Liputan6.com, Jakarta - Selama 13 tahun, Samadikun Hartono, terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menghilang. Dia melarikan diri saat akan dieksekusi Kejaksaan Agung pada 28 Mei 2003.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho meminta Kejaksaan Agung terus mengejar buron kasus BLBI yang lain. Terlebih kasus itu merugikan negara ratusan triliun rupiah.
"Saat Samadikun tertangkap, jangan sampai kasusnya berhenti. Buron yang lain pun harus ditangkap," ujar Emerson kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (18/4/2016).
Menurut dia, Kejaksaan Agung jangan hanya fokus pada buron yang lari ke luar negeri. Bisa jadi juga, buron yang dipercaya sudah ke luar negeri masih berada di Indonesia.
Terlebih, kejadian ini bukan hanya sekali terjadi. Masih banyak koruptor yang kabur dan berkeliaran di luar negeri. Badan Intelijen Negara (BIN) mencatat ada 33 buronan yang kabur ke luar negeri.
"33 di luar negeri. Sangat banyak dan tidak pernah bisa dicari keberadaan," kata Sutiyoso dalam jumpa pers di Berlin, Jerman.
Baca Juga
Advertisement
Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Aparat penegak hukum harus berkaca pada kasus yang telah lalu.
Kasus BLBI bermula saat krisis moneter 1997-1998. Sejumlah bank mendapat suntikan dana dari pemerintah. Salah satunya PT Bank Modern Tbk.
Sebagai bank umum swasta nasional, PT Bank Modern Tbk mengalami saldo debet, karena terjadinya rush atau penarikan tunai secara massal.
Untuk menutup saldo debet tersebut, PT Bank Modern Tbk menerima bantuan likuidasi dari Bank Indonesia dalam bentuk Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK), fasdis, dan dana talangan valas Rp 2.557.694.000.000 atau Rp 2,5 triliun.
Namun, Samadikun selaku Presiden Komisaris PT Bank Modern Tbk menggunakan bantuan itu untuk tujuan yang menyimpang, yang mencapai Rp 80.742.270.528,81 atau Rp 80 miliar. Negara pun merugi hingga Rp 169.472.986.461,52 atau Rp 169 miliar.