4 Fase Tarling Pantura, dari Gamelan hingga Irma Bule

Di fase ini, musik tarling sudah berkolaborasi dengan irama musik dangdut nasional. Di sini tarling dangdut mulai terpengaruh musik modern.

oleh Panji Prayitno diperbarui 15 Apr 2016, 19:30 WIB
Tarling melewati fase-fase dari tradisi sampai modern kekinian.

Liputan6.com, Cirebon - Istilah tarling berasal kata dari gitar dan suling. Aliran musik jenis ini sangat dekat dengan masyarakat daerah pantai utara (pantura). Dalam perjalanannya, tarling telah melewati empat fase.

Budayawan Indramayu, Supali Kasim, menjelaskan fase pertama masuk dalam tahapan Tarling Klasik (1940-1970) di mana notasi musik Tarling Klasik berasal dari gamelan. Irama lagunya masih lambat dan tidak ada syair atau lirik lagu yang baku.

"Hanya kerangka lagunya saja tempo bisa sampai 4/8 tergantung suara gongnya. Musik tarling klasik ini mirip dengan musik-musik yang biasa dinyanyikan sinden," ucap Supali di Cirebon, Jumat (15/4/2016).

Di fase pertama ini, beberapa pelopor tarling klasik di antaranya Sugra (1940) dari Kelurahan Kepandean, Indramayu serta Jayana dari Karangampel, Indramayu.

Sementara, di fase kedua memasuki fase tarling Kiser Gancang (1960-1980). Di era ini, irama, lagu dalam musik tarling bernada nge-pop. "Para pemusik tarling memberi nama lain tembang anyar," ucap Supali.

Di fase kedua ini, musik tarling kiser gancang masih memakai notasi daerah yang berasal dari gamelan. Hanya saja, di fase kedua ini tempo dan iramanya lebih cepat.

Beberapa contoh musik tarling klasik Kiser Gancang seperti Warung Pojok ciptaan Abdul Azib dari daerah Mayung Kabupaten Cirebon. Sementara untuk seniman tarling klasik kiser gancang ada Uci Sanusi dari Klangenan Cirebon, Sunarto dari Kecamatan Palimanan.

"Lagu di tarling klasik kiser gancang notasinya masih pakai gamelan, ada kedaerahan dan irama cepat," tutur Supali.

Sementara di fase ketiga, musik tarling mulai bervolusi dengan berbagai musik lain. Pada fase ketiga ini, para seniman menyebutnya Tarling Dangdut (1980 sampai sekarang).

Di fase ini, musik tarling sudah berkolaborasi dengan irama musik dangdut nasional. Di sini tarling dangdut mulai terpengaruh  musik dangdut Roma Irama.

"Tarling kita juga mulai menggunakan gendang dan orkes dangdut, drum, terompet termasuk busananya seperti seniman dangdut," sebut Supali.

Dari sisi lagu, tarling dangdut ini tidak lagi menggunakan notasi tradisional atau gamelan. Irama lagunya pun lebih cepat dari tarling Kiser Gancang.

Beberapa pelopor tarling dangdut Maman Suparman dari Kecamatan Arjawinangun, Udin Jaenudin Sukra, Sadi Maulana, Yoyo Suwaryo yang berasal dari Kabupaten Indramayu.

Memasuki fase keempat, musik Cirebon-Indramayu ini berevolusi menjadi Tembang Pantura (tahun 2000 sampai sekarang). Ciri musik pantura tentu sudah meninggalkan irama atau notasi tradisional.

"Mereka lebih mengadopsi dangdut modern yang banyak menggunakan bebunyian dari alat musik elektronik," tutur Supali Kasim.

Di fase keempat ini, musik pantura tetap tidak meninggalkan ciri khas bahasa yang masih mempertahankan Cirebon-Indramayu. Dia mengakui, di fase ini terjadi perubahan yang signifikan. Sebagian besar pencipta dan penyanyi tembang pantura tidak dapat menguasai alat musik ataupun memiliki kelompok musik.

"Jadi penyanyi ya cuma nyanyi saja dan pencipta lagu ya menciptakan lirik atau syair saja. Kalau era sebelumnya seniman tarling itu bisa memainkan alat musik, bahkan main drama, bisa tembang klasik bahkan kiser gancang," tutur Supali.

Pada fase pergesaran ini, kemudian muncul banyak seniman baru yang sangat petoensial. Termasuk dari kalangan para artis penyanyinya.

"Para penyanyi muda kini sudah mulai banyak bermunculan, mungkin karena era kemudahan informasi contohnya, mulai dari Asrolani sampai Irma Bule," papar Supali.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya