Penetapan Tersangka Siyono Dinilai Janggal

Menurut tim pengacara, kejanggalan itu bisa membuat polisi ditertawakan seluruh dunia.

oleh Yanuar H diperbarui 14 Apr 2016, 15:03 WIB
Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas memaparkan hasil autopsi jenazah terduga teroris asal Klaten, Siyono di Jakarta, Senin (11/4). Ditemukan fakta, kematian Siyono disebabkan adanya benturan benda tumpul di bagian dadanya. (Liputan6.com/Helmi Affandi)

Liputan6.com, Yogyakarta - Tim Pembela Kemanusiaan Kasus Siyono menemukan kejanggalan dalam penetapan status tersangka Siyono, korban tewas oleh Densus 88 Antiteror. Kejanggalan itu ditemukan saat tim pengacara membaca surat panggilan pemeriksaan ayah Siyono, Mardio.

Surat panggilan itu dikeluarkan pada Senin, 11 April 2016. Di dalam surat itu disebutkan dasar pemeriksaan adalah laporan polisi tertanggal 15 Maret 2016 yang menyebutkan ada pemeriksaan pada Siyono. Padahal, yang bersangkutan sudah meninggal dunia sejak 11 Maret 2016 setelah sebelumnya ditangkap pada 8 Maret 2016.

"Siyono meninggalnya kapan masak sudah meninggal ditetapkan menjadi tersangka? Apa tidak ketawa seluruh polisi dunia? Polisi lebih terbuka, (secara) etik selesaikan tingkatkan ke tindak pidana," ujar Ketua Tim Pembela Kemanusiaan Trisno Raharjo, Rabu, 13 April 2016.

Trisno menyatakan, sejak 15 Maret 2016, polisi tidak pernah membantah penyebutan status Siyono sebagai terduga teroris. Padahal, saat itu polisi sudah menetapkan Siyono sebagai tersangka. Trisno menyebut tindakan polisi itu sebagai bentuk ketidak transparan.


"Bagi kami, itu hal disembunyikan. Saya tidak bilang kebohongan tapi tidak transparan," ujar Trisno di kantor Pusham UII.

Tim pengacara juga menduga ada pelanggaran dalam penangkapan Siyono. Menurut Trisno, warga Klaten, Jawa Tengah, itu sedang berdoa di musala saat sedang berdoa. Penangkapan di musala saat sedang beribadah itu dianggap melanggar hukum acara pidana, bukan pelanggaran etik seperti yang diklaim polisi.

"Ada tiga tempat yang tidak boleh dimasuki (untuk menangkap) parlemen, pengadilan saat sidang dan tempat ibadah saat dilakukan ibadah. Siyono masih zikir, ibadah masih berlangsung di tempat itu. Tidak bawa surat lagi," tutur Trisno.

Sementara itu, Ketua Pusham UII Eko Riyadi mengatakan kasus Siyono menjadi momentum untuk mengevaluasi Densus 88. Densus 88 yang juga penegak hukum harus tunduk dengan aturan yang ada dalam KUHP karena tidak memiliki keistimewaan di luar KUHP.

"Kalau sudah dinyatakan adanya penangkapan, dikeluarkan surat perintah yang diberikan ke keluarga. Ini evaluasi yang menyeluruh terhadap SOP Densus 88 sama seperti polisi lain yang tunduk dengan KUHP," kata Eko.

Eko juga mengatakan, sebagai tersangka, Siyono berhak untuk diam sehingga polisi tidak berhak menyiksa sebagai bentuk keluarnya pengakuan dari tersangka. Cara-cara seperti itu sudah ditinggalkan sejak lama, tetapi polisi sekarang masih menggunakan cara-cara itu padahal Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti-penyiksaan.

"Indonesia ikut ratifikasi konvensi anti-penyiksaan. Polisi sekarang harus bisa membuktikan kesalahan tersangka," ujar Eko.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya