Liputan6.com, Jakarta - Puluhan orang lanjut usia itu tergopoh-gopoh memasuki gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di kawasan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis 14 April malam.
Bapak dan ibu-ibu renta itu kepayahan mengapit tas-tas mereka. Para lansia yang berjumlah 60 orang ini sejatinya ingin mengadakan pertemuan dan persiapan untuk Simposium 65 di Jakarta. Namun 5 orang di antaranya jatuh sakit setelah mereka diusir, diancam serta dibubarkan paksa oleh kelompok yang intoleran.
Mereka terpaksa lari menyelamatkan diri. Sebab, ribuan orang dari Ormas yang mengatasnamakan Islam dan Front Pembela Islam (FPI) menyeruduk tempat puluhan lansia ini beristirahat di salah satu Wisma di Cianjur, Jawa Barat.
"Saat kami istirahat, tiba-tiba di depan penginapan sudah ada ratusan polisi berpakaian hitam membawa senjata, lalu ribuan massa meneriaki kami dan mengintimidasi kami," ujar ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung pada Liputan6.com, Kamis tengah malam.
Bedjo mengatakan, ia dan para korban lainnya ingin berjalan-jalan dan temu kangen serta membahas sikap mereka sebelum simposium yang dijadwalkan pada 18-19 April itu digelar.
Dari keterangan Bedjo, ia diminta polisi untuk meninggalkan lokasi, padahal mereka telah membayar uang sewa untuk menginap beberapa hari. Mereka dijadwalkan menghadiri Simposium 65 yang diadakan pemerintah. Namun, kenyataannya, para lansia yang sudah rapuh dimakan usia ini tak mendapat perlindungan.
"Kami memang dilindungi polisi, tapi tetap saja diintimidasi dan disuruh meninggalkan lokasi," terang Bedjo.
Baca Juga
Advertisement
Dari keterangan Bedjo, para massa dan kelompok masyarakat intoleran itu mengatasnamakan dirinya sebagai organisasi massa Gerakan Masyarakat Islam Peduli Cianjur dan FPI. Kelompok ini marah dengan alasan tak jelas secara undang-undang. Padahal YPKP adalah organisasi legal dan memenuhi permintaan pemerintah.
Sebab, untuk pertama kalinya sejak tragedi 1965, sebuah simposium tingkat nasional akan digelar untuk membicarakan tanggung jawab negara atas nyawa jutaan orang, genosida dan perampasan hak puluhan juta orang lebih yang dianggap keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa proses hukum.
Bedjo menjelaskan, ini merupakan kali pertama bagi para pelaku dan korban dipertemukan, dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagai mediatornya.
"Kami dijadwalkan akan bertemu dengan tentara, pelaku, dan korban lainnya yang terdampak peristiwa 65," jelas Bedjo.
Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan, pola intoleransi yang berulang dengan aktor intoleran yang itu-itu terus menunjukkan betapa lemahnya institusi keamanan (Polisi dan TNI) dalam menjaga hak dan mengamalkan amanat undang-undang.
"Sudah jelas undang-undang dasar kita mengatur, setiap warga negara berhak untuk berkumpul dan dijamin kebebasannya dalam berekspresi, beragama dan pandangan politik," terang Alghiffari.
Saat ini, para Lansia tersebut telah mendapatkan bantuan dari jaringan LBH Jakarta dan sebagian lainnya bertahan di kantor LBH Jakarta.
"Kami usahakan untuk mendapatkan tempat menginap dari kawan-kawan dan jaringan LBH, 5 orang yang sakit di salah satu wisma untuk mendapatkan perawatan," ucap Alghiffari.