Pemerintah Perlu Siapkan Kebijakan untuk Tahan Pelarian Dolar AS

Volume transaksi valas masih sekitar US$ 5 miliar per hari di Indonesia, dan jauh di bawah Thailand sebesar US$ 11 miliar.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 08 Apr 2016, 13:45 WIB
Pengunjung mendatangi tempat penukaran uang di Jakarta, Jumat (9/10/2015). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (9/10/2015) mengalami penguatan, bahkan bergerak ke level Rp 13.400. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia terus mengalami perbaikan, dilihat dari kegiatan ekspor impor yang mencatatkan surplus sejak beberapa bulan terakhir. Ironisnya, uang dalam bentuk valuta asing, seperti dolar Amerika Serikat (AS) yang diperoleh dari Indonesia justru lari ke luar negeri.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menuturkan, pendalaman pasar yang likuid di Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Kondisi tersebut tidak sejalan dengan peningkatan kinerja ekspor dan impor yang tercatat dalam neraca perdagangan Indonesia.

"Volume transaksi valas masih sekitar US$ 4 miliar-US$ 5 miliar per hari. Sebagian besar transaksi spot atau tunai. Jumlah ini jauh di bawah Thailand yang mencapai US$ 11 miliar dan Malaysia US$ 13 miliar per hari," ujar dia di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (7/4/2016).

Hal serupa juga terjadi di pasar uang atau money market dan pasar obligasi. Menurut Agus, rasio pasar obligasi Indonesia hanya 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara Malaysia dan Thailand, masing-masing rasio pasar obligasinya mencapai 57 persen dan 23 persen.

"Jadi BI, OJK dan pemerintah (Kemenkeu) harus berkoordinasi untuk melakukan berbagai kebijakan guna pasar uang, pasar valas, pasar saham, dan pasar obligasi semakin dalam dan likuid," jelas Agus.

Ditemui pada kesempatan sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, Indonesia memiliki keterbatasan likuiditas dibanding negara tetangga sehingga pasar keuangan di Tanah Air belum optimal.  

Dari datanya, Dana Pihak Ketiga (DPK) di Indonesia relatif rendah hanya 40,7 persen dari PDB. Sedangkan Singapura sudah mencapai 137 persen, Malaysia 94 persen dan Filipina 55 persen. Nilai transaksi di pasar modal baru 45,2 persen dari PDB, sedangkan Thailand dan Malaysia masing-masing 104 persen dan 156 persen dari PDB.

"Jadi kelihatan sekali yang menjadi masalah likuiditas di sini, adalah uang hasil kegiatan di Indonesia, tidak ada di sini, tapi adanya di luar negeri," ujar Bambang.

Solusinya, kata Bambang, tax amnesty untuk menarik kembali dana-dana yang selama ini parkir di luar negeri. Salah satunya mengimbau orang-orang Indonesia yang muncul di daftar bocoran Panama Papers untuk melakukan repatriasi aset atau harta kekayaannya.

"Saya akan imbau sebagian nama di Panama Papers untuk benar-benar repatriasi uangnya yang ada di luar negeri. Kita tentu berharap yang terbaik dari repatriasi ini," tutur Bambang. (Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya