Hari Kartini Bukan Ajang Parade Kebaya

Pada Hari Kartini ini, cucu Presiden Sukarno menilai masalah perempuan Indonesia belum selesai.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 21 Apr 2016, 10:20 WIB
Puti Guntur Soekarno (foto: istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Kartini, sosok yang memperjuangkan hak-hak perempuan agar mendapat kesempatan mengecap pendidikan layaknya kaum Adam. Perjuangannya tidak sia-sia. Kini, perempuan dapat sekolah setinggi-tingginya. Begitu pula dalam bidang lain, perempuan bisa berkarir.

Tepat pada 21 April ini, bangsa Indonesia memperingati perjuangan Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 1879. Sejumlah kegiatan biasa dilakukan di Tanah Air. Salah satunya, menggunakan kebaya.

Namun menurut cucu Presiden pertama Indonesia Sukarno, Puti Guntur Soekarno, Hari Kartini bukan sekedar ajang seremonial parade berkebaya.

"Peringatan Hari Kartini tidak hanya sekedar seremonial parade berkebaya. Lebih dari itu harus menjadi pergerakan perempuan Indonesia dalam membangun peradaban bangsanya," ujar Puti kepada Liputan6.com, Kamis (21/4/2016), di Jakarta.

Wanita yang kini menjadi politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menuturkan, dulu Raden Ajeng Kartini meminta ada kesempatan kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan, sama seperti laki-laki. Hal tersebut terungkap dari surat yang ditulis Kartini pada saat itu.

"Surat itu bukan untuk menyaingi kaum laki-laki, tetapi untuk menyempurnakan peran perempuan dalam peradaban," tutur Puti.

Karena itu, lanjut wanita yang kini duduk sebagai anggota dewan di Senayan, kesetaraan gender menjadi bagian dalam pembangunan bangsa Indonesia.

"Itulah hakekat pada penyempurnaan peran perempuan pada peradaban," tegas Puti.

Menurut dia, masalah perempuan Indonesia belum selesai. Walaupun memang, perempuan di Tanah Air telah mendapatkan hak pendidikannya.

Dia mengingatkan agar wanita Indonesia jangan cepat berpuas karena telah mendapat kemerdekaan dalam mengaktualisasikan diri.

"Berpendidikan tinggi tetapi kemudian kita menutup mata bahwa penghancuran identitas, martabat perempuan akibat pengaruh ekonomi, politik, dan budaya tetap ada sampai hari ini," tutup Puti.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya