‎Data Kartu Kredit Diintip Pajak, Roda Bisnis Makin Suram

Kondisi dan iklim bisnis perusahaan sedang surut akibat perlambatan ekonomi dunia maupun nasional.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Apr 2016, 16:45 WIB
Persoalan perpajakan memang menjadi isu krusial, apalagi ada skandal perpajakan dalam dokumen yang disebut "Panama Papers".

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mewajibkan industri perbankan untuk melaporkan data kartu kredit nasabah mulai akhir Mei 2016. Kebijakan tersebut akan semakin menyulitkan para pengusaha karena berdampak besar terhadap bisnis perusahaan.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengungkapkan, saat ini kondisi dan iklim bisnis perusahaan sedang surut akibat perlambatan ekonomi dunia maupun nasional. Perusahaan atau industri besar mengalami penurunan pendapatan, bahkan kerugian.

"Industri besar ruginya makin besar. Kalau usaha kecil menengah stabil, tidak rugi. Yang berat ini industri besar, misalnya supermarket keuntungannya cuma satu persen sekarang. Kena gejolak sedikit saja, langsung turun," ujarnya di Gedung DPR RI,Jakarta, Selasa (19/4/2016).

‎Kebijakan penyerahan data kartu kredit nasabah oleh 23 perbankan ke Direktorat Jenderal Pajak ini, diakui Suryadi akan memperparah kondisi bisnis perusahaan saat ini. Masyarakat atau pengguna kartu kredit, sambungnya, mulai khawatir untuk melakukan transaksi belanja alias konsumsi.

"Kartu kredit mau diperiksa, menurut saya, bikin kita lebih susah. Orang-orang akan takut spending. Bahkan orang-orang sudah mengembalikan kartu kreditnya ke bank," tegas Suryadi.

Dirinya berharap, pemerintah tidak membuat kebijakan kontraproduktif dengan situasi ekonomi sekarang ini. ‎Apabila ingin mengejar target penerimaan pajak, saran Suryadi, Direktorat Jenderal Pajak harus mengandalkan dan memperluas basis data Wajib Pajak, serta ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi yang selama ini belum membayar pajak dengan benar.

"Dalam keadaan ekonomi yang begini, solusinya bukan itu (kartu kredit dibuka). Itu namanya kontraproduktif. Bisa saja orang beralih pakai uang tunai, akal-akalan pindah pakai debit saat belanja. Akhirnya transaksi perbankan juga turun. Mau dapat pajak bukan begitu caranya, tapi perluas data pajak, diimbau untuk bayar, selesai. Jadi tidak usah njelimet, pemerintah harus berpikir seperti orang bisnis, simpel," tegas Suryadi. (Fik/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya