Liputan6.com, Trenggalek - Pemerintah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, menggandeng tim Geodesi Universitas Gadjah Mada untuk meneliti fenomena pergerakan tanah di Desa Pucanganak yang menyebabkan 21 bangunan retak-retak dan sebagian roboh.
"Kami sudah kerja sama dengan Fakultas Geodesi UGM yang dibiayai Badan Nasional Penanggulangan Bencana sejak enam bulan lalu untuk meneliti pergerakan tanah di Desa Pucanganak," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Trenggalek, Joko Rusianto, di Trenggalek, seperti dilansir Antara, Minggu, 17 April 2016.
Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa fenomena pergerakan tanah disebabkan adanya aliran sungai bawah tanah yang menyebabkan tanah di Dusun Sumbermadu, Desa Pucanganak labil.
"Kemungkinan pertama ada sungai bawah tanah atau kemungkinan kedua karena ada semacam danau bawah tanah yang membuat struktur lempeng sangat labil," ujar Joko.
Baca Juga
Advertisement
Mengacu kesimpulan tim geodesi UGM tersebut, lanjut dia, pergerakan tanah di Desa Pucanganak masih akan terus terjadi dalam jangka panjang. Ia menyatakan area pemukiman yang berdiri di atas kawasan perbukitan yang mengalami pergerakan atau pergeseran tanah secara terus-menerus itu tidak layak untuk dihuni penduduk.
"Tim geodesi UGM juga sudah memasang alat pendeteksi pergerakan tanah (landslide early warning system/extensometer) untuk membantu masyarakat melakukan langkah mitigasi saat potensi longsor terjadi," kata Joko.
Joko menjelaskan, sarana extensometer atau EWS itu terhubung langsung dengan jaringan satelit, sehingga saat terjadi pergerakan tanah pihaknya bisa langsung mengetahuinya dari pusat pengendali operasi (pusdalops) yang ada di markas BPBD Trenggalek.
"BNPB dan BPBD Jatim otomatis juga bisa ikut memantau melalui sistem jaringan satelit yang terhubung dengan perangkat EWS di (Desa) Pucanganak itu," ujar dia.
Sejumlah warga Dusun Sumbermadu RT 19/RW 08 Desa Pucanganak mengakui perangkat extensometer atau EWS yang terpasang membantu dalam mengantisipasi risiko longsor yang terjadi di sekitar pemukiman mereka.
"Sirine (EWS) berbunyi saat muncul pergerakan tanah, sehingga kami langsung keluar rumah dan mencari tempat aman," ujar Marji (45), warga setempat.
Ia mengatakan ada lima unit perangkat EWS dipasang di lokasi berbeda, dengan rincian dua pasang alat pendeteksi pergerakan tanah dan satu unit alat untuk mengukur curah hujan.
"Sarana pengukur curah hujan berfungsi untuk mengantisipasi aliran air atas permukaan yang bisa memicu pergerakan tanah dari luar yang berpotensi longsor," kata relawan Tim Reaksi Cepat (TRC) Desa Pucanganak Nur Rohmad.