Liputan6.com, Jakarta Malam berhujan. Titik-titik air membasahi kaca luar taksi. Kukemudikan taksi dengan kecepatan 60 kilometer per jam sepanjang jalan S. Jalan di pusat kota J yang selalu sibuk pada siang hari itu sekarang lenggang. Kulirik arloji di tangan, pukul satu dini hari.
“Oya, Halo Bung Wir… Selamat malam,” sapa penumpangku pada lawan bicaranya di telepon. Sejak masuk taksiku, telpon genggamnya itu tak lepas-lepas dari kupingnya. Entah sudah berapa orang yang ia ladeni bicara sejak tadi.
“Gampang itu Bung. Bisa diatur. Hehehe…” pria itu terkekeh sampai perut buncitnya bergerak-gerak.
Kuamati pria necis itu dari kaca spion. Ia memakai setelan jas hitam dipadu dasi merah tua garis-garis putih yang longgar—mungkin sengaja dilonggarkan. Parfumnya wangi. Aku tak tahu pasti apa merknya. Mungkin Bulgari atau merk anu. Tapi yang jelas, wangi parfum mahal dan berkelas. Dan tentu saja bukan wangi parfum murahan yang dibelikan istriku, yang selalu kusemprotkan di ketekku setiap akan berangkat kerja.
Baca Juga
Advertisement
Bicara tentang istriku, aku teringat pertengkaran kami tadi pagi. Sejak awal menikah, aku memang sudah mengetahui sifat istriku yang suka mengeluh itu. Dan aku maklum, tapi kejadian tadi pagi adalah kecuali.
Sepertinya sudah hampir sejuta kali kukatakan pada istriku agar bersabar terhadap segala sesuatu dan menerimanya tanpa keluh. Tapi mungkin karena dasar sudah watak, ia tetap belum bisa berubah. Dan sepanjang pagi tadi, ia kembali mengeluh tentang hidup, gajiku, BBM naik, juga tentang anak kami. Kucoba menulikan telingaku dari semua ocehannya, tapi ternyata tak bisa. Di batas kesabaran, kugebrak meja dan meninggalkannya dalam kemarahan.
Kembali kuamati pria di belakangku itu.Kutaksir, ia berusia setengah abad lebih. Kacamata berbingkai emas bertengger di matanya yang berkantung dan berkerut. Kepalanya agak botak di tengah dan ditumbuhi rambut yang kelabu karena uban.
“Kemarin, saya sudah mengintruksikan hal itu. Tenang saja Bung Wir… Dana kita cukup kok. Sumbernya gede, hahaha…”
“Kader-kader kita sudah mulai bergerak ke daerah pinggiran.”
“Yah, nantilah kita pikirkan lagi. Pokoknya, Bung sekarang menyusun strategi saja. Menurut informasi yang saya terima, duet ZAKI sudah mulai merambah wilayah Barat,” ujarnya menyebutkan akronim salah satu pasangan yang menyalonkan diri menjadi Gubernur di Pemilu tahun depan.
Setengah mati aku mencoba mengingat nama penumpangku itu. Sumpah! Aku merasa tak asing lagi dengan wajah bulat dengan dagu penuh lemaknya. Tak salah lagi, pria dengan gaya bicara seperti menteri kabinet yang sedang diwawancarai itu pastilah orang terkenal yang wajahnya sering wara-wiri di televisi.
Kalau saja istriku sekarang ada bersamaku. Ia pasti akan langsung dapat mengenalinya. Sepertinya, mulai saat ini aku harus lebih bersabar dengan hobi istriku yang doyan mantengin televisi. Kebiasaannya yang betah berjam-jam di depan layar kadang juga menjadi salah satu pangkal pertengkaran kami.
Sejurus kemudian, pria itu tidak mengeluarkan suara, hanya mengangguk-anggukkan kepala. Mungkin ia sedang menyimak ucapan lawan bicaranya.
“Ya, ya. Bung Wir, selamat malam…” ia melepas telpon genggam dari kupingnya.
“Gerah juga ya, Pak,” ujar pria itu sambil melepas satu kancing kemejanya.
Busyet! Dingin begini dia kata gerah.
“Mau saya besarkan AC-nya Pak?” tanyaku mencoba ramah.
“Ya, ya…” ia mengangguk-angguk.
Tak sampai lima menit, tubuhku menggigil kedinginan. Hujan di luar menambah dingin udara. Busyet, tengkukku terasa seperti ditetesi es.
“Sudah berapa lama jadi sopir taksi Pak?” tanya pria itu tanpa kuduga.
“Em… sampai bulan depan, sepuluh tahun Pak,” jawabku terbata karena tak siap dengan pertanyaannya.
“Sepuluh tahun…,” gumamnya.
“Ya, Pak,” ujarku mengiyakan.
Telepon genggam pria necis kembali memekik, mendendangkan lagu hits era delapan puluhan.
Tiba-tiba aku geli sendiri teringat anak sulungku yang masih kelas dua SMU. Sulungku itu demen sekali menyetel lagu-lagu Ungu, Peter Pan, Dewa, dan lagu-lagu grup band lain yang sedang ngetop saat ini. Membayangkan bahwa lagu-lagu hits itulah yang akan jadi lagu nostalgia anak sulungku beberapa tahun yang akan datang sungguh membuatku geli.
“Halo Debora, sayang…” sapa pria itu mesra.
“Ini lagi dalam perjalanan.”
“Enggak, sayang…”
“Eh, eh, eh… jangan merajuk gitu donk…”
“Nah, gitu…”
“Ya, sudah. Hari minggu besok aku temani ke butiknya Mas Adhi. Kamu boleh pilih baju yang kamu suka.”
“Oke, aku ke sana. Tunggu ya…”
Klik. Diputus.
“Halo, Mama?”
“Ini… Papa nggak bisa pulang malam ini. Ada kerjaan di kantor.”
“Aduh Mama… kok bilangnya gitu sih. Mau gimana lagi, kalo nggak dilembur malah numpuk.”
“Yaa… Mama kan tahu sendiri.”
“Mmm… mungkin besok sore.”
“Ya, besok pulangnya naik taksi saja.”
“Eh, jangan lupa Ma. Besok pagi suruh Pak Rukmo bawakan Papa baju ganti ke kantor.”
“Tadi sore memang Pak Rukmo saya suruh menjemput Bella.”
“Oya, Bella sudah pulang?”
“Aduh, Mama. Anak perempuan kok dibolehin nggak pulang sampai jam segini…”
“Miko ke mana ya, Ma? Sudah seminggu ini Papa nggak melihat dia.”
“Ya, sudahlah.”
Klik.
“Anak kalo sudah gede susah ngaturnya ya, Pak…,” ujarku membuka percakapan.
“Hehe… Ya, begitulah.”
“Bapak sudah berapa tahun menikah?” tanyanya.
“Delapan belas.”
“Saya sudah hampir tiga puluh tahun. Bisa dibilang sudah tinggal ampasnya…”
“Jadi, ssstt… sekarang nyari yang masih ada madunya. Hehe…,” pria itu terkekeh lama sampai perut buncit dan dagu penuh lemaknya bergerak-gerak.
Aku hanya membalas tawanya itu dengan senyum kecut.
Telepon genggamnya kembali memekik.
“Ya, Bung Wir…”
“Oke, oke…”
“Tenang saja, Bung Wir. Saya sudah suruh Bagong membereskannya.”
“Joni keparat itu tak akan lagi mengoceh di pengadilan…”
Glek. Aku menelan ludah.
“Selamat malam…”
Pria itu terbatuk sesaat kemudian menelepon lagi.
“Bagong?”
“Sudah kau bereskan Joni?”
“Aku nggak mau tahu. Yang penting, besok pagi aku harus dapat kabar kalau istri Joni sudah jadi janda,” perintahnya tegas seolah tanpa kompromi.
Tak tahu kenapa, aku bergidik mendengar ucapannya itu.
Taksi yang kukemudikan melaju membelah jalan G. Hujan belum berhenti. Pria di belakangku itu merebahkan badannya.
“Nanti turun di bla.. bla…” pria itu menyebutkan alamat rumah lengkap dengan nomornya.
“Bangunkan saya kalau sudah sampai ya, Pak!” perintahnya.
Aku mengangguk.
Beberapa saat kemudian, hujan jadi gerimis satu-satu. Jarak pandangku yang tadi agak terganggu hujan sekarang mulai jelas.
Tiba-tiba aku tertegun memandang sebuah papan iklan besar di kanan jalan. Papan iklan itu memasang foto pasangan calon Gubernur. Salah satunya adalah foto pria berperawakan gemuk, berperut buncit dengan dagu penuh gelambir lemak. Foto itu mirip sekali dengan pria necis yang sekarang tertidur di kursi belakang taksiku. Kueja tulisan yang terdapat di bawah foto.
Pilihlah Duet WIRMAN
Wiryawan-Parman Setiadji
Jangan Ragu, Mari Maju Bersama!
***
“Pak, bangun Pak… sudah sampai.”
“He?”
“Rumahnya betul yang ini kan Pak? Sudah sampai…”
“O, iya.” Pria itu bangkit. Ia melirik argo sebentar, kemudian mengulurkan dua lembar seratus ribuan dari dompetnya yang gemuk.
“Ini terlalu banyak, Pak,” ujarku seraya mengembalikan selembar.
“Hohoho… tak usah. Buat Bung sajalah…,” tolaknya sambil tertawa lebar.
“BBM sudah naik kan…,” sambungnya lagi.
Entah kenapa bibirku tak mampu mengeluarkan kata ‘terimakasih’ padanya. Lidahku kelu. Dan senyum yang coba kupaksakan di bibirku mungkin lebih terlihat seperti seringai.
Pria itu masuk ke dalam rumah megah berpagar tinggi itu. Sempat kutangkap sosok seorang wanita yang menyambut kedatangannya. Wajah wanita itu mengingatkanku pada wajah penyanyi dangdut yang juga bintang iklan salah satu minuman berenergi. Benar tidaknya, aku tak tahu pasti.
Aku juga tak bisa mengira-gira dengan pasti apa yang dilakukan pria itu dengan wanita berwajah mirip penyanyi dangdut itu sekarang di dalam rumah megah berpagar tinggi itu. Yang kutahu dengan pasti adalah kenyataan bahwa seorang kandidat calon wakil gubernur malam ini telah membohongi istrinya dan menghabiskan malam bersama wanita berwajah mirip penyanyi dangdut itu.
Ah, tapi apa peduliku! Aku hanya sopir taksi. Tugasku cuma mengantarkan penumpang ke tempat yang mereka tuju. Dan tugas tersebut selesai setelah kuterima bayaran. Sampai di situ saja, tak lebih. Hal-hal lain semisal siapa yang mereka tuju atau apa yang mereka lakukan, itu bukan urusanku.
Taksi yang kukemudikan mulai meninggalkan kompleks perumahan dan kembali memasuki jalan raya. Titik-titik hujan kembali tercurah dari langit. Segera kukecilkan AC dan merapatkan jaket agar lebih menempel ke tubuh. Kulirik arloji di tangan, pukul dua lewat sekian menit.
Pikiranku melayang ke rumah, membayangkan apa yang sedang di lakukan istriku saat ini. Tidurkah atau menunggu kedatanganku? Atau mungkin ia sedang menyeduh kopi pahit, kemudian menghirupnya satu-satu seperti kebiasaannya ketika sedang resah atau cemas.
Hmm… menjalani perkawinan setelah delapan belas tahun memang tak sesederhana Juliet menancapkan pisau ke jantung dan terbaring kaku di sisi Romeo. Butuh fantasi untuk mengubah ocehan menjadi cerita-cerita lucu,*juga butuh samudera hati untuk menerima kekurangan masing-masing. Ah, tiba-tiba aku kangen istriku…
* Kutipan puisi Perkawinan karya Asep Sambodja
Ana Fauziyah, Pengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing.