Liputan6.com, Malaka - Bidan Ummi Zubaidah baru saja kembali dari kunjungan rutin ke masyarakat di Desa Babulu Selatan, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Bersama rekannya, Harini Merdekawati, bidan berusia 25 tahun lulusan Stikkes Aisyiyah Yogyakarta tahun 2014 ini menempuh medan yang sulit untuk melaksanakan tugas mereka.
Jalan di desa itu kebanyakan terjal dan berbatu-batu. Hanya jalan negara saja yang sudah diaspal, selebihnya masih berupa jalan tanah. “Listrik saja kalau malam tidak ada, Mbak,” katanya kepada Liputan6.com, Jumat (22/4/2016).
Desa Babulu Selatan, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, adalah sebuah daerah administratif baru hasil pemekaran dari Kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Suai, Republic Democratic of Timor Leste (RDTL). Daerah ini masuk dalam kategori kategori DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan).
Advertisement
Dari desa ke kota kabupaten yang baru, yakni Betun, diperlukan waktu 2 jam berkendara sepeda motor. Sementara untuk menuju kota kabupaten yang lama, yakni Belu, perlu waktu 3 jam berkendara sepeda motor.
Motor yang dipakainya pun bukan milik sendiri. Motor itu adalah kepunyaan Puskesmas Nofalus, tempat di mana ia dan Harini diperbantukan.
Motor itu digunakan beramai-ramai untuk enam orang. Maka kalau motor itu tidak tersedia, Ummi akan mendatangi Desa Babelu Selatan, Desa Molosoan, dan Desa Rainawe yang menjadi wilayahnya bertugas dengan berjalan kaki.
Bukan tanpa sebab ia mendatangi mereka satu per satu. Ummi mengatakan penduduk setempat tidak begitu mempercayai ilmu medis. Mereka enggan datang ke puskesmas. Mereka juga lebih suka menangani sendiri penyakit mereka dengan obat tradisional dan memilih melahirkan dibantu dukun.
"Padahal kami sudah siapkan ambulans untuk menjemput mereka ke rumah, tapi mereka malah kabur ke ladang, Mbak," tutur Ummi dengan logat Yogya yang kental.
Di Desa Molosoan dan Desa Rainawe terdapat kelompok suku yang hidup terpisah dengan masyarakat sekitar. Mereka memilih tinggal berkelompok dengan sesama suku. Ada sekitar 20 KK di kawasan ini. Rumah mereka sederhana beratapkan daun lontar dan berdinding pelepah daun lontar dengan luas tidak lebih dari 4x6 meter.
Pekerjaan mereka sehari-hari adalah berkebun jagung dan kacang hijau. Pendidikan rata-rata sekolah dasar dan banyak yang putus sekolah.
Kacaunya, para perempuan di suku ini usai melahirkan langsung bekerja, menampung air untuk mandi, dan tidak berkenan ditolong petugas kesehatan dalam proses melahirkan kecuali terjadi hal-hal darurat yang dianggap berbahaya. Padahal, tutur Ummi, "Kesehatan mereka harus dipantau 42 hari setelah masa melahirkan alias masa nifas."
Selain itu, faktor lainnya adalah budaya setempat. "Orang sini tidak akan berhenti hamil sampai mereka mendapatkan anak perempuan, meski usia mereka sudah di atas 35 tahun dan masuk usia berisiko hamil dan melahirkan," ucap Ummi.
Kenapa mereka begitu ngotot mendapatkan anak perempuan? Ummi menuturkan di suku Marae dan Kemak—yang merupakan campuran dengan orang Timor—anak perempuan dianggap aset. Pasalnya, saat anak perempuan itu menikah, keluarganya akan mendapatkan uang yang banyak dari seserahan sang calon suami.
Sebagai contoh, uang mahar untuk pernikahan bisa di antara 50-100 juta. "Itu belum termasuk kambingnya berapa, sapinya berapa, dan babinya berapa," kata Ummi.
Pesta pernikahan pun dilangsungkan tak kalah meriah dan kadang-kadang bisa sampai satu minggu lamanya. Ummi menyebut nilai mahar dan besarnya pesta bisa semakin menjulang apabila calon pengantin perempuannya bertitel sarjana.
Selama hampir satu tahun menjalankan tugas pengabdian, banyak sudah suka-duka yang dialaminya. Namun ada satu pengalaman yang tak bisa ia lupakan. Ummi berkisah saat itu ia dipanggil orangtua pasien sekitar pukul 15.30 WITA. Mereka adalah penduduk asli yang tak bisa berbahasa Indonesia dan hanya bisa berbahasa Tetun.
Sedikit demi sedikit Ummi bisa memahami ucapan mereka. "Tolong anak saya sekarang, Ibu,"pinta mereka. Maka Ummi segera menuju rumah pasien bersama bidan lain yang bisa berbahasa Tetun.
Ternyata pasien sudah melahirkan pada pukul 11.00 WITA, tetapi plasentanya belum lahir juga. Padahal agar tidak membahayakan keselamatan ibu, plasenta harus sudah lahir maksimal 30 menit setelah bayi dilahirkan.
Ummi mengatakan karena ambulans di puskesmas hanya satu dan sedang dipakai merujuk pasien lain ke Atambua, maka ia memanggil otto (angkutan desa-red) untuk menuju rumah pasien.
Sesampainya di sana, keadaan gelap sekali karena memang listrik belum masuk. Ummi bergerak cepat. Berbekal penerangan pakai senter handphone, Ummi melihat ibu melahirkan itu ditidurkan di atas tikar di tanah yang tidak diambin. Tali pusat yang masih terhubung dengan plasenta ditindih dengan linggis lalu dililit dan diletakkan di tanah.
"Sedih sekali saya melihatnya," kata dia. Ummi mengaku belum pernah menangani kasus seperti itu sebelumnya. "Si pasien lalu saya suntik dengan perangsang kontraksi uterus, lalu saya bawa ke puskesmas," ujar dia melanjutkan. Untunglah pasien dan anaknya selamat.
Kendala terbesar bertugas di perbatasan adalah alat-alat kesehatan yang kurang memadai dan tenaga kesehatan yang terbatas. Namun itu tak menyurutkan semangat perempuan kelahiran Banjarnegara ini untuk terus berbuat yang terbaik. Ia sendiri punya cita-cita mulia.
"Saya pengin, kemarin, pasien berusia 13 tahun, adalah pasien hamil belum cukup usia terakhir yang saya periksa," kata dia.
Angka pernikahan dini di Babelu Selatan memang cukup tinggi. Karena itu, Ummi dan teman-temannya, melalui berbagai pendekatan, bercita-cita ingin mengakhiri pernikahan dini dan kehamilan tidak terencana di wilayah ini.