pantai.
Ia telaten menunggu kaum ibu menoleh kepadanya, menanggapi rayuannya untuk membeli kerupuk berbahan dasar melinjo itu. Bersama teman-temannya dari berbagai kampung sekitar Pantai Carita, ia setia menghampiri kawasan wisata di Pantai Carita setiap Sabtu dan Minggu.
Setiap Senin Nenek Asih yang berusia 55 tahun berganti kendaraan dua kali dan menaiki ojek dari rumahnya yang disebutnya di gunung menuju Pasar Carita. Ia membeli bahan baku biji melinjo di seorang pengepul. Harganya 2-5 ribu sekilogram tergantung kualitas dan harga pasar.
“Kebun melinjonya yang punya orang Jakarta. Tapi pengepulnya orang sini,” tutur Nenek Asih kepada Liputan6.com.
Setelah mendapatkan biji melinjo, ia lalu pulang dan menumbuk biji itu menjadi emping yang tipis. “Susah, Neng, menumbuknya. Tangan sampai sakit,” ucapnya sambil menunjukkan tangannya yang kurus dan berkeriput.
Baca Juga
Advertisement
Setiap 100 keping emping dijualnya seharga Rp 20-25 ribu. Seperti kelaziman di situ, mereka tak pakai ukuran kilogram. Namun tak banyak emping yang dibawanya. “Berat, apalagi rumah saya jauh,” ujarnya.
Jika dagangannya habis, ia bisa mengantongi Rp 500 ribu. Tapi tentu itu tak mudah. Apalagi pedagang di kawasan itu bukan dirinya seorang.
Ada juga Nenek Ipah yang berjualan ikan asin. Meski belum paruh baya, ia sudah bercucu tiga orang. “Saya dulu kawinnya muda. Lulus SD umur 13 tahun sudah kawin,” ucap Nenek Ipah yang hanya tamatan sekolah dasar. Dari anak pertamanya yang perempuan ia mendapatkan cucu dua orang dan dari anak yang laki-laki ia mendapatkan satu cucu lagi.
Sehari-hari Nenek Ipah membuka toko kelontong. “Cuma warung kecil saja,” ucapnya. Ia dibantu anaknya yang perempuan dan tinggal bersamanya mengelola warung itu.
Bahan baku ikan asin dibelinya di Pasar Labuan. Ada ikan gabus, ikan sepat, ikan jambal, dan ikan kembung. Pertama-tama ikan dicuci bersih, lalu dibelah. Setelah itu ikan direndam dalam larutan air garam pekat atau ditaburi garam dalam jumlah banyak.
Setelah garam benar-benar meresap dalam ikan, barulah ikan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Rata-rata perlu lebih dari dua hari penjemuran sampai ikan benar-benar kering.
Satu bungkus ikan dijualnya antara Rp 10 hingga Rp 25 ribu. Tentu masih bisa ditawar lebih murah lagi.
Selain membuat ikan asin, Nenek Ipah juga membuat kerupuk ikan dengan bahan baku ikan tongkol. Namun ia tak membawanya hari itu. Biasanya ia membuat kerupuk ikan itu jika ada yang memesannya.
Orang Jakarta yang memiliki vila di sekitar Carita biasanya memesan kepada Nenek Ipah. “Biasa pesan 10 kilogram,” tuturnya.
Ia mengaku sudah melakoni pekerjaan itu sejak usia sekolah dasar. Keterampilan mengasapi dan mengeringkan ikan didapatkannya dari ibunya. “Sudah lama sekali dagang begini,” katanya.
Ia mengaku untung yang diperolehnya tak tentu. “Namanya juga dagang,” ucap dia. Meski demikian, keadaan alam dan kondisi kampungnya membuat ia tak punya pilihan lain. Nenek Ipah tak tahu bagaimana lagi cara mencari uang karena memang hanya kemampuan membuat ikan asin itulah yang diwariskan kepadanya.
Nenek Ipah, Nenek Asih, dan para perempuan perkasa lainnya berkeliling dari satu pantai ke pantai yang lain di sekitar Carita. Mereka setia menawarkan barang dagangannya. Para perempuan ini baru akan berhenti kala pelancong pulang dan matahari kembali ke peraduan.
Gelap menjadi penanda dari Yang Kuasa agar nenek-nenek perkasa Pantai Carita itu pulang dan bersyukur atas seluruh usaha pada hari itu.