Lonjakan Harga Minyak Angkat Bursa AS

Lonjakan harga minyak menyebabkan harga saham perusahaan energi naik tajam, meningkatkan indeks di awal perdagangan.

oleh Nurmayanti diperbarui 07 Apr 2016, 04:30 WIB
(Foto: Reuters)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada perdagangan rabu (kamis pagi waktu Jakarta), didorong kenaikan harga minyak yang terjadi seusai Federal Reserve mengisyaratkan keengganan untuk menaikkan kembali suku bunga acuannya pada awal bulan ini.

Melansir laman Marketwatch, indeks S&P 500 naik 21,49 poin atau 1,1 persen ke posisi 2.066,66, menutup semua kerugian dari sesi sebelumnya. Kenaikan dipimpin saham kesehatan yang naik 2,7 persen dan sektor energi yang bertambah 2,1 persen.

Adapun indeks Dow Jones Industrial Average menambahkan 112,73 poin atau 0,6 persen menjadi berakhir 17.716,05.

Kemudian indeks Nasdaq Composite naik 76,78 poin atau 1,6 persen ke posisi 4.920,72. Ini menjadi penutupan tertinggi tahun ini, dengan saham biotek memimpin perdagangan.


Lonjakan harga minyak menyebabkan harga saham perusahaan energi naik tajam, meningkatkan indeks di awal perdagangan. Harga minyak melonjak 5,2 persen menjadi US$ 37,75 per barel setelah adanya kejutan penurunan persediaan.

Lembaga Administrasi Informasi Energi AS melaporkan jika persediaan minyak mentah dalam penyimpanan turun 4,9 juta barel dalam pekan yang berakhir 1 April.

Di sisi lain, berdasarkan risalah dari pertemuan pada 15-16 Maret, menunjukkan beberapa pejabat The Fed menentang kenaikan suku bunga pada April ini. Alasannya, langkah tersebut kurang tepat.

"Tidak ada kabar baru pada menit terakhir pertemuan the Fed. Kabar terbaru, baru muncul ketika mereka memotong prediksi kenaikan suku bunga lebih banyak, sejalan dengan harapan pasar dan ketika (Kepala The Fed) Janet Yellen memberikan pidatonya minggu lalu," kata Tom Siomades, Kepala Hartford Funds Investment Consulting Group..

Pekan lalu, Yellen menegaskan perlunya untuk berhati-hati dalam menetapkan kenaikan suku bunga acuan, dengan melihat risiko yang berasal dari pasar negara berkembang.(Nrm/ndw)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya