Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan sederhana dan sekaligus menjadi judul tulisan ini terkait dengan maraknya pemberitaan baru-baru ini di berbagai media lokal dan luar negeri tentang Panama Papers, dokumen sebuah firma hukum, Mossack Fonseca, yang berada di Panama dan bocor ke publik.
Dokumen tersebut berisi daftar nama klien firma hukum tersebut yang meliputi sejumlah pemimpin negara, bintang film, politikus, pengusaha, dan bintang olahraga terkenal serta berbagai kalangan orang-orang superkaya yang menyimpan uang, investasi, maupun mendirikan perusahaan di negara-negara yang tergolong sebagai surga pajak (tax haven).
Mereka diduga menghindari pajak di negaranya. Bahkan, Perdana Menteri Islandia, David Gunnlaugsson, yang namanya tercantum dalam Panama Papers mendadak sontak mengundurkan diri dari jabatannya. Diberitakan bahwa sejumlah 2961 nama terdiri atas orang dan perusahaan Indonesia juga masuk dalam daftar.
Menaruh Uang di Luar Negeri
Jika ada yang bertanya apakah salah orang Indonesia menaruh uang di luar negeri, jawaban singkatnya adalah jelas tidak ada yang salah. Secara normatif menyimpan uang, berinvestasi, atau mendirikan perusahaan di luar negeri adalah lazim dalam dunia usaha dan tidak ada larangan.
Baca Juga
Advertisement
Beberapa alasan mengapa orang-orang kaya atau perusahaan Indonesia gemar menyimpan uang di luar negeri, salah satunya alasan keamanan. Mereka berusaha mengurangi risiko dengan menempatkan uangnya sebagian di bank-bank luar negeri, terutama di negara yang dekat dengan Indonesia seperti Singapura dan Australia yang secara ekonomi dan politik relatif lebih stabil.
Mengikuti prinsip umum berinvestasi untuk tidak menaruh telur dalam satu keranjang (don’t put your eggs in one basket), banyak orang-orang kaya menyimpan uang, membeli saham, atau properti di negara lain dengan pemikiran bahwa jika terjadi sesuatu yang buruk dengan investasinya di negara sendiri, maka masih ada uang atau investasi yang tersisa di luar negeri.
Bagi suatu perusahaan, penempatan dana, investasi dan pendirian perusahaan di luar negeri adalah biasa dalam rangka diversifikasi portofolio investasi dan ekspansi bisnis.
Sepanjang orang-orang dan perusahaan-perusahaan Indonesia yang menaruh uangnya di luar negeri tersebut adalah Subjek Pajak Dalam Negeri dan telah melaporkan secara benar seluruh harta dan penghasilan yang diperoleh dari luar negeri tersebut di Indonesia--dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Orang Pribadi dan Badan--maka tidak ada masalah terkait pajak.
Untuk Wajib Pajak Dalam Negeri di Indonesia, konsep pemajakannya menganut broad based taxation yang objek pemajakannya adalah worldwide income. Artinya, semua penghasilan yang diperoleh dari dalam maupun luar negeri wajib dilaporkan untuk dihitung PPh-nya di Indonesia.
Atas pajak penghasilan yang dibayarkan di negara lain terkait langsung dengan penghasilan luar negeri yang dilaporkan di Indonesia dapat diperhitungkan dengan pajak terutang di Indonesia sebagai pengurang (kredit pajak) berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Selain yang berstatus Subjek Pajak Dalam Negeri, terdapat kelompok orang Indonesia yang termasuk kategori Subjek Pajak Luar Negeri, yaitu orang yang bertempat tinggal di luar negeri atau orang yang berada tidak lebih dari 183 hari di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas bulan).
Misalnya, seorang WNI yang bekerja di Australia dan menjadi permanent resident di sana dan hanya sesekali pulang ke Indonesia selama 2-3 minggu untuk berlibur setiap tahunnya adalah termasuk Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak diwajibkan memiliki NPWP di Indonesia dan hanya dipajaki di Indonesia terbatas pada penghasilan yang diperoleh Indonesia saja.
Dengan kata lain sepanjang WNI berstatus Subjek Pajak Luar Negeri tersebut tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia, mereka tidak akan dikenakan pajak di Indonesia.
Yang jadi masalah adalah apabila uang atau investasi di luar negeri oleh Subjek Pajak Dalam Negeri berasal dari penghasilan yang belum dilaporkan atau belum dikenai pajak di Indonesia.
Selain itu, hasil dari investasi di luar negeri tersebut juga tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh-nya. Kalau ini jelas merupakan perbuatan melanggar hukum berupa penggelapan pajak (tax evasion).
Indikasi penggelapan pajak lebih tampak jika penempatan dana tersebut di negara-negara surga pajak (tax haven). Sebab, jika orang-orang kaya Indonesia murni ingin mendapatkan keuntungan dari investasi, tidak perlu jauh-jauh ke negara tax haven karena Indonesia merupakan salah satu negara tujuan orang dan perusahaan asing berinvestasi.
Hal ini terbukti dari banyaknya investasi asing yang masuk ke negara ini. Investor di Bursa Efek Indonesia sejak lama didominasi oleh investor asing.
Negara Tax Haven
Julukan negara tax haven selama ini melekat pada negara-negara yang mengenakan tarif pajak sangat rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali.
Negara-negara tersebut sangat ketat dalam menjaga kerahasiaan serta tidak bersedia melakukan pertukaran informasi dengan negara lain. Negara-negara tax haven sangat menarik bagi orang atau perusahaan yang gemar melakukan penyelundupan pajak (tax evasion) atau perencanaan penghindaran pajak secara agresif (agressive tax panning) melalui berbagai rekayasa transaksi keuangan.
Lebih dari itu, negara-negara tax haven menjadi tempat favorit bagi para koruptor, mafia perdagangan narkotika maupun pelaku tindak kriminal untuk melakukan pencucian uang (money laundering). Beberapa negara tax haven yang populer antara lain adalah British Virgin Island, Luxembourg, Bahama, dan Cayman Island.
Pendirian perusahaan sebagai Special Purpose Vehicle (SPV) atau disebut juga dengan Shell Company di luar negeri (off-shore), terutama di negara tax haven, sering ditujukan untuk melakukan penghindaran pajak dengan pola atau skema transaksi yang sangat canggih, sehingga sulit dilacak siapa pemilik atau penerima manfaat sebenarnya (ultimate beneficial owner) dari suatu investasi atau modal perusahaan.
Namun demikian, ada juga pendirian SPV yang tidak dimaksudkan untuk menggelapkan pajak. Beberapa perusahaan nasional Indonesia menerbitkan obligasi melalui SPV yang didirikan di luar negeri dengan jaminan aset perusahaan tersebut.
Pendirian SPV di luar negeri dalam hal ini untuk memudahkan akses dana di pasar global. Dana yang murah (jika dibandingkan dengan bunga obligasi di dalam negeri) yang diperoleh SPV di luar negeri, kemudian disalurkan ke perusahaan di Indonesia sebagai pinjaman.
Pembayaran bunga pinjaman oleh perusahaan ke SPV di luar negeri lalu digunakan untuk membayar bunga obligasi kepada pemegang obligasi (bond holders).
Maraknya penghindaran dan penggelapan pajak secara global, terutama yang melibatkan negara-negara tax haven mendorong negara-negara yang tergabung dalam G-20 termasuk Indonesia sebagai salah satu anggotanya bersama Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bersepakat untuk mencegah dan memeranginya melalui 15 rencana aksi terhadap apa yang dikenal dengan Base Erosion Profit Shiting (BEPS).
Salah satu realisasi dari aksi tersebut komitmen untuk melakukan pertukaran informasi secara otomatis (automatic exchange of information) antar negara yang akan mulai diadopsi lebih awal di tahun 2017 dan berlaku penuh di tahun 2018.
Pertukaran informasi ini akan mempersempit ruang gerak para individu dan perusahaan pengemplang pajak karena data nasabah perbankan antar negara akan saling dipertukarkan. Negara yang tidak bersedia bekerja sama dalam pertukaran informasi akan dimasukkan dalam black list.
Belum Tentu Pengemplang Pajak
Sejumlah 2961 nama orang dan perusahaan Indonesia yang tercantum dalam Panama Papers, termasuk beberapa pengusaha dan politikus terlalu dini untuk dicap sebagai kelompok yang melakukan penggelapan pajak tanpa terlebih dahulu melakukan pembuktian.
Data-data dalam pemberitaan baru terbatas pada penyebutan nama saja, sedangkan berapa banyak dana, dalam bentuk apa dana tersebut, dan ditaruh di negara mana semuanya belum terungkap.
Pertama, harus divalidasi dulu kebenaran nama-nama WNI dalam daftar tersebut dan perlu diidentifikasi apakah nama-nama WNI tersebut merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri atau Subjek Pajak Luar Negeri. Penelitian tentu difokuskan kepada WNI yang statusnya sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri yang kewajiban perpajakannya memang bersifat worldwide income.
Pembandingan juga diperlukan terhadap data orang-orang tersebut yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (jika ada). Akhirnya pencocokan antara harta dan penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi dengan data-data dari Panama Papers akan menentukan apakah orang-orang tersebut pengemplang pajak atau bukan. Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang namanya masuk dalam daftar.
Bocoran data Panama Papers tentu saja menjadi data penting sebagai pembanding bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk penelitian lebih lanjut. Khususnya pada saat program Tax Amnesty yang diharapkan oleh pemerintah disetujui oleh DPR untuk dilaksanakan dalam tahun ini dan untuk langkah lain yang perlu dilakukan untuk pemungutan pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia.
Penulis
Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax
Ketua I Ikatan konsultan Pajak Indonesia
Managing Partner CITASCO – Registered Tax Consultants