Liputan6.com, Kumamoto - Hingga saat ini, sedikitnya 11 orang masih menghilang, 41 jiwa meninggal dunia, dan ratusan warga terluka akibat gempa berkekuatan 7,3 skala Richter (SR) yang terjadi di Jepang.
Berdasarkan laporan media Jepang, aliran listrik lebih dari 62 ribu rumah terputus dan 300 tempat tinggal rumah tak dapat mengakses air bersih. Sekitar 180 ribu orang terpaksa tinggal di penampungan, termasuk di mobil dan tenda.
Sementara itu, pada hari yang sama gempa juga melanda lepas pantai barat laut Ekuador dengan kekuatan 7,8 SR. Hingga saat ini, diketahui 246 tewas akibat peristiwa tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Banyak orang yang menghubung-hubungkan kedua peristiwa tersebut karena terjadi pada hari yang sama, yaitu Sabtu 16 April 2016, dengan kekuatan serupa 7,3 SR di Jepang dan 7,8 SR di Ekuador. Namun apakah benar hal tersebut berkaitan?
Seperti yang dikutip dari The New York Times, Senin (18/4/2016), para ilmuwan mengatakan hal tersebut tak ada kaitannya. Mereka menjelaskan bahwa kedua gempa yang berjarak 14.484 kilometer terlalu jauh untuk saling berhubungan.
Gempa besar dapat dan biasanya memang menyebabkan gempa lain, tapi hanya dapat terjadi di wilayah yang sama atau berdekatan. Hal tersebut dijuluki aftershocks atau gempa susulan.
Biasanya gempa besar dapat dihubungkan dengan gempa kecil yang terjadi sebelumnya, atau disebut foreshock.
Dalam kasus di Jepang, para ahli seismologi yakin bahwa gempa berkekuatan 6 SR yang terjadi pada Kamis, 14 April 2016, merupakan foreshocks dari gempa yang terjadi di hari Sabtu.
Penyebab yang Berbeda
Menurut para ilmuwan, gempa yang terjadi di kedua negara tersebut terjadi karena penyebab berbeda.
Gempa berkekuatan 7,8 SR di Ekuador terjadi karena peristiwa megathrust. Lindu tersebut terjadi karena salah satu lempeng tektonik bergerak di bawah lempeng lain, atau yang disebut dengan subduksi -- zona yang terdapat di batas lempeng yang bersifat konvergen.
Pada gempa Ekuador, sebuah lempeng berat samudra, Nazca, bergerak di bahwa lempeng ringan daratan Amerika Selatan. Regangan pun terbentuk pada batas tersebut dan menyebabkan gempa bumi.
Karena hal tersebut, gempa megathurst biasanya memiliki kekuatan besar. Peristiwa terbesar yang pernah tercatat adalah lindu 9,2 SR di Alaska pada 1964 dan 9,5 SR di pesisir Chile pada 1960.
Walaupun banyak gempa megathrust di Jepang, termasuk gempa Tohoku pada 2011 yang memicu bencana nuklir di Fukushima, guncangan yang terjadi pada Sabtu lalu bukan merupakan jenis megathrust.
Sebaliknya, menurut survei geologi, gempa tersebut terjadi pada kedalaman dangkal di sepanjang patahan, atau disebut pergeseran semu, di atas lempeng Eurasia dan zona subduksi.
Bukti Gempa Bumi Meningkat?
Menurut survei geologi yang mengamati lindu di seluruh dunia, menunjukkan bahwa rata-rata jumlah gempa per tahun sangat konsisten atau tidak ada peningkatan
Untuk gempa bumi dengan kekuatan 7 hingga 7,9 SR, ada beberapa tahun yang mengalami lebih dari 20 kali gempa sementara tahun lainnya kurang dari 10 kali, atau jika di rata-rata terjadi 15 kali gempa dalam setahun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya dalam sebulan dapat berlangsung lebih dari satu kali gempa berkekuatan 7 hingga 7,9 SR dan mungkin terjadi pada hari yang sama.
Kadang-kadang aktivitas gempa bumi tampak meningkat. Hal tersebut terjadi karena daerah yang terjadi gempa merupakan daerah padat penduduk dan dilengkapi dengan media dan jaringan komunikasi sehingga kabar lebih mudah tersiar.
Hal tersebutlah yang terjadi pada gempa di Jepang dan Ekuador. Berbeda jika peristiwa serupa terjadi di tengah-tengah samudra yang jauh dari tempat manusia tinggal.