Kejanggalan Kematian Siyono Versi Komnas HAM

Menurut Komnas HAM, kasus Siyono ini dapat memicu benih baru radikalisme.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 13 Apr 2016, 06:21 WIB
Suasana Komisi III DPR RI RDPU dengan PP Muhammadiyah, Komnas HAM dan Kontras di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4). Rapat membahas meninggalnya Siyono karena diduga ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh BIN. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Komnas HAM mengungkap kejanggalan-kejanggalan atas kematian Siyono saat ditangkap Densus 88 Antiteror. Saat menangkap, polisi mengira Siyono adalah teroris.

Ketua Komnas HAM M Imdadun Rahmat mengatakan, ada kecenderungan polisi menutupi dengan menunda pemberitaan kematian Siyono. Kemudian, polisi juga aktif membujuk keluarga untuk ikhlas dengan kematian Siyono serta melarang mereka melihat jasadnya.

Kemudian, lanjut Imdadun, ada upaya pemberian uang dalam bentuk dua bungkusan yang diberikan secara terpisah kepada Suratmi dan kakak korban tanpa tanda terima.

Lalu, surat keterangan pemeriksaan jenazah oleh rumah sakit tidak jelaskan penyebab kematian Siyono. Serta tindakan berlebihan kepolisian dalam mengawasi jenazah.

Kejanggalan-kejanggalan itu, Imdadun ungkapkan di depan Komisi III DPR. Selain Komnas HAM, ada pula Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) yang menggelar rapat dengan DPR.


Rapat Dengar Pendapat itu pun dipimpin Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa.

Tak sampai di situ, Imdadun juga menyebut pengawalan selama proses pemakaman Siyono terlihat berlebihan dengan banyaknya aparat. Sehingga menimbulkan kecurigaan.

"Usai pemakaman aparat desa ikut bujuk Suratmi untuk ikhlaskan jenazah dan tidak menuntut secara hukum dan tidak melakukan autopsi. Lalu, adanya juga upaya menghalangi Komnas HAM untuk autopsi, mulai melakukan intimidasi ke keluarga, dan sebarkan isu tentang konflik horizontal sehingga diharapkan masyarakat tolak autopsi," terang Imdadun di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, 12 April 2016.

Tak hanya itu, kata Imdadun, kepolisian juga sempat menghalangi Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah dan Komnas HAM untuk melakukan autopsi, serta pernyataan dari para petinggi Polri diduga tidak konsisten tentang kematian Siyono.

"Dikatakan Siyono meninggal karena lemah melawan Densus 88, ada lagi pernyataan Siyono melawan 1 Densus dan berkelahi. Lalu ada juga pernyataan pada jasad Siyono telah dilakukan autopsi yang menujukan sebab kematiannya karena lemas," tutur Imdadun.

Kemudian, polisi juga mengatakan ada pendarahan di kepala Siyono akibat benda tumpul. Pernyataan-pernyataan kepolisian ini, kata dia, tidak konsisten.

"Atas kejanggalan-kejanggalan Itu Komnas HAM berupaya cari jawaban, kumpulkan bukti tentang penyebab kematian Siyono yang harusnya dilakukan oleh kepolisian. Maka dari itu, Komnas HAM inisiatif untuk lalukan autopsi jenazah," tambah dia.

Sehingga pada Minggu 3 April 2016 lalu jenazah Siyono dioutopsi Komnas HAM bersama gabungan tim forensik Muhammadiyah, Polda Jateng, Polres Klaten, Dir Intel Polda Jateng, Kapolsek Cawas, Klaten, lalu TNI AD, dan juga masyarakat sipil.

"Hasilnya, terdapat kekerasan akibat benda tumpul dan patah tulang di rusuk kanan dan kiri," ujar dia.

Sehingga diduga penyebab kematian Siyono akibat rasa sakit yang besar akibat patah tulang dada, patah 5 tulang rusuk bagian kiri dan kanan menembus jantung.

"Hasil autopsi tersebut tidak cocok. Lalu tidak ada tanda-tanda perlawanan atau tangkisan atau luka pada tulang di tangan. Jadi keterangan tentang terjadinya perkelahian perlu ada penyelidikan tindak lanjut," kata Imdadun.

Berdasarkan fakta tersebut, Komnas HAM pun menduga telah terjadi pelanggaran HAM kepada Siyono. Sebab seharusnya, kata dia, terduga teroris tidak disiksa karena ada Undang-Undangnya sendiri.

"Pelanggaran terhadap hak hidup dan ketiga peristiwa kematian Siyono adalah pengulangan yang terjadi pada penanganan tindak pidana terorisme yaitu adanya kematian di luar proses pengadilan, adanya penyiksaan, dan pengingkaran aturan penangkapan serta penahanan," tandas Imdadun.


Picu Benih Radikal


Sementara, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak menegaskan bahwa Siyono atau pun istri dan keluarganya bukan kader Muhammadiyah.

"Alasan utama kami advokasi Suratmi adalah untuk mencari keadilan. Kami mau kasus Siyono ini masuk ke hukum pidana bukan hanya sidang etik," ungkap Dahnil.

Dahnil juga meminta ada evaluasi pada pola kerja Densus 88 dan harus ada evaluasi sistem program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).

"Pola kerja mereka bukan cara-cara deradikalisasi tapi justru lahirkan radikalisasi baru. Suratmi punya anak 5, trauma luar biasa. Bayangkan anak-anak ini dendam luar biasa, ini benih-benih radikalisasi," pungkas Dahnil.

Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas meminta agar kematian Siyono ini dikaitkan dengan proses revisi UU Terorisme.

"Dalam salah 1 pasal disebut kewenangan untuk menahan sampai 30 hari. Siyono ini tidak sampai 1 minggu dan seorang warga negara tewas dengan cara tidak wajar. Ini dengan begitu jelas melanggar UU," ucap dia.

Tak hanya melanggar UU, sambungnya, tapi juga mencederai proses-proses keadaban yang harusnya dijunjung Polri.

Oleh karena itu, kata Busyro, Muhammadiyah meminta Komisi III DPR untuk audit keuangan BNPT dan Densus.

"Lalu gimana sikap Komisi III terhadap desakan pemerintah untuk percepat revisi UU terorisme dengan melihat kasus Siyono, lalu 121 korban meninggal tidak wajar seperti Siyono bersadarkan data Komnas HAM tahun 2001-2016," tutup Busyro.

Kemudian, Desmond J Mahesa mengatakan Komisi III sepakat dengan Polri untuk menambah anggaran terorisme, termasuk desakan soal revisi UU Terorisme.

"Ini juga jadi catatan kami juga, ini sering kita respon," ucap dia.

Desmond pun mempertanyakan tujuan keluarga Siyono dengan mengungkap kasus ini.

"Yang belum jelas itu, keluarga korban (Siyono) menuntut apa? Apakah investigasi yang transparan?" tanya dia.

Jika ada pelanggaran HAM, kata dia, harus ada sanksi terhadap aparatur. "Belum kita lakukan kajian ini. Ini kekosongan hukum. Harusnya ada sanksi pidananya. Ini catatan-catatan penting kami," tegas Desmond.

Sementara itu untuk Komnas HAM, Desmond meminta agar menyiapkan rekomendasi yang akan diajukan kepada presiden tentang kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM.

"Untuk Komnas HAM, tolong dipikirkan apakah ada rekomendasi lain? Misalnya pengadilan HAM. Karena yang paling penting ini rekomendasi ke presiden ini apa?" tanya dia.

"Yang sebelum-sebelumnya sudah diberikan belum rekomendasinya? Ini kan wajah empati pemerintah yang harusnya tanggung jawab, ini kan enggak ada catatan apa-apa," tandas Desmond.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya