Liputan6.com, Jakarta - Perjudian besar dari Silvio Berlusconi. Kiranya memang bisa dimengerti bila banyak orang menilai penunjukan Cristian Brocchi sebagai pengganti Sinisa Mihajlovic adalah perjudian besar yang dilakukan manajemen AC Milan.
Baca Juga
- Mesra Saat Berfoto, Inikah Pacar Rio Haryanto?
- MU Pepet Arsenal Usai Taklukkan Palace
- Ronaldo Cedera, Real Madrid Mulai Ketakutan
Advertisement
Mendekati akhir musim, saat I Rossoneri masih menyisakan laga final Coppa Italia dan sedikit asa merebut tiket ke pelataran Eropa, Berlusconi justru mengangkat pelatih yang masih hijau.
Masih lekat di ingatan, betapa perjudian serupa pernah dilakukan Berlusconi dan hasilnya nol besar. Awalnya, Clarence Seedorf yang baru gantung sepatu pada Januari 2014. Lalu, Filippo Inzaghi yang sama dengan Brocchi saat ini, hanya berbekal pengalaman melatih tim U-19 Milan. Seedorf dan Inzaghi bertahan hingga musim berakhir, namun tanpa perpisahan indah.
Di satu sisi, penunjukan Brocchi bisa dikatakan perjudian. Namun, di sisi lain, langkah yang diambil Berlusconi adalah sinyal positif. Kemauan berspekulasi dalam menentukan pilihannya itu menunjukkan sang patron masih menaruh perhatian besar terhadap I Rossoneri yang sudah bak anak kandungnya sendiri.
Pepatah mengatakan, jika ada kemauan, pasti ada jalan. Namun, selebar dan semulus apa pun jalan yang terbentang, perubahan tak akan terjadi bila tanpa perbuatan nyata. Sesungguhnya, keberanianlah yang memantik timbulnya perubahan. Lalu, perubahan itulah yang membersitkan harapan.
Saat menentukan Brocchi sebagai allenatore anyar Carlos Bacca cs., rasanya Berlusconi tidak sedang bermimpi ataupun mabuk berat.
Menurut allenatore kawakan Italia, Arrigo Sacchi, Brocchi sudah ada di kepala Berlusconi dalam setahun belakangan ini. Adapun hal yang sangat mungkin membuat sang patron akhirnya berani memilih Brocchi adalah pengalaman klub-klub di belahan lain Eropa musim ini. Apalagi Lazio lebih dulu mengangkat Simone Inzaghi sebagai pengganti Stefano Pioli.
Dari Schubert Hingga Zidane
Sudah menjadi fenomena umum, klub-klub begitu mudah berpaling ke luar saat mengalami krisis. Terutama soal pelatih. Itu karena rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Padahal, sesuatu yang indah saat di genggaman orang lain bisa jadi tidaklah indah saat berada di genggaman kita. Malah, mungkin saja lantas tidak indah lagi ketika sudah kita miliki.
Tengoklah TSG 1899 Hoffenheim. Saat berpisah dari pelatih Markus Gisdol pada 26 Oktober 2015, mereka yakin Huub Stevens adalah pilihan tepat bagi klub yang berada di zona degradasi. Stevens sebelumnya sudah terbukti sukses membawa Suttgart dua kali lolos dari ancaman turun divisi.
Apa lacur, sentuhan midas eks pelatih FC Schalke 04 itu menguap entah ke mana. Dalam sepuluh laga, hanya satu kemenangan yang direbut Hoffenheim. Untung saja Stevens kemudian mundur dengan alasan kesehatan. Jadilah Julian Nagelsmann naik lebih cepat. Semula, pelatih berumur 28 tahun yang menangani tim U-19 itu akan mengambil alih kendali tim pada musim depan.
Hasilnya, bersama Nagelsmann, roda nasib Hoffenheim berputar ke atas. Dalam sepuluh laga, enam kali mereka merebut kemenangan. Perolehan poin per laga pun melonjak dari 0,80 saat diasuh Stevens menjadi 2,00 bersama Nagelsmann.
Sebelumnya, André Schubert di Borussia Mönchengladbach lebih dulu menyita perhatian banyak pihak. Dari lima laga awal selalu kalah bersama Lucien Favre, Die Fohlen membukukan enam kemenangan beruntun di bawah kendali eks pelatih Mönchengladbach II itu. Dari tim yang berada di dasar klasemen, Mönchengladbach pun beringsut ke habitat aslinya di papan atas.
Rujukan lain tentu saja kiprah Zinedine Zidane di Real Madrid. Diawali keraguan tak kalah besar dari banyak pihak, Coach Zizou sanggup memberikan jawaban meski tak begitu instan.
Bersamanya, Los Blancos menghentikan laju Barcelona yang tak terkalahkan dalam 39 laga di semua ajang. Hebatnya, itu dilakukan di Camp Nou. Ditambah hasil buruk yang dituai El Barça, Madrid kini hanya terpaut satu angka dari Barcelona dan Atletico Madrid.
Meski memang digadang-gadang sebagai pelatih Los Blancos, Zidane tetap saja dianggap perjudian oleh banyak orang. Bahkan, Presiden Florentino Perez harus meminta pendapat para pemain dan pemegang tiket terusan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan pilihan kepada pahlawan Prancis di final Piala Dunia 1998 tersebut.
Jejak Zidane sangat kontras dengan Gary Neville, yang diimpor Valencia dari Inggris pada 2 Desember 2015. Penunjukan asisten pelatih timnas Inggris itu terbukti ngawur.
Di Divisi Primera, dia harus menunggu hingga pertandingan kesepuluh untuk memetik kemenangan. Manajemen Valencia pun lantas berpaling kepada sosok familiar. Februari lalu, Valencia kembali merekrut Pako Ayestaran. Sebelumnya, pria berumur 53 tahun tersebut sempat berada di Mestalla sebagai asisten pelatih pada 2001-2004 dan pelatih kebugaran pada 2009-10.
Awalnya, Ayestaran hanya ditugasi membantu Neville. Namun, saat eks bek kanan Manchester United itu didepak, dialah yang mengambil alih komando dan kelelawar-kelelawar Mestalla pun bergeliat. Meski kalah dari Las Palmas pada laga perdananya, Ayestaran lantas membawa Paco Alcacer dkk. menang atas Sevilla, Barcelona, dan Eibar.
Sensasi Rashford
Berpaling ke dalam saat krisis juga ditunjukkan Louis van Gaal di Man. United. Ketika para penggawa senior tak mampu mendongkrak performa tim, dia berpaling kepada anak-anak muda didikan akademi Red Devils.
Sejak musim lalu, sudah 14 pemain akademi yang menjalani debut di tim utama. Sosok yang paling fenomenal tentu saja Marcus Rashford yang sekarang dipuja-puja sebagai anak ajaib baru Red Devils.
Bagi Van Gaal, itu memang kebijakannya. Di mana pun, dia sangat akomodatif terhadap para youngster. Kecocokan dengan sistem permainan adalah hal utama di matanya. Pemain senior dengan pengalaman segudang pun tak akan mendapat tempat bila dinilai tak sesuai dengan sistem permainan yang diusungnya.
"Saya selalu kembali ke visi, lalu tim dan memilih pemain-pemain yang sesuai dengan sistem saya, 1-4-3-3, karena saya selalu memainkannya. Jika pemain muda bisa melakukannya, saya akan memilihnya. Jika ternyata yang cocok adalah pemain yang lebih tua, itu bukan masalah bagi saya. Itu bukan faktor terpenting. Umur tidaklah penting," jelas Van Gaal kepada The Guardian.
Red Devils di tangan Van Gaal memang kerap jadi olok-olokan. Namun, begitu Rashford mengemuka, ocehan-ocehan miring tereduksi.
Kini, tak sedikit orang yang menanti-nanti pertandingan Man. United. Mereka begitu bersemangat dalam menerka-nerka kejutan yang akan disuguhkan Rashford dan Van Gaal. Gol seperti apa yang akan dibuat Rashford? Siapa lagi youngster yang akan menjalani debut?
Begitulah. Sesungguhnya kita memiliki solusi atas masalah yang dihadapi. Tapi, karena terlalu sibuk terpesona oleh rumput tetangga yang tampak lebih hijau, jadilah kita alpa dan tak punya nyali untuk melihat ke dalam. Segala solusi yang dimiliki pun terabaikan begitu saja.
Untuk diakui sebagai solusi tepat, Zidane cs. memang wajib melewati tempaan waktu. Pembuktian lewat prestasi jelas sangat penting. Namun, untuk jangka pendek, mereka membuktikan bahwa pilihan dari dalam ternyata bisa juga diandalkan.
Lalu, akankah Brocchi jadi panasea bagi I Rossoneri seperti halnya Zidane, Schubert, Nagelsmann, dan Rashford cs.? Tentu tak ada jaminan.
Satu hal yang pasti, Cesare Prandelli, eks allenatore Gli Azzurri, meyakini kapasitas Brocchi sebagai pelatih. Dan Brocchi pun sudah berjanji membuat keajaiban. "Skuat Milan tak selemah yang dianggap orang-orang," tegas dia kepada La Gazzetta dello Sport. "Saya akan membuat sejarah."
*Penulis adalah komentator, jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini di lini masa akun @seppginz.
Advertisement