Liputan6.com, Jakarta - Perbedaan data jumlah tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam kurun waktu Januari-Maret 2016 masih terjadi antara pemerintah dan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Sepanjang tiga bulan ini, data PHK dari KSPI menunjukkan telah terjadi PHK sebanyak 32.680 orang di berbagai sektor industri.
"PHK masih mengancam para buruh, karena faktanya ada sekitar 32.680 buruh yang kena PHK pada Januari-Maret 2016," ungkap Presiden KSPI, Said Iqbal saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Dirinya merinci, data PHK yang dimiliki KSPI selama periode tersebut sesungguhnya hanya 22.680 buruh. Namun kabar terakhir yang diterima Said, buruh di Cirebon yang terancam kena PHK sebanyak 2.600 orang dan 6.000 buruh sudah dirumahkan berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja Jombang, Jawa Timur. Sedangkan sisanya di daerah lain.
Baca Juga
Advertisement
"Sektor yang paling terkena dampak adalah industri elektronik, farmasi, pertambangan dan perminyakan, industri otomotif dan komponen, industri garmen, dan industri bongkar muat batubara," jelas Said.
Data PHK tersebut berbeda dengan data yang dihimpun Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Kementerian ini menyebutkan jumlah tenaga kerja yang di PHK hingga 28 Maret ini sebanyak 3.795 orang.
Said menjelaskan, perbedaan data PHK tersebut disebabkan karena dua hal. Pertama, dia menganggap Kemenaker bersifat pasif dalam pengumpulan data PHK, karena hanya menunggu laporan dari Disnaker.
Sementara Disnaker, sambungnya, tidak akan menyodorkan data tersebut kepada Kemenaker apabila proses rasionalisasi belum tuntas, seperti masalah pesangon, pembayaran pajak, dan lainnya.
"Kedua, Kemenaker dan Disnaker ingin mebuat angka PHK kelihatan bagus. Karena jumlah tenaga kerja yang di PHK sebanyak 32 ribu itu sudah sangat tidak wajar, yang wajar itu PHK cuma 100-200 orang. Nah kalau Menteri tidak tahu datanya, sangat keterlaluan," ujar Said.
Paket Kebijakan Gagal
Said berpendapat, paket kebijakan pemerintah untuk menolong perusahaan maupun mengangkat daya beli masyarakat, termasuk buruh hanya sebatas konsep. Sedangkan implementasinya nihil. Pemberian modal kerja atau kredit bagi perusahaan yang berniat mem-PHK karyawannya pun tidak dinikmati pengusaha.
"Paket kebijakan tidak langsung terasa, karena pemerintah cuma kuat di konsep, lemah di implementasi dan pengawasan. Pemberian kredit buat pengusaha tidak dikabulkan, akhirnya buruh di PHK," tegasnya.
Lebih jauh diterangkan Said, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pun tidak berhasil menahan gelombang PHK yang terus terjadi sejak tahun lalu. Aturan ini dianggapnya, hanya memiskinkan buruh dengan upah murah. Upah murah, lanjutnya, menjadi penyebab utama pelemahan daya beli masyarakat.
"Persoalan kelesuan ekonomi dan daya beli masyarakat, karena pemerintah menekan upah. Akhirnya barang-barang yang diproduksi perusahaan tidak laku dan terpaksa mengurangi produksi. Kalau produksi turun, terjadi PHK. Konsumsi penting dijaga, salah satunya menaikkan daya beli lewat upah yang layak," harapnya. (Fik/Gdn)