Liputan6.com, Jakarta - Awal pekan ini sebuah insiden tabrakan terjadi di Bandara Halim Perdanakusuma. Tabrakan yang melibatkan pesawat milik Batik Air dan Transnusa itu memang tidak merenggut korban, namun telah mencoreng citra keselamatan penerbangan Tanah Air di mata internasional.
Kepanikan seketika menyeruak di landasan pacu Bandara Halim Perdanakusuma Senin 4 April lalu. Pesawat boeing 737-800 Batik Air bertabrakan dengan pesawat ATR 600 Transnusa.
Senggolan antara pesawat yang sedang lepas landas dan pesawat yang tengah diderek menuju hanggar itu membuat sayap pesawat terbakar. Beruntung seluruh penumpang dan awak pesawat selamat dalam kecelakaan ini.
Tabrakan terjadi saat pesawat Batik Air bergerak untuk lepas landas, namun saat melintas pesawat Transnusa ditarik menuju apron selatan untuk parkir. Tabrakan pun tidak terhindarkan.
Baca Juga
Advertisement
Kecelakaan ini tak urung mengundang tanya di sebagian kalangan masyarakat. Sebagai bandara Internasional, Halim Perdanakusuma yakin memiliki sarana pendukung yang mumpuni dan sumber daya manusia yang profesional serta terdidik dengan baik.
Dioperasikan 10 januari 2014, Bandara Halim Perdanakusuma semula dimaksudkan untuk mengurangi beban kepadatan Bandara Soekarno-Hatta, namun justru dimanfaatkan maskapai penerbangan untuk menambah penerbangan dan membuka rute baru.
Alhasil bandara yang sebenarnya hanya menumpang lahan pangkalan udara milik TNI Angkatan Udara itu menjadi terlalu padat dengan sarana pendukung yang terbatas.
Menyusul tabrakan fatal itu, segenap pemangku kepentingan di dunia penerbangan Tanah Air sigap bergerak dan investigasi langsung dimulai.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sudah mengambil kotak hitam pesawat. Mereka akan memeriksa percakapan pilot dengan petugas menara sebagai langkah awal mengungkap apa yang sejatinya memicu tabrakan tersebut.
Namun di tempat yang sama, pimpinan kedua maskapai penerbangan bersikeras mereka masing-masing sudah mengikuti prosedur.
Diskusi publik bersama pihak yang dekat dengan pihak berwenang dari kalangan penerbangan, menduga komunikasi sebagai salah satu kemungkinan pemicu kecelakaan.
Petugas tower berkomunikasi dengan pesawat Batik Air menggunakan saluran radio VHF, sedang petugas towing berkomunikasi menggunakan handy talkie.
Selain memeriksa rekaman kotak hitam, segenap pihak terkait juga akan dimintai keterangannya.
Insiden Batik Air versus Transnusa menjadi alarm bahwa perbaikan masih perlu dan harus ditingkatkan dari waktu ke waktu, terlebih bila Indonesia ingin naik kelas dari kategori 2 Federal Aviation Administration (FAA) ke kategori 1 yang menjadi tolok ukur tingkat keselamatan layanan penerbangan di dunia.
Keselamatan penerbangan memang harus menjadi prioritas yang dijunjung bersama oleh maskapai, awak pesawat, awak darat dan pemerintah selaku regulator.
Kini penyelidikan kasus tabrakan antara pesawat Batik Air dan Transnusa oleh KNKT masih berlangsung dan ditargetkan selesai dalam 5 bulan. Meski kecelakaan tidak sampai merenggut korban, pihak yang dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya tentu akan dikenai sanksi sesuai tingkat kesalahannya.
Saksikan selengkapnya dalam rangkuman Kopi Pagi (Komentar Pilihan Liputan 6 Pagi) yang ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (10/4/2016), berikut ini.