Ironi Usaha Kain Tenun Khas Palembang

Tradisi kain tenun Palembang ditinggalkan generasi muda setempat, meski peluang pasarnya menjanjikan.

oleh Nefri Inge diperbarui 23 Apr 2016, 12:32 WIB
Tradisi kain tenun Palembang ditinggalkan generasi muda setempat, meski peluang pasarnya menjanjikan. (Liputan6.com/Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Di saat desainer lokal mulai melirik kain-kain tradisional, tidak demikian perhatian warga asli Ibu Kota Sumsel pada kain tenun khas Palembang. Perlahan-lahan, tradisi menenun kain tenun itu ditinggalkan para generasi muda dan hanya menyisakan perempuan paruh baya.

Fakta lainnya menunjukkan para pengusaha yang bertahan di bidang kain tenun Palembang kebanyakan bukan warga lokal, melainkan para transmigran dari Pulau Jawa. Salah satu contoh adalah rumah tenun Udin Abdillah yang ternyata dirintis warga Cirebon, Jawa Barat.

Udin mengungkapkan usaha keluarga itu bermula dari modal menjadi buruh tenun di rumah produksi milik warga Palembang. Orangtua Udin memutuskan hijrah ke Palembang pada 1976 setelah diajak seorang kerabat.

Penerus usaha kain tenun Palembang justru adalah para pendatang. (Liputan6.com/Nefri Inge)


"Di sini, orangtua saya memulai usaha dengan menjadi penenun di rumah produksi tenun warga Palembang. Sembari belajar, orangtua saya mengumpulkan modal untuk membuka rumah tenun sendiri," ujar Udin Abdillah (55), kepada Liputan6.com, Sabtu, 23 April 2016.


Melihat adanya potensi bagus dari usaha tenun orang tuanya, Udin dan saudaranya akhirnya ikut bertransmigrasi ke Palembang. Mereka sekeluarga akhirnya merintis bersama-sama usaha tenun Palembang.

Tidak hanya orangtuanya saja yang lihai menenun kain Palembang, keterampilan itu juga ditularkan ke anak-anaknya sebagai penerus usaha tersebut. Pada masa itu, Udin menyebut masih banyak warga lokal Palembang yang menggeluti usaha itu. Produksinya pun sangat banyak dengan peminat kain tenun yang tinggi.

Seiring bergulirnya waktu, rumah produksi kain tenun warga lokal akhirnya tutup. Tidak adanya regenerasi menjadikan usaha kain tenun milik warga lokal mati suri. Banyak dari mereka yang memilih menggeluti usaha lain, bahkan mencari peruntungan di kota lain.

"Pada dasarnya kurang ada kemauan untuk meregenerasi usaha tenun di saat itu, seperti mengajarkan anak-anak untuk melanjutkan usaha ini. Sehingga saat orang tuanya sudah meninggal, usaha tenun mereka terbengkalai karena anak-anaknya tidak mempunyai keterampilan menenun," tutur Udin.


Laris di Pasar

Kondisi itu tidak berlaku bagi usaha tenun Palembang milik keluarga Udin. Tanggap dengan semakin langkanya penenun lokal, ia kemudian memboyong penenun dari tanah kelahirannya. Menurut Udin, menenun adalah salah satu keterampilan yang harus dikuasai para generasi muda di daerahnya.

Penenun kain khas Palembang kebanyakan adalah perempuan paruh baya. (Liputan6.com/Nefri Inge)


Ada lebih dari 20 orang penenun asal Cirebon yang dipekerjakannya. Namun, karena usaha rotan di Cirebon sedang pesat-pesatnya, para penenun itu memilih kembali ke kampung halaman dan merintis usaha rotan.

Usaha Udin sempat oleng karena kehilangan penenun. Ia akhirnya menggandeng warga sekitar yang mumpuni menenun kain Palembang. Saat ini, hanya 12 orang penenun yang bekerja pada Udin.

"Kendala usaha ini adalah sulitnya mencari SDM. Saat ini saja yang bekerja sebagai penenun adalah generasi tua. Anak-anak mudanya tidak berminat mempelajari keterampilan ini," Udin mengeluhkan.

Di samping demi menyambung nafas usahanya, Udin mengaku ingin membantu menyambung tradisi menenun warga lokal yang sempat terputus. Kain produksi usaha Udin kini banyak dijual ke sejumlah pemilik butik baik lokal maupun nasional.

"Saya ingin usaha ini kembali digiatkan oleh warga lokal. Jadi, tradisi mereka tidak hilang," ucap Udin.

Sama halnya dengan Tumini (70), pemilik usaha tenun Palembang di kawasan Tuan Kentang ini juga merupakan pendatang asal Cirebon, Jabar. Sekitar 30 tahun lalu, Tumini sekeluarga hijrah ke Palembang dan menggeluti usaha kain tradisional Palembang ini.

Tumini memang berkecimpung di bidang penenunan sejak sebelum hijrah ke Kota Pempek itu.

"Sudah lama usaha ini dirintis, dari awalnya jadi buruh tenun di rumah tenun orang Palembang, sekarang saya mempekerjakan penenun asli Palembang," ucap dia.

Usaha yang kini diteruskan oleh anaknya itu mempekerjakan sebanyak enam orang penenun. Tumini lebih memilih ibu rumah tangga (IRT) untuk dipekerjakan karena lebih ulet dan pekerjaannya rapi. Bahkan, salah satu penenun yang bekerja di tempatnya adalah bekas pengusaha tenun yang sangat sukses pada masanya.

Konsistensi Tumini menggeluti usaha kain tenun bertuah. Usaha yang menyasar kalangan menengah ke bawah itu nyatanya masih diminati pasar. Baik orang lokal maupun pendatang tetap senang membeli kain produksi Tumini yang dijual di pasar tradisional. Rata-rata kain tenun itu dihargai Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya