Liputan6.com, Pattaya - Perdagangan jasa seks di Thailand memang sudah terkenal, tapi tidak banyak yang mengetahui langsung apa yang terjadi di tempat kejadian.
Misalnya di kota pantai Pattaya yang juga menjadi daerah tujuan wisata populer di Negeri Gajah Putih.
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari News.com.au pada Senin (25/4/2016), seorang jurnalis Michael Kaplan dari New York Post menuliskan laporan pandangan mata dari Pattaya. Kisahnya dimulai dari Walking Street.
Jalan raya itu bertaburan lampu neon berpendar di waktu malam. Susasana dipenuhi wanita-wanita penghibur penjaja seks dan para pria Barat dengan mata yang jelalatan.
Di sana lah Ben Bartanyi (49), seorang pialang real estate dari AS, baru-baru ini diringkus petugas keamanan karena diduga melakukan tindakan seksual pada seorang penari seronok berusia 20 tahun.
Para pengunjung lainnya yang menyaksikan adegan cabul itu hanya ramai bersorak-sorai.
Boleh-boleh saja ada orang yang terkesima menyaksikan hingar-bingar di sana, tapi Kaplan tidak demikian.
Sekitar 10 tahun lalu ia menuangkan kisah tentang perdagangan seks komersial yang lazim di sana. Baginya, tidak ada yang berubah.
Dulu dan sekarang, bar-bar di sepanjang kawasan lampu merah Pattaya masih menggunakan nama-nama yang agak menjurus, misalnya Virgins, dan SugarBaby. Tempat-tempat itu juga menawarkan janji-janji kerahasiaan.
Sejumlah panggung kecil di dalamnya dikerumuni oleh para wanita tanpa busana atau sekedar mengenakan bikini. Mereka bisa dipesan. Ada nomor yang disematkan di atasan tipis atau bawahan model G-string yang dikenakan.
Dengan nomor ini, pelanggan dimudahkan untuk memanggil mereka dan membawa pergi untuk layanan seks yang ditukar dengan uang tak seberapa.
Hotel tempat Kaplan menginap juga menjual kondom di meja depan, dilengkapi dengan tanda peringatan bahwa usia yang diizinkan untuk membeli harus di atas 15 tahun.
Bahkan di hotel sekelas Marriott, sejumlah lelaki berbincang tentang rencana mereka mengunjungi sebuah rumah bordil yang mengharuskan pelanggan memesan 2 wanita sekaligus. Tidak ada yang peduli dengan apa yang mereka perbincangkan. Semua sudah biasa.
Curahan Hati Para PSK
Curahan Hati Para PSK
Mengenaskan melihat begitu perempuan yang dieksploitasi di sana. Kebanyakan dari mereka datang dari bagian utara Thailand yang miskin. Mereka pindah ke Pattaya atau Bangkok untuk mencari nafkah dan mengirimkan ke kampung halaman.
Seorang wanita yang mengenakan T-shirt ketat bertuliskan J’adore Dior -- produk tiruan, bukan asli -- menjelaskan, “Aku harus mencari nafkah untuk keluarga. Mereka menanam padi dan memelihara kerbau, tapi mereka miskin. Mereka memerlukan uang untuk membeli perkakas. Orang bisa sangat kelaparan di Isan.”
Isan adalah salah satu kawasan pedesaan di utara, tempat asal wanita ini.
Banyak keluarga yang mengira putri dan saudara perempuan mereka bekerja di pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Tentu saja para anggota keluarga itu bisa tercengang mengetahui asal muasal uang yang mereka terima.
“Yang paling parah adalah ketika mendapatkan pelanggan yang mabuk dan mulai aneh-aneh,” kata seorang wanita yang mengaku bernama Lin.
Duduk di sebuah kursi sambil matanya menerawang ke arah Teluk Thailand, ia melanjutkan, “Misalnya dia menolak memakai kondom, memintaku untuk hamil dengan bayinya. Atau ada yang memukuliku," kata dia.
"Ini pernah sekali terjadi, ketika seorang pelanggan yang mabuk meneriaki aku dan aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Ia lari mendatangiku, mencoba memukul, meleset dan mengenai dinding. Ia kemudian menendangku. Ia merampas tasku dan kabur."
Para PSK mendapatkan setidaknya $28 (Rp 370 ribu) per jam. Jumlah yang tak seberapa. Namun, nilainya masih lebih banyak daripada $10 (Rp 132 ribu) per jam yang diraih sebagai buruh pabrik di kampung halaman.
Risiko Tinggi dan Pembiaran
Walau pendapatannya terlihat lebih besar, mereka mengorbankan banyak hal ketika menjadi bagian dari perdagangan seks di Thailand dengan begitu merebaknya penyakit.
Menurut suatu penelitian oleh 'International Journal of STD' tentang AIDS pada 2007, hampir 20% pekerja seks di Thailand terindikasi positif HIV. Bukan hanya itu, narkoba ditenggak untuk menjalani jadwal ‘kerja’ mereka.
“Aku hanya punya sedikit teman dan tidak ada kehidupan di luar pekerjaan,” ujar seorang wanita bar di Bangkok kepada Kaplan di pinggiran Nana Entertainment Plaza. Tempat itu adalah bangunan berlantai tiga yang diisi dengan ratusan penjaja seks di sejumlah klub telanjang dengan nama-nama seperti Play School dan Bottoms Up.
“Memang tidak bagus yang aku lakukan ini, tapi aku tidak bisa mendapakan jodoh seorang pria Thailand. Sekarang aku mencari seorang farang (istilah Thai untuk orang Barat) untuk menyokong diriku. Entah bagaimana, aku pasti akan jadi orang baik-baik.”
Pemerintah Thai seperti tutup mata perihal perdagangan ini. Secara teknis, hal tersebut memang tidak legal, tapi sangat diberi toleransi. Jalan terus!
Pria-pria dari Barat terus berdatangan untuk mencicipi hal-hal yang tidak bisa mereka raih di tempat asalnya. Sebaliknya, para wanita Thai ini terjerat dalam muramnya bisnis seks.
“Aku rindu keluargaku, aku rindu bayi perempuanku,” kata seorang ibu muda yang baru menjalani kehidupan sebagai PSK selama 6 bulan di sela isak tangisnya. “Ini bukan kehidupan untukku. Ini adalah kehidupan yang buruk.”
Advertisement