Liputan6.com, Batam - Kondisi kawasan mangrove di Batam kian mengkhawatirkan. Selain reklamasi, ekspor arang juga dianggap menjadi faktor terbesar habisnya pohon bakau sebagai penyangga kawasan mangrove di Batam.
Rizaldi, aktivis Rumah Bakau Indonesia, menyebutkan sebelum 2007 pohon bakau di Batam dibabat habis-habisan untuk kepentingan produksi di dapur arang. Dapur arang adalah sebutan tungku pembakaran arang yang banyak dipakai pengusaha arang di Batam.
"Sebelum 2007 ke bawah, dapur arang diproduksi dengan skala besar dengan pohon bakau di atas skala diameter 4,5-20 inci ditebang," kata Rizaldi, Jumat, 22 April 2016.
Setelah itu, Pemerintah Kota Batam mengeluarkan larangan produksi arang dari bakau. Namun, larangan tersebut ternyata tidak menghentikan produksi arang bakau. Pengusaha tetap melanjutkan bisnis arang bakau diam-diam dengan mempekerjakan nelayan setempat untuk memproduksi arang bakau.
Baca Juga
Advertisement
Yahuda (43), warga Kampung Laut Tengan, Kelurahan Tanjung Piayu Laut, Kecamatan Sei Bedug, menjadi salah satu nelayan yang banting setir menjadi produsen arang. Ia mengaku terpaksa menjual arang bakau karena hasilnya lebih menjanjikan dibanding menangkap ikan.
"Saya tahu bahwa penebangan pohon bakau dilarang, tapi karena tangkapan ikan berkurang, akhirnya memilih untuk membuat dapur arang bakau," ucap Yahuda.
Dalam sehari, ia bisa memproduksi 20-30 kilogram arang bakau. Arang produksinya kemudian dijual ke pengepul. Namun, ia menolak merinci harga jual arang bakau tersebut.
"Yang jelas lumayan kalau dibandingkan dengan menangkap ikan," ujar Yahuda.
Yahuda mengatakan arang-arang yang ditampung pengepul itu biasanya diekspor ke Singapura. Arang-arang bakau itu memasok kebutuhan hotel dan restoran setempat.
"Tauke (bos) pernah ngomong kalau arang bakau sangat bagus di antara yang lain. Biasanya untuk bakar ikan, daging di restoran dan di hotel," tutur Yahuda.
Sementara itu, Ahad (57), Ketua RT 07 Kampung Laut Tengah, membenarkan adanya penebangan pohon bakau ilegal oleh warga setempat. Namun, ia mengaku tidak bisa melarang mereka yang hendak membuat arang dari pohon bakau.
"Habis gimana lagi, ikan tak ada, otomatis penghasilan kurang mereka berkurang. Ya, terpaksa saya harus tutup mata membiarkan warga," ucap Ahad.
Ia menyatakan pernah menyampaikan permintaan bantuan kepada pemerintah setempat untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, tapi tidak pernah ada tanggapan.