Kolom: 11 Sahabat dari Leicester

Simak ulasan kunci kekuatan Leicester musim ini dari Asep Ginanjar.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Apr 2016, 08:10 WIB
kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Kesendirian, tanpa teman atau sahabat, adalah hal yang begitu menyiksa. Colin Vearncomb alias Black sempat menuangkan hal itu di lagu yang menjadi hits di Eropa pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Wonderful Life. Demikianlah judul lagu itu.

Baca Juga

  • Pique: Pukulan Telak untuk Barcelona
  • Menghitung Pundi-pundi Uang Cristiano Ronaldo
  • Rossi Merasa Tidak Dihormati Marquez dan Lorenzo

Dari judulnya, Wonderful Life mencerminkan optimisme dan keindahan. Namun, faktanya, lagu itu berisi kegetiran. Di salah satu baitnya, Black mengungkapkan, “I need a friend/ Oh, I need a friend/ To make me happy/ Not stand here on my own//”

Black mengakui inspirasi lagu itu memang dari kegetiran hidup yang dialaminya. “Hingga pada akhir 1985, saya mengalami beberapa kali kecelakaan mobil, ibu saya menderita sakit parah, saya didepak oleh perusahaan rekaman, perkawinan pertama saya kandas, dan saya menggelandang,” kisah Black seperti diungkapkan Daily Telegraph dalam obituari sang musisi yang tewas dalam kecelakaan mobil, 26 Januari silam.

Keberadaan seorang teman atau sahabat memang sangat berarti bagi siapa pun. Jalinan persahabatan bahkan kadang melebihi ikatan persaudaraan. Jalinan inilah yang menimbulkan kekuatan luar biasa.

Manajer Leicester City, Claudio Ranieri (GLYN KIRK / AFP)

Tak heran bila Sepp Herberger, pelatih yang mengantar Jerman Barat memenangi Piala Dunia 1954 dalam partai final bertajuk The Miracle of Bern, antara lain menegaskan kepada para pemainnya, “Kalian harus tampil sebagai sebelas sahabat!”

Meskipun dikenal sebagai salah satu kutipan paling populer dari Herberger, sejatinya ungkapan itu sudah ada jauh sebelum nama Herberger mengemuka. Setidaknya, dalam buku Fussball: Theorie, Technik, Taktik yang terbit pada 1919, Richard Girulatis menulis, “Kalian harus menjadi sebelas sahabat untuk memenangi pertandingan.”

Bahkan, Klaus Walter dari Die Zeit kala menulis soal keberadaan majalah bernama 11Freunde, mengungkapkan fakta mengejutkan. Menurut dia, ungkapan itu sangat mungkin jauh lebih tua lagi. Pasalnya, kata-kata tersebut terpahat di bagian bawah trofi Viktoria yang menjadi lambang supremasi klub sepak bola di Jerman dari 1903 hingga 1944.

Cuma di Lapangan

Lalu, masih relevankah ungkapan tersebut pada masa sekarang? Jika persahabatan itu merujuk pada hubungan yang sangat dekat di dalam dan luar lapangan, rasanya tidak. Cristiano Ronaldo terang-terangan menyebut dirinya tidak perlu makan malam di luar bersama Karim Benzema atau mengundang penyerang asal Prancis itu ke rumahnya.

Real Madrid menang agregat 3-2 atas Wolfsburg berkat tiga gol Cristiano Ronaldo pada leg kedua perempat final Liga Champions di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, (12/4/2016). (AFP/Pierre-Philippe Marcou)

Saat di Manchester United, menurut Ronaldo, dia bahkan hanya sebatas menyapa “Selamat pagi!” kepada Paul Scholes, Ryan Giggs atau Rio Ferdinand. “Toh, kami tetap menjadi tim yang solid dan sukses,” kata Ronaldo.

Hal serupa diungkapkan Philipp Lahm. Dalam wawancara dengan Chrismon, sebuah majalah online, pada 2011, dia malah menyebut sebaliknya.

“Pada kenyataannya, tim adalah kumpulan dua lusin kompetitor. Memang ada kesamaan tujuan untuk meraih sukses. Namun, saya tidak menganjurkan para pemain membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi,” ungkap dia.

Bagi Lahm, karena persaingan yang ada, sangat berbahaya bila seorang pemain mengungkapkan segala hal kepada rekan-rekan setimnya. Bagaimanapun, orang-orang yang dianggap teman itu sesungguhnya tengah mengendap-endap untuk mencari tahu kelemahannya.

Jalinan persahabatan, menurut Ronaldo, terpenting harus ditunjukkan di lapangan. Bagaimanapun, harmoni adalah kunci sukses dalam olahraga tim. Kerja sama antarpemain akan terjalin baik apabila ada saling percaya dan setia satu sama lain. Bahkan, tak jarang mereka berkomunikasi lewat telepati, saling mengerti satu sama lain secara otomatis tanpa bertukar simbol-simbol tertentu.

Dua bintang Leicester City, Jamie Vardy (kiri) dan Danny Drinkwater. (Skysports).

Contohnya Danny Drinkwater dan Jamie Vardy di Leicester City. Karena sejak 2012 bersama-sama membela The Foxes, mereka mencapai tahap pengertian tingkat tinggi.

Dengan tetap fokus pada bola yang dikuasai, Drinkwater sudah tahu persis arah lari Vardy. Begitupun Vardy. Dia tahu arah umpan yang akan dilepaskan Drinkwater. Hasilnya, musim ini, lima gol Vardy berasal dari assist Drinkwater.


Kunci Leicester

Jalinan spesial ini sesuai dengan tuntutan manajer Claudio Ranieri. Hal itu dituturkannya dalam tulisan di The Player’s Tribune. Dia menekankan pentingnya kerja sama dan saling berkorban satu sama lain dalam menghadapi lawan.

“Sebelum kami memainkan laga pertama pada musim ini, saya katakan kepada para pemain, ‘Saya ingin kalian bermain untuk teman setim. Kita ini tim kecil. Oleh karena itu, kita harus berjuang sepenuh hati, segenap jiwa. Saya tidak peduli nama lawan yang kita hadapi. Saya hanya ingin kalian berjuang. Jika mereka lebih baik dari kita, oke, selamat. Tapi, mereka harus menunjukkan diri memang lebih baik dari kita,’” ulas Ranieri.

Maka tak heran bila pelatih asal Italia berumur 64 tahun itu tak mampu menahan air mata ketika Leicester memastikan tiket ke Liga Champions musim depan lewat kemenangan 2-0 atas Sunderland di Stadium of Lights, Minggu (10/4/2016). Apalagi itu juga makin mendekatkan The Foxes dengan impian terbesar, juara Premier League.

Manajer Leicester, Claudio Ranieri saat pertandingan melawan Arsenal, Minggu (14/2/2016) malam tadi.

Di Leicester, menurut Ranieri, hubungan-hubungan spesial itu bukan hanya terjalin di antara para pemain. “Sejak hari pertama, ada energi fantastis di Leicester. Itu bermula dari chairman, lalu menjalar kepada para pemain, staf, dan fans. Saya merasakan hal yang sungguh sukar dipercaya. Luar biasa. Di Stadion King Power ada energi yang sangat hebat,” terang pria yang sempat menangani Chelsea tersebut.

Kebersamaan itu dirasakan oleh Pele, legenda sepak bola asal Brasil. “Leicester menjadi kejutan besar karena di sana tak ada nama-nama besar. Tapi, mereka sangat terorganisasi dan tak kenal lelah dalam bekerja,” ucap dia seperti dikutip Leicester Mercury.

Tim asuhan Ranieri mengingatkan pada timnas Denmark yang menawan di Piala Dunia 1986 walau tak sanggup menjadi juara. Pelatih Sepp Piontek menyadari hal itu kala melihat Morten Olsen cs. menyiapkan diri untuk menyanyikan Song For Allan yang dipersembahkan bagi Allan Simonsen.

"Mereka rela mempermalukan diri untuk menunjukkan kepada Allan bahwa mereka memikirkannya. Saya melihat mereka kini benar-benar sebuah tim," kisah Piontek di buku Danish Dynamite. Jurnalis Svend Gehrs menimpali, "Itu membuat Sepp terkesan karena dia mengetahui hal yang menjadi kekuatan utama timnya. (Yaitu) Mereka adalah sahabat-sahabat hingga jauh di dalam hati."

Leicester sudah menunjukkan betapa penting menjadi sebelas sahabat di dalam tim. Seperti Tim Dinamit di Piala Dunia 1986, itulah salah satu hal yang akan dikenang dari The Foxes musim ini.

*Penulis seorang jurnalis, komentator dan pengamat sepak bola. Komentari opini ini dengan mengujungi lini masa @seppginz.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya