Restu Suami untuk Istri Jual Diri ala Cewek Kinjeng

Cewek kinjeng laris saat ada perhelatan partai politik. Berikut penelusuran Liputan6.com atas salah satu ragam prostitusi ini.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 10 Apr 2016, 12:37 WIB
Ilustrasi prostitusi

Liputan6.com, Semarang - Munculnya "cewek kinjeng" atau PSK jalanan berkendara motor ternyata menyimpan berbagai fakta tersembunyi. Selain beberapa di antaranya mendapat restu suami untuk menjadi PSK, ternyata mereka mengenal musim laris.

Pasangan Anggodo-Menur (samaran) bercerita mereka memilih bekerja sendirian tanpa muncikari agar hasil yang diperoleh bisa maksimal. Bahkan setelah tiga tahun menjalankan aksi di jalanan Kota Semarang, kini mereka sudah mampu membangun sebuah rumah di tanah warisan orang tua di Jepara. Sebuah toko kelontong juga melengkapi persiapan mereka meniti masa depan.

"Kuncinya, selama di kota harus sederhana. Bedak aja pake Viva yang murah. Tapi kalau lipstik saya tetap pakai Revlon. Harganya Rp 130 ribu. Biar enggak luntur," kata Menur dalam perbincangan dengan Liputan6.com, Sabtu, 9 April 2016.

Cemburu

Bagaimana perasaan suami saat mendapati istrinya ditiduri pria lain?

Anggodo bercerita terjunnya Menur menjadi "cewek kinjeng" memang sempat membuatnya cemburu. Itulah sebabnya, sebelum deal dengan pelanggan, ia akan marah saat melihat istrinya diraba-raba calon pelanggan.

Anggodo merelakan tubuh istrinya ditiduri, tapi tidak di depan matanya. Menur sendiri berusaha menjaga komitmen. Ia akan jual mahal kepada calon pelanggannya ketika berembuk di bawah pohon angsana, di Jalan Tanjung, tempat ia biasanya mangkal.

Hubungan suami-istri antara Menur dan Anggodo tergolong normal. Biasanya dalam waktu seminggu, Menur akan mengambil libur bekerja selama dua hari. Saat itu dia gunakan untuk melayani suaminya.

Agar tak merusak suasana, ketika di tempat tidur mereka tidak membicarakan mengenai pekerjaan. Sebaliknya, justru mereka akan berbicara mengenai mimpi-mimpi mereka.

"Meskipun saya juga tahu selain dengan saya, suami saya juga tidur dengan teman-teman saya. Tapi saya percaya itu hanya tubuhnya," kata Menur.

Musim Laris

Anggodo, sang suami, bercerita bahwa mereka tak pernah pulang kampung saat menjelang Lebaran sekali pun. Alasannya sepele, pasaran sedang ramai.

"Kalau Ramadan kan panti pijat dan karaoke tutup. Sunan Kuning dan Gambilangu juga tutup. Saat itu justru malah laris," kata Anggodo.

Menurut Anggodo, selain banyaknya penyedia PSK yang tutup, saat Ramadan adalah saatnya para urban pulang kampung. Dan momentum itu adalah waktu yang tepat mencari mangsa.

"Saya mangkal sambil ngojek. Istri saya juga sambil ngojek. Nanti di jalan dia akan merayu. Sasarannya yang mudik sendirian," kata Anggodo.

Selain momentum Lebaran, perhelatan politik juga menjadi musim laris bagi para cewek kinjeng ini. Vina, cewek kinjeng lainnya, menjelaskan ketika ada perhelatan politik, baik pilkada maupun kongres partai atau apa pun namanya, ia kebanjiran order.

Di saat-saat seperti itu, biasanya Vina memanfaatkan jaringannya. Seorang satgas partai yang menjadi pelanggannya selalu membantunya. Komisinya maksimal 20%. Itu sudah cukup besar karena tarif saat musim ini dinaikkan minimal Rp 500 ribu.

"Teman satgas tadi kadang enggak mau diberi komisi, tapi minta kelon semalaman. Asal enggak mabuk enggak papa," kata Vina.

Selain dirinya, Vina juga mengajak teman-temannya yang masih muda atau maksimal 24 tahun untuk melayani perhelatan politik. Meski demikian, ia mengaku rata-rata yang menggunakan jasanya saat perhelatan politik hanyalah politikus-politikus rendahan sekelas pengurus kecamatan.

"Kalau pas pilkada kan duit mereka banyak. Lebih royal. Saya saja dibelikan motor Mio, kok," kata Vina.

Menur juga mengaku pernah merasakan dermawannya para politikus itu. Namun ia mengaku kapok melayani para politikus, karena harus check in di sekitar Bandungan, obyek wisata pegunungan yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Semarang.

"Suami juga tak mengizinkan. Meskipun kadang semalam bisa melayani sampai 10 orang dengan tarif minimal Rp 500 ribu," kata Menur.

Kadangkala Menur maupun Vina juga harus melayani pegawai negeri rendahan saat bos-bos mereka mengadakan rapat lembur. Biasanya terkait saat pemerintah mengadakan kegiatan besar.

"Seperti HUT kota, acara pesta rakyat, dan sejenisnya. Tapi kalau pegawai negeri maunya gratisan dan kalau membayar murah," kata Menur.


Bersatulah Pelacur Jakarta


Pengakuan Menur dan Vina ini seakan menegaskan apa yang pernah disampaikan Rendra dalam puisinya "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta", meskipun tidak seekstrem yang digambarkan penyair itu.

"......................
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna


Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang diluar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada


Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
................."

Dari puisi yang ditulis akhir 1960 itu tergambar jelas betapa kehidupan politik memang berkait dengan prostitusi. Puisi yang mampu menembus zaman dan sampai saat ini pun masih relevan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya