Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mampu mematahkan anggapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai perusahaan berkinerja rendah melalui kerja keras.
Berkat tangan dinginnya, kinerja beberapa perusahaan semen di bawah kepemimpinannya melejit, termasuk Pertamina yang baru dinaungi selama setahun.
Dwi menjadi Dirut Semen Padang di periode 2003-2005, kemudian berlanjut di PT Semen Gresik periode 2005-2012. Nama Dwi makin bersinar ketika memimpin PT Semen Indonesia Tbk sebagai holding atau induk usaha dari perusahaan-perusahaan semen milik negara.
"Ketika diberikan tanggungjawab memimpin di beberapa perusahaan semen itu, saya melihat selama ini BUMN selalu dianggap sebuah usaha yang kinerjanya pasti rendah," ujar Dwi saat menjadi pembicara Inspirato Liputan6.com, Jakarta, Selasa (5/4/2016).
Puncaknya, diakui Pria kelahiran Surabaya, 60 tahun silam itu, kinerja keuangan dan harga saham Semen Indonesia selalu kalah dengan perusahaan semen lain, Indocement. Padahal kapasitas Semen Indonesia lebih besar.
"Selalu dikatakan Semen Padang harus dikelola dengan cara Semen Padang sendiri, Semen Gresik harus dengan budaya Jawa Timurnya. Kemudian kita pecahkan, kalau kita bisa bersinergi, harusnya bisa," papar Dwi.
Baca Juga
Advertisement
Terbukti dengan upaya tersebut, Dwi mengatakan, laba atau keuntungan Semen Indonesia melonjak 11 kali lipat dalam waktu 8-9 tahun, dari sebelumnya Rp 500 miliar menjadi Rp 5,5 triliun.
Dengan pencapaian melesat itu, investor melihat positif perkembangan kinerja Semen Indonesia yang tercatat di papan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode emiten SMGR. Walhasil disebutkan Dwi, kapitalisasi pasar Semen Indonesia dari Rp 10 triliun menjadi Rp 100 triliun atau naik 10 kali lipat dalam waktu 6-7 tahun. Aset perusahaan pun membumbung tinggi.
"Artinya apa? Even kita BUMN, tapi kita ubah mindset kita tidak harus seperti yang lalu. Setelah holding semen dibangun, kita ekspansi ke luar negeri, akuisisi perusahaan di Vietnam. Sejak saat itu, Semen Indonesia menjadi perusahaan semen terbesar. BUMN pun bisa go international, bukan cuma orang luar negeri akuisisi perusahaan kita tapi sebaliknya," tutur dia.
Kiprah di Pertamina
Di periode November 2014, Dwi Soetjipto dipercaya memimpin Pertamina, menggantikan posisi Karen Agustiawan. Lagi-lagi banyak orang mempunyai persepsi negatif terhadap BUMN Migas terbesar itu.
"Pertamina sarang mafia, tidak efisien, dan lainnya termasuk soal Petral. Ada yang bilang semua rekomendasi Petral tidak betul. Tapi setelah saya masuk, kita benahi," ujarnya.
Sebagai arek-arek Suroboyo, Dwi menggunakan cara berpikir Bonek atau Bondo Nekat dalam kasus tersebut. Akhirnya baru setahun memimpin Pertamina, Dwi membubarkan Petral atas arahan dari pemerintah.
Dengan pembubaran Petral dan mengoptimalkan Integrated Supply Chain (ISC), katanya, efisiensi proses pengadaan minyak sepanjang 2015 mencapai US$ 208 juta atau sekitar lebih dari Rp 2,5 triliun.
Pertamina pun melakukan berbagai upaya untuk menekan potensi kehilangan minyak, sehingga menghemat US$ 255 juta.
"Dengan upaya lain, maka efisiensi yang dilakukan Pertamina pada tahun lalu mencapai US$ 608 juta atau hampir sekitar Rp 8 triliun," papar Dwi.
Efeknya, diakui Dwi, perusahaan tertolong dengan upaya efisiensi tersebut ketika harga minyak dunia anjlok 60 persen sepanjang 2015. Sehingga perusahaan mampu mempertahankan laba, bahkan dihitung dalam kurs Rupiah, untung Pertamina naik dari Rp 18 triliun menjadi Rp 19 triliun.
"Saat harga minyak gonjang ganjing, banyak perusahaan minyak dunia lay off karyawan, seperti Petronas baru saja mengurangi 1.000 orang lebih, Shell, Chevron, tapi Pertamina bertekad tidak melaksanakan lay off. Bahkan kinerja perusahaan bisa dipertahankan dan ditingkatkan," jelas Dwi.(Fik/Nrm)