Liputan6.com, Jakarta - Kematian Siyono, terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah diduga ada unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kematian Siyono pun dibahas oleh Komisi III DPR dengan mengundang Komnas HAM, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) dalam rapat dengar pendapat (RDP).
RDP dipimpin Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa. Pada awal RDP, Komnas HAM menceritakan kronologi pelaporan Suratmi, istri Siyono.
Ketua Komnas HAM M Imdadun Rahmat mengatakan kalau pada 15 Maret 2016 lalu menerima surat pengaduan dari Suratmi.
"Soal saudara Siyono teroris apa enggak, itu penjelasan Densus 88 dan tim pembela yang bisa jelaskan. 15 Maret Komnas HAM terima pengaduan dari kuasa hukum Suratmi terkait peristiwa kematian Siyono dalam kondisi ditangkap dan ditahan," ujar Imdadun saat RDP dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Baca Juga
Advertisement
Materi pengaduan tersebut, lanjut dia, berisi info bahwa pada Selasa 8 Maret telah terjadi penangkapan terhadap Siyono setelah Maghrib di Klaten, Jawa Tengah.
Pelaku penangkapan adalah 3 orang berpakaian sipil tanpa surat penangkapan dan membawa Siyono pergi menggunakan mobil.
"Menurut keluarga, Siyono sehat. Selama dua hari enggak ada info soal Siyono hingga pada Kamis 10 Maret terjadi penggeledahan rumah Siyono oleh Densus 88 dan ada aksi penodongan senjata laras panjang oleh Densus 88 ke anak-anak yang sedang belajar," ucap Imdadun.
Dalam penggeledahan itu tidak ada suratnya. Densus 88 tidak temukan kotak yang dicari hingga saat itu disita 1 sepeda motor dan beberapa lembar kertas.
"Keluarga tidak tanda tangan berita acara penyitaan. Sepeda motor sudah dikembalikan," kata dia.
Lalu, lanjut Imdadun, pada Jumat 11 Maret pukul 15.00 WIB istri dan kakak korban serta perangkat desa diajak ke Jakarta oleh Densus 88 untuk membesuk Siyono ke Jakarta dengan menggunakan 2 mobil.
Uang 2 Amplop Besar
Pada Sabtu 12 Maret pukul 10.00 WIB baru diberitahukan resmi bahwa Siyono wafat. Istri dan kakak korban diberi uang dalam dua amplop besar, masing-masing di kamar terpisah.
"Ke Suratmi bilang uang buat anak-anaknya dan ke kakaknya bilang itu buat urus jenazah, tanpa ada tanda terima. Lalu pukul 11.00 keluarga lihat jenazah di RS Bhayangkara tapi dihalang-halangi untuk lihat kondisi korban," jelas Imdadun.
Usai lihat jenazah korban yang diduga Siyono, jenazah pun dipulangkan ke Klaten dengan didampingi polisi. Setiba di Klaten, keluarga mau ganti kafan (Siyono) tapi dihalangi, namun akhirnya boleh tapi diawasi ketat.
"Saat orangtua dan kerabat kerabat lihat (jenazah), ada luka di tubuh korban, wajah ada luka, pipi bengkak, dan banyak lagi. Dan saat itu keluarga tidak diizinkan buka bagian dada dan paha," kata dia.
Imdadun menambahkan, Setelah pemakanam, keluarga didatangi aparat desa dan Densus 88 agar mau tanda tangan surat ikhlaskan kematian dan tidak akan menuntut secara hukum serta tidak bersedia diautopsi.
Ayah Siyono terpaksa tanda tangan, tapi Suratmi enggak mau tanda tangan karena anggap Siyono mati tidak wajar.
Karena hal itu, lanjut Imdadun, pada 14 Maret keluarga korban pun menunjuk kuasa hukum. Bahkan, Suratmi mengaku mendapat intimidasi dari Polri.
"Suratmi dapat intimidasi dari kepolisian bahkan sempat mau masuk ke dalam rumah. Melihat besarnya tekanan ke keluarga, istri korban (Suratmi) minta bantuan hukum ke PP Muhammadiyah, lalu istri korban minta surat ke Komnas HAM untuk periksa dan autopsi jenazah untuk dapat bukti kekerasan," kata dia.
Dari kronologi tersebut, Komnas HAM menilai kalau dari perspektif hukumnya, setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan hukum sama.
"Dari perspektif rule of law pasal 27 ayat 1, tiap warga negara berhak memperoleh perlakuan hukum yang sama. Melihat hasil temuan, pemantauan, dan investigasi oleh Komnas HAM terhadap kejanggalan-kejanggalan terkait berbagai prosedur pelaksanaan tugas polisi," pungkas Imdadun.
Advertisement