Liputan6.com, Jakarta - Buronan korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Samadikun Hartono ditangkap Badan Intelijen Negara (BIN) saat menikmati kompetisi balap mobil Formula One (F1) di Shanghai, China. Kepulangannya dikawal langsung Kepala BIN Sutiyoso, dan saat tiba, Jaksa Agung HM Prasetyo menjemputnya.
Hal tersebut diintepretasikan sebagian kalangan sebagai sikap menspesialkan buronan yang sudah 13 tahun kabur dengan membawa uang negara Rp 169 miliar.
Namun HM Prasetyo membantah tudingan dirinya memperlakukan spesial Samadikun. Ia mengklarifikasi kedatangannya ke bandara bertujuan menyambut Sutiyoso, bukan Samadikun.
"Sekarang saya klarifikasi sekalian, kita (Kejaksaan Agung) kan dituduh mengistimewakan Samadikun Hartono. Itu tidak benar. Janganlah semuanya berpikir negatif dengan apa yang dilakukan penegak hukum," kata HM Prasetyo di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Senin 25 April 2016.
Baca Juga
Advertisement
"Saya tidak menjemput Samadikun, saya mengapresiasi Kepala BIN. Kalian tahu sendiri yang datang ke sana (China), Pak Sutiyoso. Saya ini Jaksa Agung. Ini bentuk kerjasama antar lembaga," kata Prasetyo.
Prasetyo mengatakan, keputusan Kejaksaan Agung yang langsung menjebloskan Samadikun ke Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Salemba adalah bentuk keadilan hukum. Tidak ada rasa 'pilih kasih' atau 'tebang pilih'.
Ia pun menegaskan, tak ada kesepakatan antara pihaknya dengan Samadikun. Saat ini, tegas Prasetyo, fokus Kejagung hanyalah memeriksa harta kekayaan Samadikun agar menyita asetnya.
"Saya gak ada urusan dengan SH. Faktanya malam itu juga dijebloskan ke penjara. Nggak ada deal-deal apapun, kecuali kita minta pemeriksaan atas harta kekayaannya untuk bayar uang pengganti. Apa itu salah? Jadi jangan tuduh macem-macem," jelas Prasetyo.
Alasan Tidak Diborgol
Samadikun Hartono, koruptor yang buron selama 13 tahun pulang ke tanah air layaknya warga tak berstatus terpidana. Meski mendapat pengawalan ketat langsung dari Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, aparat tak memasang borgol di kedua tangannya.
Jaksa Agung HM Prasetyo menjelaskan bahwa BIN sengaja tak memperlakukan Samadikun berlebihan sebagai penjahat agar terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait Cassie Bank Modern itu tak merasa tertekan dan bersikap kooperatif kepada aparat.
"Tidak ada borgol itu bagian dari strategi. Tempo hari kalian tanya tentang deal-deal itu. (Tidak diborgol) Itu salah satu bagian dari itu. Bagaimana dia minta kalaupun diserahkan nanti diperlakukan dengan wajar," kata HM Prasetyo.
"Strategi kita agar koruptor di luar sana (berpikir) 'Wah saya dilakukan dengan tidak berlebihan', sehingga akan tergerak untuk menyerahkan diri," sambung dia.
Ia pun bersyukur dengan sikap Samadikun yang tak menyulitkan aparat saat proses kepulangannya ke Indonesia.
Ditanyai mengenai agenda eksekusi penyitaan aset milik Samadikun, HM Prasetyo menjawab pihaknya sedang memeriksa peta aset si koruptor. Ia yakin penagihan ganti rugi uang negara Rp 169 miliar akan lebih mudah karena terpidana berada di bawah pengawasan aparat.
"Ya harus secepatnya. Kita lihat nanti seperti apa. Yg pasti kita syukuri ini orangnya sudah ada, sehingga mudah menagih ke dia," kata HM Prasetyo.
Susun Daftar Sitaan
Terpidana yang sempat jadi buron dalam kasus BLBI Samadikun Hartono telah tertangkap. Kejaksaan Agung pun sedang menyusun daftar untuk menyita harta kekayaan samadikun. Hal ini dilakukan untuk membayar kerugian negara Rp 169 miliar.
"Kita sedang verifikasi, kami inventarisir. Kalaupun bukan berupa aset yang terlihat secara kasat mata, mungkin ya uang dia," kata Jaksa Agung HM Prasetyo.
Prasetyo yakin kekayaan Samadikun mampu melunasi tanggung jawab tersebut. Dari data yang ada, pria tersebut itu memiliki perusahaan di beberapa negara, seperti di China dan Vietnam.
"Saya sudah perintahkan Jampidsus untuk bicara sekalian dengan anak-anaknya (Samadikun) supaya segera tuntas," tutur dia.
Samadikun dinyatakan bersalah dalam kasus penyalahgunaan dana talangan dari Bank Indonesia atau BLBI sebesar Rp 2,5 triliun yang disalurkan oleh Bank Modern saat krisis 1998 lalu.
Ia divonis hukuman penjara 4 tahun, denda Rp 20 juta, dan kewajiban mengganti kerugian negara Rp 169 miliar.
Advertisement