Beratnya Perjuangan Perempuan Penolak Pabrik Semen

Pasungan semen memang membuat kaki Giyem panas dan sakit, sesekali ia mengurut kakinya.

oleh Muslim AR diperbarui 14 Apr 2016, 16:08 WIB
Aksi petani mengecor kakinya di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (13/4). Menurut mereka, pembangunan pabrik semen tersebut dapat mengancam kehidupan petani dan masyarakat. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Giyem (41) menyapu rambut di wajah bundarnya, ia meluruskan kakinya yang sudah disemen hampir 48 jam. Giyem tak sendiri, ia bersama 8 petani perempuan lainnya protes dengan menyemen kaki.

Aksi ini bukan tanpa alasan, mereka menganggap memasung kaki di depan Monas adalah perjuangan terakhir mereka agar bisa bertemu Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

"Di manapun sudah ndak ada respon sama sekali, di pejabat Jawa Tengah sudah, di Walikota sudah, ndak ada respons sama sekali, satu-satunya di sini, di depan istana, siapa tahu Pak Jokowi masih memperhatikan," ujar Giyem saat memulai percakapannya dengan Liputan6.com, Rabu 13 April 2016 malam di Kantor LBH Jakarta.

Pasungan semen memang membuat kaki Giyem panas dan sakit, sesekali ia mengurut kakinya. Kaki seorang petani, tak berbulu, cokelat mengkilap karena bertahun-tahun terendam lumpur dan kuku kaki yang sedikit menguning dan kokoh.

"Ini gak seberapa panas jika dibandingkan hari-hari nantinya kalau sudah ada pabrik semen. Ini untuk memperjuangkan manusia, manusia yang mau hidup, hari ini, juga buat anak cucu," kata Ibu dua anak ini.

Aksi menyemen kaki nan berbahaya itu, terpaksa ditempuh para perempuan dari kabupaten Rembang. Mereka sudah berusaha mati-matian mempertahankan alamnya. Mulai dari pemukulan hingga todongan senjata penjaga pabrik semen sudah ia rasakan.

"Bahkan ada yang dibuang polisi di tengah hutan, kadang ada juga yang mukul, tapi pemerintah juga ndak ada respons sama sekali," tuturnya.

Sebelum finish di istana, mereka telah mendirikan tenda di sekitar pabrik semen. Secara bergantian tenda tersebut layaknya benteng pertahanan dari investasi yang merusak alam.

"Sekali jaga itu ada 20 sampai 40 orang, ya ndak tentu juga. Giliran mas, tiap hari, tiap minggu itu ada jadwalnya, kalau aku satu minggu 3 kali (jaga tenda)," kata Giyem.


Beratnya Menuju Pabrik Semen


Ia menggambarkan, perjalanan menuju tenda saja, harus mereka lewati dengan pemeriksaan ketat pihak pengamanan.  "Kan kalau masuk ke situ (tenda) ndak boleh, dihadang sama satpam. Karena ndak boleh sama pihak semen," kisah Giyem.

Siang hari dijaga perempuan, kala malam dijaga kaum laki-laki.

Jika pabrik semen tak didirikan dan masih ada lahan untuk para petani, Giyem yakin tak akan pernah miskin ataupun kekurangan.

"Kami cuma beli garam dan ikan, beras ndak beli, ayam saya punya, bebek, kambing, sapi semua ada, minyak juga ndak beli, listrik pakai biogas dari kotoran sapi, di depan rumah tanam sayur, ndak ada yang beli," katanya.

Sebelum pulang ke kampung halaman, Giyem berpesan dan mengatakan bahwa dirinya dan semua petani di Rembang hanya ingin bertemu, berbicara dengan Jokowi. Sebab juga sudah jadi janji saat kampanye serta tekad Presiden Republik Indonesia untuk swasembada pangan.

"Ya mau ngomong terus terang, kalau Jawa Tengah jangan dijadikan tambang, harus dijadikan lumbung pangan," ujar Giyem sembari menenteng tas jinjingnya, meninggalkan ruangan LBH Jakarta.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya