OPINI: Pembelian Lahan RS Sumber Waras Terindikasi Korupsi?

Tiga temuan BPK terkait pembelian RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran atas prosedur pengadaan lahan.

oleh Liputan6 diperbarui 18 Apr 2016, 18:27 WIB
Febri Hendri AA, pegiat anti korupsi ICW (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pemprov DKI  Jakarta membeli lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) pada akhir 2014 seluas 36.410 meter persegi. Tujuannya, untuk membangun RS Khusus Jantung dan Kanker Pemprov DKI. Pembelian dibiayai APBD Perubahan Jakarta tahun 2014 senilai Rp 755,7 miliar.

Pembelian lahan ini telah memicu polemik serta menyita perhatian publik terutama sejak BPK Jakarta mengungkap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) bulan Agustus 2015, hingga KPK memeriksa Gubernur Ahok pekan kemarin.

Polemik semakin tajam manakala terjadi perdebatan sengit antara pendukung yang meyakini ada korupsi dengan kelompok yang menyatakan tidak ada korupsi dalam pembelian lahan tersebut.

Tulisan ini bertujuan untuk menelaah secara obyektif dan cermat, apakah pembelian lahan YKSW patut diduga terindikasi korupsi? Tidak ada tendensi untuk membela Gubernur Jakarta atau Pemprov DKI Jakarta dalam tulisan ini. Analisis didasarkan fakta, data, dan dokumen yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber.

Sesuai Pasal (2) dan (3) UU Tipikor, suatu perbuatan disebut korupsi jika memenuhi empat unsur yakni, pelaku, perbuatan melawan hukum, kerugian negara, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain. Tidak hanya itu, analisis juga harus melihat apakah ada hubungan sebab-akibat antara empat unsur tersebut.

Identifikasi perbuatan melawan hukum dapat diawali dengan menelusuri pelanggaran prosedur. Namun, tidak semua pelanggaran prosedur adalah perbuatan melawan hukum.

Pelanggaran prosedur dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat dinilai sebagai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya, jika pelanggaran prosedur tidak dimaksudkan untuk hal tersebut, maka tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, melainkan maladministrasi.

Dugaan pelanggaran prosedur telah diungkap dalam LHP BPK terkait pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RS Sumber Waras). BPK Jakarta menyatakan, terdapat enam temuan yang secara singkat berisi, pertama, penunjukan lokasi RS SW oleh Plt Gubernur Jakarta tidak sesuai ketentuan; Kedua, penganggaran pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Plt Gubernur Jakarta tidak sesuai ketentuan.

Ketiga, penetapan lokasi pembangunan RS Khusus Jantung dan Kanker tidak melalui studi kelayakan dan kajian teknis yang wajar sehingga bersifat formalitas; Keempat, pembelian dilaksanakan di tengah YKSW masih terikat kontrak jual beli dengan PT CKU; Kelima, YKSW tidak menyerahkan fisik tanah sesuai penawaran dan keenam Akta Pelepasan Hak dan Pembayaran dilakukan pada YKSW sebelum memenuhi kewajibannya membayar pajak atas lahan RS Sumber Waras.

Selain kelompok temuan tersebut, BPK Jakarta mengindikasi kerugian daerah senilai Rp 191,3 miliar. Dari enam temuan tersebut, tiga di antaranya yakni temuan pertama, kedua, dan ketiga mengarah pada perbuatan melawan hukum.

Sementara tiga temuan sisa, mengarah pada pelanggaran prosedur atau administrasi namun tidak akan dibahas dalam tulisan ini.


BPK Jakarta menyatakan pembelian lahan RS Sumber Waras tidak masuk kategori sebagai program yang layak dibiayai dalam APBDP 2014. BPK Jakarta mendasarkan temuan ini pada pelanggaran atas Pasal 163 Permendagri 13/2006.

Namun, hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri atas RAPBD Perubahan 2014 Jakarta, diketahui bahwa Kemdagri menyarankan agar Pemprov memastikan penggunaannya sesuai aturan berlaku. Kemdagri tidak mencoret anggaran pembelian lahan senilai Rp 800 miliar tersebut.

Dengan demikian,  proses penganggaran lahan ini dapat dinilai tidak melanggar prosedur penganggaran, terutama Pasal 163 Permendagri 13/2006. Lagipula, KUA PPAS yang berisi pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras juga telah disetujui dan ditandatangani oleh 5 pimpinan DPRD Jakarta, termasuk di antaranya berasal dari kelompok pendukung adanya korupsi dalam pembelian lahan ini.

Sementara itu, temuan pertama dan ketiga terkait dengan prosedur pengadaan lahan. BPK Jakarta mengacu pada Pasal 13 UU 2/2012 dan Pasal 2, 5, 6 dan 7 Perpres 71/2012. Undang-undang dan perpres ini mengatur bahwa tahapan pengadaan lahan untuk pembangunan kepentingan umum terdiri dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan.

Penunjukan lokasi, studi kelayakan, dan penetapan lokasi termasuk dalam tahap perencanaan dan persiapan. Meski demikian, terdapat perubahan pengaturan pengadaan lahan berskala kecil dari berukuran di bawah 1 hektare menjadi di bawah 5 hektare melalui Perpres 40/2014 pada April 2014.

Pasal 121 Perpres ini berbunyi, "Demi efisiensi dan efektifitas pengadaan tanah di bawah 5 hektare dapat dilakukan dengan pembelian langsung antara instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah atau dengan cara lain yang disepakati kedua belah pihak".

Prosedur pengadaan lahan RS Sumber Waras seharusnya mengacu pada Pasal 121 ini karena lahannya hanya seluas 3,6 hektare atau di bawah 5 hektare. Sesuai pasal ini, pengadaan lahan di bawah 5 hektare dilakukan secara langsung antara instansi yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah.

Interpretasi atas pembelian langsung dapat mengacu pada Pasal 53 ayat (3) Perka BPN 5/2012 yang menyatakan bahwa pembelian lahan berskala kecil dapat dilakukan tanpa melalui mekanisme yang diatur dalam UU 2/2012.

Artinya, pengadaan tanah di bawah 5 hektare dapat dilakukan tanpa melalui tahapan sebagaimana diatur dalam UU 2/2012 atau Pasal 2 Perpres 71/2012.

Dengan demikian, instansi yang memerlukan tanah memiliki pilihan apakah pembelian langsung mengikuti tahapan yang diatur Perpres 71/2012 atau tidak. Jika ikut tahapan tersebut, tentu lebih baik meski efisiensi dan efektifitasnya kurang terpenuhi. Jika tidak diikuti tentu juga bukan suatu pelanggaran.

Karena itu, tiga temuan BPK terkait prosedur pengadaan seperti penunjukan lokasi, studi kelayakan, kajian teknis, dan penetapan lokasi tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran atas prosedur pengadaan lahan apalagi menjadi perbuatan melawan hukum.

Sementara temuan keempat terkait pembelian pada saat kontrak YKSW dan PT CKU masih berlaku. Sebenarnya kontrak ini batal pada Maret 2014, jika YKSW tidak mampu mengubah peruntukan lahan dari tujuan sosial menjadi untuk komersial. Namun demikian, YKSW gagal memenuhi perjanjian kontrak tersebut sampai dengan tenggat waktu perjanjian.

Pembatalan kontrak akhirnya dilakukan pada 9 Desember 2014, sebelum seluruh tahapan pengadaan diselesaikan oleh Pemprov Jakarta pada 31 Desember 2014.

Karena itu, temuan BPK Jakarta ini belum dapat dinilai sebagai perbuatan melawan hukum, karena kontrak telah berakhir sebelum seluruh kegiatan pengadaan tanah selesai dilaksanakan.

Satu hal penting dalam LHP BPK Jakarta terkait kasus ini adalah perhitungan kerugian daerah. BPK mengacu pada harga tanah dalam kontrak YKSW dengan PT CKU sebagai dasar perhitungan kerugian daerah.

Berdasarkan kontrak tersebut, nilai tanah RS Sumber Waras per meter persegi adalah Rp 15,5 juta. Harga ini didasarkan pada NJOP lahan RS Sumber Waras tahun 2013. Seharusnya, BPK Jakarta menghitung kerugian daerah berdasarkan NJOP tahun 2014 karena transaksi terjadi pada 2014.

Temuan BPK Jakarta yang menyatakan bahwa NJOP RS Sumber Waras seharusnya mengacu pada Jalan Tomang Utara juga keliru. Perhitungan NJOP RS SW didasarkan pada kode ZNT (Zona Nilai Tanah) yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan.

Berdasarkan salinan peta ZNT yang diserahkan DJP pada Pemprov Jakarta, lahan RS Sumber Waras mengacu pada Jalan Kyai Tapa. Hal ini juga dipertegas oleh sertifikat tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh YKSW yang beralamat di Jalan Kyai Tapa.

Seharusnya, BPK menghitung NJOP 2014 RS Sumber Waras versi sendiri. Hal ini juga untuk melihat apakah ada pelanggaran prosedur yang mengarah pada perbuatan melawan hukum, berupa manipulasi dokumen dasar perhitungan NJOP untuk me-markup NJOP itu sendiri.

Jika BPK menemukan hal ini (perbuatan me-mark up NJOP) maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Sayangnya hal ini tidak dilakukan oleh BPK Jakarta.

Pertanyaan penting terkait hal ini adalah siapakah sebenarnya berwenang menghitung atau memutakhirkan data NJOP? Berdasarkan SE DPPD Jakarta 42/2013, yang berwenang melakukan perhitungan dan pemutakhiran NJOP adalah petugas Penilai UPPD. Sedangkan yang menetapkan NJOP adalah Gubernur Jakarta melalui Pergub.

Faktanya, yang menjadi Gubernur Jakarta pada penetapan NJOP RS Sumber Waras tahun 2014 adalah Joko Widodo dan bukan Gubernur Jakarta pada saat pembelian lahan RS Sumber Waras. Karena itu, harus ada bukti yang kuat bahwa Gubernur saat ini memerintahkan petugas penilai UPPD Tomang atau pejabat terkait pada 2013 untuk me-mark up nilai NJOP tersebut.

Jika tidak ada, hal ini dapat dinilai bukan pelanggaran prosedur yang mengarah pada perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa temuan BPK Jakarta atas pembelian lahan RS SW masih patut dipertanyakan, karena keliru menggunakan pasal dan aturan serta kurang cermat dalam pemeriksaan.

Berdasarkan analisis tersebut juga dapat disimpulkan bahwa belum ditemukan adanya indikasi korupsi dalam pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov Jakarta pada 2014.

KPK juga sedang menelisik kasus dugaan korupsi pembelian lahan RS SW. Apapun keputusan KPK terkait dengan kasus ini, wajib didukung demi tegaknya kebenaran dan keadilan di negeri ini.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya