3 Fakta Perempuan-Perempuan Hebat Sebelum Kartini

Sejarah mencatat banyak perempuan hebat di Jawa, menepis pencitraan yang dilekatkan kolonial.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 13 Apr 2016, 12:00 WIB
Gatot Kaca mencoba menasehati Srikandi dalam lakon Semar Gugat di GKJ, Jakarta, Kamis (3/3/2016). Setelah 20 tahun, lakon Semar Gugat kembali dipentaskan teater koma di Gedung Kesenian Jakarta, 3-10 Maret. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Yogyakarta - Emansipasi perempuan Indonesia lekat dengan sosok Raden Ajeng Kartini. Pemikiran perempuan ningrat kelahiran Jepara ini tertuang dalam surat-surat korespondensinya yang disunting Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, J.H. Abendanon, dan menggemparkan dunia.

Kartini mendobrak stigma perempuan Jawa sebagai—mengutip Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford dalam buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa abad XVIII-XIX—"boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri".     

Secara umum kaum Belanda mencirikan orang Jawa sebagai "bangsa yang paling lembut di dunia" (de Javaan als de zachste volk ter aarde), yaitu suatu masyarakat yang terkenal amat halus dan  penurut. Peran perempuan Jawa kurang ditonjolkan dalam babad-babad yang menceritakan sejarah tanah Jawa.

Mereka umumnya hanya dicitrakan sebagai pemelihara pertalian wangsa. Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk melanjutkan keturunan. Peter Carey mengatakan perempuan dipergunakan untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja dan keluarga terkemuka kerajaan.

Peran tersebut diturunkan dengan cara dengan mengikat istana dalam suatu jaringan intim dengan dunia pedesaan Jawa melalui ikatan kekeluargaan yang luas.

Namun, citra perempuan Jawa itu tak selamanya tepat. Ada tiga fakta mengenai perempuan Jawa seabad sebelum Kartini yang patut diketahui.

1. Prajurit Jawa Laskar Mangkunegara Abad ke-18

Salah satu hal unik yang belum banyak diketahui orang adalah adalah laskar perempuan di keraton Jawa tengah selatan. Keberadaan “korps Srikandi” ini terkuak berkat buku harian yang ditulis oleh anggota prajurit estri Mangkunegaran pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegoro I (Raden Mas Said, bertahta 1757-95).

Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2012) mencatat adanya gambaran menarik tentang munculnya Korps Srikandi Surakarta.

“Empat puluhan perempuan duduk berbaris di bahwa takhta (sunan) dan benar-benar bersenjata lengkap: berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil [...] harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan.”

Catatan harian pasukan estri itu telah dikerjakan secara hati-hati oleh Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2008 dengan judul Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18. Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Indonesia dengan judul “Javanese Court Society and Politics in the Late Eighteenth Century: The Record of A Lady Soldier”.

Buku harian itu terdiri atas 303 lembar kertas kulit kayu dan ditulis di kediaman Mangkunegara I, beraksara Jawa dan sedikit Arab Pegon. Berkat catatan tersebut kita dapat mengetahui peristiwa politik, ekonomi, kehidupan rumah tangga dan sisik-melik pasukan Mangkunagaran sekitar 1781-1791.

Jan Greeve, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (menjabat 1787-91), mencatat korps Srikandi ini pandai menunggang kuda dan mampu menembakkan salvo dengan teratur dan tepat, sehingga membuat kita kagum. Peter Carey menambahkan keterampilan korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri.

Tak hanya lihai mempergunakan senjata, laskar perempuan ini juga diajari menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Di antara tarian itu adalah Retno Tinandhing, yang diilhami gerak pertempuran prajurit estri. Hingga kini tarian ini masih digelar di Keraton Surakarta. Pada perayaan agama, prajurit perempuan ini juga ditugaskan menari.

Keluwesan dan kecakapan para prajurit estri ini juga memikat Herman Willem Daendels, sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-11), saat ia mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali dan disuguhkan perang-perangan 40 prajurit estri kesayangan Sultan di alun-alun selatan.

Soal pakaian, mereka berseragam layaknya prajurit. Namun mereka menyalin busana gaya emas maskulinnya, lalu menggantinya dengan busana wanita berwarna putih polos tatkala berada di rumah.

Tentang imaji laskar perempuan Mangkunagaran, ada Rubiyah dari Desa Matah—sohor dengan nama Matah Ati. Perempuan inilah yang mendampingi perjuangan gerilya Raden Mas Said melawan VOC. Rubiyah dikenang sebagai panglima korps prajurit estri.


Perempuan-perempuan Sakti

2. Raden Ayu Serang, Panglima Sakti Perang Jawa

Raden Ayu (Nyai Ageng) Serang, lukisan khayali Anyool Subroto. Diambil dari buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX hlm. 34.

Raden Ayu Serang—lebih dikenal sebagai Nyi Ageng Serang—dilahirkan di Desa Serang, 40 kilometer sebelah utara Surakarta dekat Purwodadi di pinggir Kali Serang sekitar tahun 1762. Nyi Ageng Serang adalah perempuan pejuang yang gigih berperang melawan penjajah di daerah Kulon Progo. 

Nama aslinya Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Ia putri bungsu Pangeran Natapraja, penguasa Serang yang juga teman seperjuangan Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I).

Sewaktu berusia 16 tahun, Nyi Ageng Serang pernah dipersunting oleh Hamengkubowo II, tapi perkawinan mereka tidak bertahan lama. Sang raden ayu lalu menikah lagi dengan Pangeran Serang I (Pangeran Mutia Kusumowijoyo) yang masih kerabat keluarga Kalijaga. Pasangan itu lantas mukim di Serang, dekat Demak, daerah di kawasan pantai utara Jawa.

Putranya, Pangeran Kusumowijoyo yang dijuluki Pangeran Serang II, menjadi panglima Diponegoro di areal Demak pada bulan-bulan awal Perang Jawa. Peter Carey menyebut berkat latar belakang keturuan mereka yang berasal pada sang wali dan laku tirakatnya, sang pangeran dan ibunya sangat dihormati pengikut Diponegoro karena dianugerahi kasekten (kesaktian atau tenaga batin) luar biasa yang dicapai dengan bersemadi dalam gua-gua sunyi di pantai selatan Jawa.

Bahkan terdapat kabar angin Diponegoro bersiap mengalihkan sebagian wewenangnya kepada cucu Raden Ayu Serang—Raden Mas Papak—bila ia menang melawan Belanda.

Dalam Perang Jawa, Nyi Ageng Serang ikut angkat senjata membantu putranya. Ia adalah ahli siasat dan strategi. Nyi Ageng Serang dikabarkan menggunakan taktik kamuflase daun keladi atau daun lumbu yang wajib dibawa setiap prajurit dan rakyat yang ikut berperang.

Dengan daun itu, Nyi Ageng Serang memerintahkan pasukannya untuk melindungi kepalanya dalam penyamaran, sehingga tampak seperti kebun tanaman keladi dari kejauhan. Setelah dekat dan dalam jarak sasaran, barulah musuh dihancurkan.

Di pusat pertigaan jalan utama Kulon Progo ada patung Nyi Ageng Serang yang sedang menaiki kuda dengan membawa tombak berbendera di tangannya. Ini menggambarkan betapa perkasanya sang raden ayu.

Ia meraja-lela dan membunuh musuh, termasuk Ki Simbar Jaya si pengkhianat dengan senjatanya cundrik dan selendangnya. Karena kesaktiannya, oleh masyarakat Serang sang raden ayu dijuluki Djayeng Sekar.

Kemasyurannya sebagai anggota keluarga Sunan Kalijaga yang dimuliakan itu, belum lagi kehidupannya sebagai seorang pejuang dan perempuan pertapa, memungkinkan Nyi Ageng Serang memberikan pengaruh penting pada penduduk daerah asalnya, Serang-Demak, bahkan lama setelah Perang Jawa resmi berakhir, 28 Maret 1830.

Setelah Raden Mas Papak menyerah, Nyi Ageng Serang hidup dalam pengawasan Belanda. Mencapai usia 93 tahun, ia hidup lebih lama dibanding putranya, Pangeran Serang II, maupun cucunya, Raden Mas Papak dan kerabatnya, Pangeran Diponegoro. Ketika perempuan perkasa itu wafat pada 10 Agustus 1855, penguasa Belanda di Yogya yang selalu mengawasinya selama dua dasawarsa terkahir kehidupannya merasa amat lega.


Sosok Perempuan Wayang

3. Sosok Perempuan dalam Wayang

Dalam dunia wayang kulit Jawa, perempuan yang ditampilkan dalam lakon wayang yang diilhami Mahabharata dan Ramayana, sama beraninya dengan sang suami.

Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira, misalnya sampai bersumpah tidak akan mengonde rambutnya lagi sebelum mencuci rambutnya dengan darah Dursasana yang pernah menghinanya dalam sebuah permainan dadu. Sumpah itu terkabulkan dalam Perang Baratayudha saat Dursasana dibunuh oleh Bima.

Istri-istri Arjuna juga menunjukkan kepiawaian dalam peperangan. Misalnya Rarasati dan Dewi Woro Srikandi yang dikenal sebagai pemanah ulung dan petarung tangguh. Dalam wayang, Srikandi ditampilkan sebagai perempuan perkasa muda yang mudah naik darah. Srikandi-lah yang menewaskan resi Bisma, kakek yang menjadi musuh para Pandawa.

Ada pula Dewi Subadra, istri Arjuna yang bersuara lembut, titisan Dewi Sri. Ia ditampilkan sebagai perempuan sakti yang berani menyangkal suaminya. Kekuatan jati diri yang luar biasa membuat dia memilih mati daripada dilecehkan Raden Burisrawa, pangeran raksasa yang jatuh cinta kepadanya.

Adapula kisah Dewi Sinta, putri bidadari bernama Batari Tari, yang masuk ke dalam hutan Alengka sebagai pengasingannya bersama Rama, suaminya, dan Laksmana. Akibat tipu daya dan nafsu hatinya, Sinta masuk dalam perangkap Rahwana. Ia lantas ditawan oleh Raja Alengka itu selama 12 tahun.

Hingga akhirnya Rama berhasil membebaskan Sinta dari belenggu Rahwana. Namun kesucian Sinta diragukan oleh Rama. Sinta lantas menunjukkan keteguhan hatinya dengan melompat ke dalam api yang berkobar untuk menunjukkan bahwa ia belum ternoda.

Drupadi, Srikandi, Subadra, dan Sinta memperlihatkan bahwa tekad perempuan dalam wayang tidak kalah dengan niat dan keteguhan sikap lelakinya.

Perempuan Hebat

Peribahasa tangan yang menggoyang ayunan menggerakkan dunia (the hand that rocks the cradle moves the world) tampaknya cocok untuk menggambarkan kiprah para perempuan perkasa di Jawa.

Peter Carey mengatakan tahun-tahun sebelum meletusnya Perang Jawa (1825-1830), peran perempuan elite sangat menentukan di berbagai bidang, termasuk politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial istana Jawa tengah selatan.

Namun penghancuran gerakan perempuan, termasuk fitnah atas Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sempat membuat pergerakan kaum wanita terhenti di tempat selama masa Orde Baru.

Tiga fakta di atas menjelaskan bahwa citra raden ayu tidak seperti yang selama ini beredar, yaitu dijinakkan dan terkungkung dalam tembok keraton. Studi yang lebih luas diperlukan dan versi lampau barangkali perlu direvisi secara radikal. Sebab, jejak-jejak sejarah menunjukkan bahwa para perempuan Jawa sebelum Kartini nyatanya bukan sosok yang terbelenggu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya