Liputan6.com, Minahasa Utara - Ratusan batu tua berbentuk segitiga pada bagian atasnya yang disebut waruga, berjejer rapi di atas tanah datar seluas 50x70 meter. Lokasi tepatnya berada di Desa Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
Jika dicermati, ada motif-motif berbeda pada permukaan waruga itu. Masing-masing motif memiliki nilai dan arti tertentu.
"Ada 144 waruga yang terdapat di sini. Dikumpulkan dari beberapa lokasi yang ada di Minahasa Utara," ujar Anton Kambong, warga setempat, kepada Liputan6.com, Selasa, 14 April 2016.
Waruga bernilai tinggi bagi warga Minahasa Utara. Benda itu adalah tempat penitipan jiwa sementara para leluhur Minahasa. Dalam konsep kosmologi Kristen, waruga tak ubahnya kuburan.
Waruga terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah, sedangkan bagian bawah berbentuk kotak terdapat ruang dalam bagian tengahnya. Bagian atas itu berfungsi sebagai penutup, sedangkan ruang bagian bawah merupakan tempat meletakkan jenazah.
Ada tata cara penguburan yang harus ditaati. Tubuh jenazah diletakkan pada posisi menghadap ke utara. Jenazah kemudian didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut.
Baca Juga
Advertisement
Ratusan waruga itu tersebar di berbagai daerah di Sulut, seperti Kabupaten Minahasa, Tomohon, dan Minahasa Utara. Penempatannya mulai dari halaman rumah, perkebunan, hingga areal perkantoran. Banyak yang masih terawat, tapi banyak pula waruga yang sengaja dirusak.
"Karena banyak yang dirusak itulah, waruga-waruga ini mulai dikumpulkan di satu tempat. Seperti yang ada di sini," ujar Anton, penjaga Objek Cagar Budaya Taman Waruga, Desa Sawangan, yang ditemui belum lama ini.
Menurut Anton, sejak ditempatkan dalam satu lokasi kini waruga justru menjadi daya tarik wisatawan. "Banyak orang yang datang ke sini. Tiap pekannya bisa sampai ratusan pengunjung," kata Anton.
Dia menjelaskan bermacam-macam motif ukiran pada waruga yang menunjukkan identitas jenazah yang dikuburkan. "Misalnya ada ukiran binatang liar, itu menandakan leluhur itu dulunya adalah pemburu yang andal. Ada pula motif perempuan yang sedang melahirkan. Itu berarti sang penghuni waruga itu dulunya bekerja sebagai bidan. Atau disebut juga biang kampung," ujar Anton.
Anton menceritakan, pembuatan waruga itu tergolong unik dan berbau mistis. Pasalnya, waruga biasa dibuat sendiri oleh pemiliknya jauh sebelum dia meninggal.
"Dua batu besar dibawa menyeberang sungai, kadang sambil menggendong anak mereka. Jadi, bisa kita bayangkan bagaimana besarnya leluhur Minahasa dulu. Bisa dilihat dari besarnya batu-batu waruga ini," ucap Anton.
Anton tidak tahu persis sejak kapan penghentian penggunaan waruga sebagai kuburan warga. "Menurut cerita sejak tahun 1800-an. Itu karena banyak warga yang jadi korban serangan penyakit kolera, akibat kubur-kubur waruga yang tidak tertutup dengan baik," ungkap Anton.
Bekal Kubur
Bekal Kubur
Hal yang sama disampaikan Ivan Kaunang, peneliti sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sam Ratulangi Manado. Menurut Ivan, semakin tinggi waruga menggambarkan pengaruh sang pemilik juga tinggi di masyarakat setempat semasa hidupnya.
"Apakah sebagai seorang kepala kampung, atau kepala adat, atau kepala satria penjaga kampung," ujar Ivan.
Ivan mengungkapkan penguburan manusia di dalam waruga dibuat seolah-olah berada dalam kandungan. Jenazah didudukkan di alas piring dan kemudian diberi padi dan rempah-rempah.
Bisa juga diletakkan benda-benda lain yang pernah digunakan atau disukai almarhum semasa hidupnya, seperti perkakas rumah tangga, parang, pacul, dan pisau. Ada pula yang memasukkan perhiasan seperti cincin, gelang, kalung dan sebagainya. Barang-barang itu disebut sebagai bekal kubur.
Mengapa diberi bekal kubur? "Karena orang Minahasa percaya sesudah kematian akan ada kehidupan. Jadi, perlu bekal supaya nanti atau saat berada di alam baru itu bekal kubur ini dapat digunakan," jelas Ivan.
Ivan membenarkan jika serangan wabah penyakit kolera dan sampar menjadi penyebab warga tak lagi menggunakan waruga sebagai kuburan. "Hal lainnya juga karena pengaruh masuknya agama Kristen. Yang mengajarkan tata cara pemakaman, dan tidak lagi membuat waruga," ujar dia.
Salah satu persoalan yang dihadapi saat ini, menurut Ivan, adalah konsep yang melihat waruga sebagai peninggalan kepercayaan lama sehingga harus dihilangkan agar tidak mengganggu kepercayaan yang baru, Kristen misalnya. Padahal, waruga harus dilihat sebagai peninggalan budaya yang perlu dilestarikan.
Hal tersebut disadari Pemkab Minahasa Utara. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Femmy Pangkerego, mengatakan pihaknya terus berupaya mempromosikan waruga sebagai peninggalan yang unik dan menjadi aset budaya terutama bisa menunjang bidang pariwisata, sosial dan ekonomi.
"Selain untuk melestarikan budaya, waruga juga bisa menjadi aset serta punya daya tarik wisatawan," kata Femmy saat acara sosialisasi "Rumah Peradaban" dari Balai Arkeologi Sulut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Balai Pertemuan Desa Airmadidi Bawah, Minahasa Utara.
Terkait nilai pentingnya waruga dari sisi budaya, serta identitas orang Minahasa, sekaligus daya tarik wisata, Femmy mengajak seluruh pihak untuk ikut melestarikan waruga.
Advertisement