Liputan6.com, Jakarta - Entah karena dorongan apa, Jaksa Agung HM Prasetyo tiba-tiba menyebut lembaganya akan kembali mengeksekusi terpidana mati. Anehnya, hal itu disampaikan Prasetyo tanpa kepastian dalam banyak hal. Bahkan terkesan tak serius.
"Belum kita pastikan kapan waktunya akan dieksekusi mati. Tapi kita tak pernah mengatakan eksekusi mati tidak dilakukan lagi," ujar Prasetyo di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (15/4/2016).
Advertisement
Hal serupa juga dikatakan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto. Namun, keterangan yang diberikan juga sumir, tak jauh beda dengan yang disampaikan Prasetyo. Dia menegaskan Kejagung tidak akan berhenti melaksanakan eksekusi terhadap para terpidana mati.
"Kejaksaan enggak pernah menyatakan berhenti melaksanakan eksekusi hukuman mati dan juga tetap komitmen untuk memerangi tindak pidana narkoba," ucap Amir di kantornya, Jakarta, Kamis 14 April malam.
Dia mengatakan, Kejagung belum menetapkan kapan pelaksanaan hukuman mati. Begitu pula dengan siapa saja terpidana mati yang akan dieksekusi. Amir beralasan, pelaksanaan eksekusi mati harus melalui sejumlah pertimbangan yang matang.
"Hukuman mati kan berkaitan dengan hilangnya nyawa seseorang. Harus dilaksanakan dengan hati-hati, jangan sampai melanggar HAM. Juga persiapan harus matang. Kan pelaksanaan yang lalu persiapannya sangat kompleks," jelas dia.
"Masalah orang dihukum mati banyak hak-hak lain kan. Soal grasi, PK (peninjauan kembali), kemudian masalah kesehatan. Belum lagi sarana dan prasarana. Kan harus koordinasi. Terpidana luar negeri juga harus koordinasi dengan negaranya," pungkas Amir.
Tidak kali ini saja Prasetyo mengungkapkan rencana eksekusi mati. Sepekan sebelumnya, dia juga mengungkapkan hal yang sama. Bahkan, dia sempat menyebut jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi serta asal negara mereka.
"Siapa pun yang sudah terpenuhi semua hak hukumnya akan kita eksekusi. Saya lupa jumlahnya, tapi lebih dari satu lah," kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 7 April 2016.
Tinggal Menunggu Waktu
Dia mengatakan, eksekusi mati ini sebagai pernyataan perang terhadap kejahatan narkoba. Sebab, masalah itu sudah menjangkiti hampir seluruh elemen masyarakat. Bahkan, kasus terbaru, unsur TNI menggunakan obat-obatan terlarang itu, yaitu Komandan Kodim 1408 BS/1408 Makassar Kolonel Inf Jefri Oktavian Rotty. Dia diciduk saat pesta narkoba di Hotel D'Maleo Jalan Pelita Raya, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa 5 April 2016.
"Kita tidak akan berhenti, karena pernyataan perang terhadap narkoba akan kita tingkatkan. Kan kalian tahu persis kejadian tadi malam di Makassar seperti apa. Tidak ada perbedaan siapa pelakunya dan di mana dilakukan. Kemarin kan di Kostrad juga," ujar menteri asal Partai Nasdem itu.
Dia juga menuturkan, ada warga negara asing yang akan dieksekusi dalam gelombang berikutnya. Soal dana eksekusi mati juga bukan masalah bagi negara.
"Dana enggak ada masalah. Negara tidak kekurangan dana untuk eksekusi terpidana mati kasus narkoba," tegas Prasetyo.
Lain waktu, Prasetyo bahkan lebih tegas lagi menyebutkan kalau eksekusi mati itu hanya tinggal menunggu waktu yang tepat. Eksekusi mati tahap berikutnya menurut dia akan fokus terhadap sejumlah terpidana kasus narkoba.
"Lihat nanti pelaksanaan (eksekusi hukuman mati), hanya tunggu waktu," katanya di Jakarta, Jumat 18 Maret 2016.
Ia juga menegaskan, tidak pernah mengatakan jika eksekusi mati tidak akan dilanjutkan. Prasetyo menyebut belum dilaksanakannya eksekusi mati tidak ada kaitannya dengan tekanan dari pihak asing.
"Tidak ada itu, kan penegakan hukum kita ada di negara sendiri dan hukum positif Indonesia masih memberlakukan hukuman mati," tegas Prasetyo.
Keseriusan Kejagung Dipertanyakan
Namun, semua pernyataan Jaksa Agung itu belum membuat terang apakah eksekusi mati memang benar-benar akan dilaksanakan atau tidak. Jika memang eksekusi mati itu hanya menunggu waktu yang tepat, paling tidak Prasetyo sudah bisa memberi gambaran tentang berapa orang yang akan dieksekusi serta kisaran waktu atau lokasi eksekusi.
Sayangnya hal itu tidak dijelaskan sehingga memunculkan anggapan bahwa Jaksa Agung dan Kejagung tak serius memunculkan wacana eksekusi mati tersebut. Bahkan, bukan tak mungkin Jaksa Agung memunculkan soal eksekusi mati untuk menghindari pertanyaan lain seputar kasus yang tengah membelit korps kejaksaan.
Seperti kita tahu, saat ini kejaksaan dipusingkan oleh sejumlah anggotanya yang menjadi terduga kasus korupsi. Yang terbaru, jaksa di Kejati Jawa Barat dan Kejati Jawa Tengah menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah tertangkap dalam dugaan suap kasus BPJS Kabupaten Subang.
Bahkan, sebelumnya KPK disebut-sebut menangkap dua orang jaksa di Kejati DKI Jakarta dalam kasus dugaan suap PT Brantas Abipraya. Santer pula disebut bahwa yang terlibat merupakan petinggi Kejati DKI yang tak lama lagi bakal ditetapkan sebagai tersangka.
Akan sangat disayangkan kalau pernyataan Jaksa Agung hanya untuk pengalihan isu, karena dengan tingginya kasus narkoba serta berjejernya terpidana kasus narkoba, eksekusi terhadap mereka harusnya disegerakan.
Selain untuk memberi efek jera bagi pengedar narkoba, langkah ini juga untuk memberi kepastian hukum. Kejagung boleh berkilah kalau para terpidana mati itu masih menempuh sejumlah upaya hukum, baik biasa maupun luar biasa. Namun, harusnya Kejagung punya data, terpidana mana saja yang masih menempuh upaya hukum dan mana yang vonisnya sudah berkekuatan hukum tetap.
Desakan Eksekusi BNN
Kemungkinan Kejagung menggelar eksekusi mati dalam waktu dekat bukan tak mungkin. Hal itu telah disuarakan oleh Kepala BNN Komjen Budi Waseso yang meminta Kejagung segera mengeksekusi 151 bandar narkotika yang telah divonis mati pengadilan.
"Sudah kami sampaikan ke Kementerian Hukum dan HAM, serta Jaksa Agung untuk segera dilaksanakan, karena jaringannya besar dan masih aktif," kata Budi Waseso dalam rapat dengan Komisi III DPR, Jakarta, Kamis 4 Februari lalu.
Pria yang akrab disapa Buwas ini menyatakan, BNN memiliki data lengkap dan valid mengenai 151 narapidana tersebut. Untuk itu, guna menghentikan jaringan narkotika lapas, BNN meminta mereka dimasukkan dalam daftar prioritas pelaksanaan eksekusi mati.
"Data kami lengkap. Saya pikir harus segera dilaksanakan, 151 orang ini yang jadi prioritas hukuman mati," ujar dia.
Buwas mengatakan, pengendalian jaringan narkotika oleh bandar napi tersebar hampir di seluruh lapas Indonesia. Para narapidana tersebut sebagian besar mampu mendapatkan alat komunikasi canggih dan modern.
"Bahkan, mereka bisa mendapat narkoba di dalam lapas, ini bisa kita buktikan," ucap Buwas.
Sepanjang 2015, Kejagung mengeksekusi 14 terpidana mati. Tahap pertama dilakukan pada Minggu, 18 Januari 2015, terhadap enam terpidana mati di Nusakambangan dan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Boyolali, Jawa Tengah.
Keenam terpidana adalah Tommi Wijaya (warga negara Belanda), Rani Andriani (Indonesia), Namaona Denis (Malawi), dan Marcho Archer Cardoso Moreira (Brasil), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dan Daniel Enemuo alias Diarrsaouba (Nigeria).
Eksekusi terpidana mati berikutnya di Nusakambangan pada Rabu 29 April 2015 terhadap delapan terpidana mati, yakni Rodrigo Gularte (Brasil), Sylvester Obiekwe Nwolise (Nigeria), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Martin Anderson alias Belo (Ghana).
Selain itu, MGS Zainal Abidin bin MGS Mahmud Badarudin (Indonesia), Rahem Agbaje Salami Cardova (Cardova), Myuran Sukumaran (Australia), dan Andrew Chan (Australia).