BPK: Ada Dana Rp 4 Triliun Tak Seharusnya Masuk Cost Recovery

BPK melakukan pemeriksaan perhitungan bagi hasil minyak dan gas bumi pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 12 Apr 2016, 16:02 WIB
Hasil komersialisasi minyak dan gas bumi (migas) menjadi sumber pendapatan bagi negara untuk membiayai berbagai program pembangunan.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya pembebanan biaya ganti negara dari kegiatan hulu minyak dan gas bumi (cost recovery) ‎pada tujuh blok migas senilai Rp 4 triliun. Pembebanan bernilai triliunan rupiah kepada negara tersebut dinilai seharusnya tidak dilakukan. 

Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengaku pihaknya melakukan pemeriksaan atas perhitungan bagi hasil minyak dan gas bumi pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Hasilnya menunjukkan terdapat biaya yang dibebankan dalam cost recovery pada tujuh Wilayah Kerja Migas yang digarap Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) senilai Rp 4 triliun.

"Ini seharusnya tidak dibebankan cost recovery," kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (12/4/2016).

Laporan ini masuk dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) beserta Laporan Hasil  ‎Pemeriksaan (LHP) Semester II  2015.

BPK menemukan 2.537 masalah pengelolaan negara yang berdampak pada  keuangan  senilai Rp 9,87 triliun sela‎ma semester II  2015. Dari temuan masalah tersebut mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 710,91 miliar.

Namun ketika ditanyakan tujuh ‎wilayah kerja migas dan KKKS yang terdapat pembebanan biaya ganti negara tersebut, Harry enggan menyebutkannya.

"Saya nggak tahu. Itu nanti silahkan saja ke anggota komisi VII. Kalau ada pertanyaan laporan kami silahkan mereka undang kami dan nanti ada rapat konsultasi sama mereka (Komisi VII DPR)," ujar dia.

Lebih lanjut Harry mengaku, BPK juga tidak akan menindaklanjuti temuan tersebut. Namun pemerintah yang diinginkan melakukan tindak lanjut temuan tersebut, ‎dan melaporkan hasilnya kepada BPK.

"Follow up-nya bukan di kita. Follow up di pemerintah. Nanti kalau pemerintah sudah follow up, dia laporkan kepada kita oh ini sudah selesai, ini sudah dan kita tinggal selesaikan ini," dia menjelaskan. (Pew/Nrm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya