Liputan6.com, London - Skandal Watergate, Edward Snowden, Julian Assange dan WikiLeaks-nya, kemudian Panama Papers -- sejumlah peristiwa menghebohkan terkait kebocoran data pernah mengguncang dunia.
Memang ada pemimpin yang lengser karenanya, setidaknya Richard Nixon akibat Watergate, dan Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson menyusul isu Panama Papers. Namun, itu tak sampai menimbulkan insiden horor seperti pada masa lalu.
Baca Juga
Advertisement
Dulu, kejadian serupa memprovokasi revolusi militer, seorang politisi yang dituduh membocorkan rahasia diseret dari ruang debat dan dicekik secara massal, atau seperti yang terjadi di Sparta pada 470 Sebelum Masehi -- kala itu seseorang dikurung di kuil dan dipaksa mati kelaparan.
Suatu ketika, sang jenderal terkemuka, Pausanias mengutus salah satu budak untuk mengirimkan pesan pada Raja Persia.
Merasa curiga, budak bernama Argilios tersebut membuka surat tersebut dan membaca pesan yang tertera di sana, yang menyebut bahwa Pausanias menawarkan bantuan pada pihak Persia jika mereka menginvasi Yunani.
Tak hanya itu, sang jenderal juga menyarankan pihak penerima surat agar membunuh pembawa pesan -- untuk menjaga kerahasiaannya.
Merasa jadi pihak yang dikorbankan, Argilios memutuskan untuk membocorkan surat tersebut ke pihak Spartan. Persia adalah musuh bebuyutan Yunani, sehingga apa yang dilakukan sang jenderal adalah pengkhianatan besar.
Maka, Pausanias dikurung di Kuil Dewi Athena, tanpa makanan sebagai hukumannya. Catatan menyebut, ibunya sendiri bergabung dengan warga yang marah, yang memastikan sang tersangka tak bakal kabur.
Politik Yunani kuno relatif terbuka. Di sisi lain, peradaban Romawi diwarnai plot dan intrik. Selama itu, ada banyak informasi yang bocor.
"Ada pertempuran politik yang berlangsung intens, seperti yang kita alami saat ini," kata sejarawan Tom Holland, seperti dikutip dari BBC, Senin (11/4/2016). "Pembocoran informasi rahasia menjadi cara favorit untuk menghancurkan pihak lawan."
Mungkin kebocoran paling terkenal dari zaman Romawi adalah tumpukan dokumen yang muncul di ambang pintu Cicero, Konsul Senat Romawi dan filsuf serta orator terkemuka pada masanya.
Pada 63 SM, Cicero merasa yakin bahwa senator bernama Catiline sedang merencanakan kudeta. Namun, ia tak punya bukti.
Maka, tumpukan yang ada di muka pintu rumahnya, berupa surat-surat dari sekutu Catiline yang menjelaskan secara rinci plot kudeta, menjadi bukti yang kemudian ia bawa ke hadapan Senat.
Cicero pun berhasil meyakinkan para koleganya bahwa Republik Romawi terancam bahaya. Sebagai ganjarannya, Cicero diizinkan untuk mengawasi secara pribadi eksekusi mati komplotan para pengkhianat tersebut yang dilakukan secara brutal. Mereka tewas dengan cara dicekik beramai-ramai.
Informasi Bocor, Sultan Dikudeta
Kebocoran Massal Era Modern
Kekaisaran Romawi bertahan selama berabad-abad, dengan Bizantium sebagai sayap kiri wilayahnya -- sebelum akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Ottoman Turki pada 1463.
Menurut penulis bernama Jason Goodwin mengatakan, bertolak belakang dengan Bizantium yang dikenal toleran -- sampai-sampai budak atau kasim bisa naik derajat -- para pemimpin Ottoman terobsesi dengan kerahasiaan.
Para sultan kerap mempekerjakan orang-orang tunarungu, agar mereka tak mencuri dengar urusan istana, apalagi menyebarkannya.
Sultan Osman II, misalnya, merasa perlu menyelidiki unit militer elite yang disebut Janissari yang dikhawatirkan menjadi entitas yang terlalu kuat. Namun, informasi tersebut keburu bocor.
Janissari yang mendapat bocoran lalu menyerbu istana sang sultan, Topkapi. Osman menderita nasib buruk, testisnya hancur akhirnya dihukum mati secara brutal.
Setelah itu, munculnya surat kabar modern pada Abad ke-19 memberi peluang sebuah informasi yang bocor menjangkau khalayak luas, bukannya terbatas pada mereka yang terkena dampak langsung.
John Nugent dari New York Herald menjadi salah satu pendahulu. Pada 1848, ia mendapatkan rincian detil perjanjian untuk mengakhiri perang antara Amerika Serikat dan Meksiko.
Keputusan untuk mempublikasikan informasi tersebut berujung pada ancaman pemenjaraan terhadap seorang senator yang marah, yang kemudian menculik dan menyekap sang jurnalis selama hampir sebulan.
Namun, keberuntungan menghampiri Nugent. Tak hanya selamat, wartawan tersebut juga mendapat promosi jabatan jadi editor dari medianya.
Paul Lashmar, dosen jurnalistik di Sussex University sekaligus mantan jurnalis investigasi mengatakan, reporter yang mendapat bocoran cenderung diganjar promosi atau kenaikan gaji.
Munculnya teknologi pengawasan seperti CCTV, kata dia, telah membuat pembocoran rahasia semacam itu lebih jarang, Lashmar percaya.
Namun, gaya bocoran dokumen dalam amplop cokelat sudah lama berakhir, digantikan kebocoran massal seperti Panama Papers misalnya -- yang terdiri atas ribuan data sekaligus.
Kebocoran besar sebelumnya, misalnya Pentagon Papers -- yang menguak rahasia tentang operasi AS di Vietnam -- terkuak lewat fotokopian dokumen. Kini, seluruh catatan dari perusahaan atau pemerintahan bisa diakses dengan sekali klik.
Ini adalah era di mana kebocoran massal terjadi, demikian menurut jurnalis Heather Brooke.
"Sangat sulit untuk mempertahankan informasi digital, yang lebih mudah diakses atau diretas," kata dia.
Saat ini memang bukan zamannya budak bisa menyebabkan malapetaka di Sparta hanya dengan membuka surat. Namun, hal serupa terus terjadi.
Informasi adalah kekuatan, dan pada awal Abad ke-21, mereka juga di mana-mana. Bahkan Chelsea Manning hingga pekerja kontrak intelijen, Edward Snowden -- yang bukan level pejabat -- bisa membocorkan data yang bikin merah kuping petinggi negeri.
Sekarang -- lebih dari sebelumnya -- tampaknya, kebocoran lebih tajam dari pedang. Bagaimana menurut Anda?
Advertisement